Oleh. Lailatul Maulina
(Mahasiswi dan Penulis)
Menteri Agama Cholil Qoumas telah ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Sekretariat Bersama Moderasi Beragama. Dengan tugas yang diberikan tersebut, maka pogram utama Yakut dan jajarannya adalah memperkuat moderasi beragama yang menekankan pada penguatan cara pandang, sikap dan praktik beragama secara moderat. Tujuannya untuk memantapkan persaudaraan dan kebersamaan di kalangan umat beragama. Dengan menjaga sikap menghargai dan toleran, maka bangsa ini akan bersatu (cnnindonesia.com, 29/9/2023).
Perbedaan yang terjadi di tengah-tengah umat bukanlah suatu hal yang menjadi problem besar, dan seakan-akan sulit untuk mencari solusinya. Di dalam Islam, perbedaan itu adalah rahmat, agar kita bisa saling mengenal. Sebagaimana dulu saat Rasulullah Saw. memimpin daulah Islam pertama di Madinah, beliau tidak hanya mengatur urusan umat Islam saja, tetapi urusan umat yang lain pun menjadi tanggung jawab yang juga diwajibkan di dalam Islam.
Maka perbedaan keyakinan tidak akan menjadikan Islam tidak dapat mengatur urusan manusia. Karena hadirnya Islam pasti membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi umat Islam saja. Sebagaimana tolong-menolong terhadap umat selain Islam memang boleh dilakukan selama tidak berkaitan dengan keyakinan atau aqidah mereka.
Diperbolehkan tolong-menolong dengan kaum kafir selama tidak untuk melakukan kemaksiatan yang dilarang di dalam Islam. Dalam hal ini, toleransi yang begitu jelas sudah dicontohkan Rasulullah saw. Hal itu dibuktikan dengan dalil yang ada pada ayat di dalam Al-Qur’an, yang artinya, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Jelaslah bahwa tidak ada toleransi dengan saling mengucapkan selamat pada perayaan agama lain seperti saat ini, tolong-menolong dalam peribadatan atau bahkan ikut merayakan dan memeriahkan perayaan tersebut. Yang ada yaitu menghormati dengan cukup membiarkan saja dan tidak menganggu peribadatan mereka.
Namun saat ini, ide yang membuat umat Islam buram justru membiarkan bebas bertingkah laku tanpa didasari lagi pada syariat, mana yang harus (wajib) dilaksanakan dan mana yang harus ditinggalkan karena Allah melarang. Mereka masih melaksankan kewajiban salat fardu, puasa di bulan Ramadan, membayar zakat, dan naik haji. Tetapi di lain sisi, mereka tetap membuka aurat, pergaulan tanpa batas seperti pacaran seakan menjadi hobi, riba masih menjadi pilihan bahkan mereka dibiarkan memiliki pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam yang kaffah.
Begitulah umat saat ini yang hanya memahami Islam setengah-setengah. Mereka seakan dibiarkan hidup bebas tanpa ada yang mengingatkan juga mencegah. Mirisnya lagi, justru siapa pun yang mengajak dan mengingatkan mereka kembali pada ajaran Islam yang kaffah justru dicap dengan radikal, intoleran, ekstrimis dan julukan negatif lain. Padahal mereka hanyalah menjalankan kewajiban beragam yang justru merekalah yang membantu negara menjalankan kewajibannya dalam menjaga aqidah umat sebagai aturan dari Allah Swt.
Ide ini menjadikan umat justru terjebak dalam toleransi yang kebablasan, hingga menggadaikan aqidahnya sendiri demi dinilai toleran. Terhadap sesama umat Islam yang hanya berbeda dalam hal furu’ (cabang) justru membuat sekat yang terama jauh. Itulah sebenarnya problem toleransi yang perlu diluruskan agar umat tidak lagi hilang kendali atau bahkan salah menempatkan diri dalam toleransi.
Maka dari itu, perlu adanya institusi sebagaimana kepemimpinan Rasullullah saw. yang pernah menyatukan berbagai umat beragama dengan ditegakkannya Islam. Beliau juga menyatukan umat Islam dengan umat lainnya tanpa tergadaikan keimanannya dalam negara. Negara ini disebut dengan Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian sebagaimana bisyarah yang beliau sampaikan,
“Nubuwwah ada pada kalian sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian khalifah diatas manhaj nubuwwah sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia mengehendakinya. Kemudian kerajaan yang menggigit sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia mengehendakinya. Kemudian, kerajaan yang diktator sampai Allah kehendaki, hingga dihilnagkan ketika Dia mengehendakinya. Kemudian Khalifah di atas Manhaj Nubuwwah. Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam