Oleh. Ummu Alfarizky (Komunitas Menulis Setajam Pena)
Baru-baru ini, terdengar kabar bahwa masa jabatan kepala desa atau kades diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Di sisi lain, kasus korupsi sudah menjamur di kalangan para pejabat, tak terkecuali kepala desa. Apakah dengan perpanjangan masa jabatan kades tersebut dapat menyejahterakan masyarakat atau malah sebaliknya?
Tidak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan saja,, tetapi kades juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai 300 triliun dari total ppbn 2023 yang mencapai 3.061,2 triliun.
Sejak tahun 2015, anggaran dana desa terus mengalami peningkatan dari 68 triliun hingga 468,9 triliun di tahun 2022. Jadi, rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp967,1 juta yang semula hanya Rp280,3 juta.
Tujuan dari pemberian dana desa itu sebenarnya untuk kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan, serta untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Tetapi, faktanya nihil, hanya sebuah slogan saja.
Dengan banyaknya dana desa yang masuk, mereka lupa akan tujuannya. Hal itu bisa menjadi bancakan antara pejabat kades serta krunya. Tidak bisa dimungkiri, saat ini korupsi seakan tidak bisa dilepaskan dari para pejabat, termasuk kepala desa.
Sementara di sisi lain, ada wacana revisi undang-undang desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Tidak bisa dimungkiri pula, dengan perpanjangan jabatan ini, akan memberi peluang untuk korupsi yang dilakukan bahkan akan lebih meningkat lagi.
Memang benar tuntutan masa jabatan ini, terlihat sangat logis. Sebab, singkatnya masa jabatan, bisa saja program-program yang sudah direncanakan tidak bisa dijalankan secara keseluruhan. Selain itu, dengan alasan pemborosan, jelas Pilkades 6 tahun sekali lebih boros dibandingkan 9 tahun sekali atau sama sekali tidak ada.
Akan tetapi, permasalahannya tidak hanya terletak masa jabatan atau tidak adanya Pilkades, melainkan pada buruknya pengurusan pejabat desa pada warganya. Ketika sistem politik yang ada adalah demokrasi kapitalisme, maka kebijakan yang lahir bukanlah untuk kemaslahatan umat.
Yang pasti, perpanjangan masa jabatan kades untuk kepentingan mereka, melangsungkan tujuannya yaitu mendapatkan materi yang sebanyak-banyaknya, bukan untuk kemaslahatan umat atau untuk menumpas kemiskinan. Itulah watak sistem saat ini, demokrasi kapitalis. Sistem buatan manusia yang berasaskan manfaat semata, pasti tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Permasalahan yang diselesaikan hanya tambal sulam. Di sistem saat ini, sulit ditemukan pemimpin-pemimpin yang benar-benar jujur dan amanah yang dapat menyejahterakan umat.
Berbeda dengan Islam, sistem yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti dapat menyelesaikan permasalahan yang ada termasuk kepala desa yang bermasalah. Korupsi di dalam Islam haram hukumnya, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya. Islam memiliki mekanisme jitu untuk mencegah dan memberikan sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Islam dalam memilih pemimpin tidak sembarangan, dipilihlah pemimpin yang adil, mampu, serta amanah. Pemimpin yang menjadikan halal haram, Al-Qur’an, dan hadis sebagai sandarannya. tujuannya hanya untuk menggapai rida Allah bukan yang lain.
Ketika pemimpin melakukan kesalahan, kemaksiatan, termasuk korupsi, akan diberi sanksi tegas. Sanksi di dalam Islam itu sebagai penebus dosa dan rasa jera. Jika korupsi, pasti akan diberi sanksi berupa hukuman mati karena merugikan banyak orang.
Sebagaimana hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan melihat hadis di atas, Islam menetapkan jabatan sebagai amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Wallahu a’lam bishowab.