Oleh. Dini Azra
Pernikahan beda agama selama ini menjadi berita yang cukup kontroversi di Indonesia. Sebab, sebagian besar penduduk negeri ini beragama Islam. Di mana hukum menikah antara orang yang berbeda agama adalah haram. Namun, faktanya pernikahan beda agama sering terjadi di kalangan kaum muslim sendiri dan didukung oleh perangkat negara.
Seperti diberitakan baru-baru ini, Pengadilan Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernikahan seorang laki-laki yang beragama Kristiani berinisial JEA dengan seorang muslimah berinisial SW. Menurut keterangan Perwakilan Humas PN Jakpus Jamaluddin Samosir pasangan yang berbeda agama memang boleh mengajukan izin nikah, dengan cara dibuatkan permohonan terlebih dahulu, lalu diperiksa hakim dan keputusannya tergantung bagaimana kebijaksanaan hakim. Begitu penjelasannya seperti yang dilaporkan oleh Antara di Jakarta, Sabtu (24/6/2023).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan pasangan JEA dan WE untuk menikah. Putusan tersebut tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan non muslim.
Hal ini tentu bertentangan dengan fatwa MUI terkait nikah beda agama. Dalam Munas MUI VII pada 26-29 Juli 2005 yang memutuskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah serta perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Dalam Islam rujukan atas halal haram suatu hal atau perbuatan adalah Al-Qur’an dan Sunah. Allah Subhanallah wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al- Baqarah: 221)
Polemik terkait nikah beda agama bukan kali ini saja. Tahun 2022 lalu, publik sempat dihebohkan dengan berita pernikahan antara seorang muslimah berhijab dengan laki-laki non Islam di sebuah gereja daerah Yogyakarta yang fotonya viral di media sosial. Di Surabaya juga terjadi pengesahan pernikahan beda agama oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan alasan menghindari kumpul kebo dan melindungi hak anak hasil pernikahan mereka.
Juga pernikahan seorang Stafsus presiden bernama Ayu Kartika Dewi yang juga seorang muslimah dengan Gerald Sebastian yang beragama Katolik. Lebih mencengangkan, adanya pengakuan seorang ustaz bernama Ahmad Nurcholish yang mengaku telah menikahkan ratusan pasangan beda agama.
Urusan nikah beda agama sempat disidangkan di MK atas pengajuan gugatan oleh E. Ramos Petege yang merupakan penganut agama Katolik yang hendak menikahi seorang muslimah. Saat itu MUI sebagai pihak terkait mengutus dua orang saksi ahli yakni KH. M. Cholis Nafis dan Hafid Abbas. Mereka menyampaikan alasan tidak bolehnya pernikahan beda agama dari segi Undang-undang negara dan aturan agama. Di mana larangan nikah beda agama telah tercantum dalam UU Perkawinan No.1/1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Sedangkan pendapat dari para ulama juga ormas NU dan Muhammadiyah telah memastikan bahwa larangan nikah beda agama tidak akan berubah berdasarkan wahyu dan konstitusi. Akhirnya, permohonan uji materi terhadap UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, permohonan pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama tidak diterima MK, dan diputuskan oleh Ketua MK Anwar Usman, detikNews, Selasa (30/1/2023).
Berdasarkan hasil keputusan MK tersebut seharusnya masalah pernikahan beda agama sudah terang benderang dan tak boleh terulang. Namun, faktanya hari ini masih bisa diajukan kembali dan disahkan oleh Pengadilan Negeri. Inilah bukti bahwa negara yang mengadopsi Sekularisme tidak mampu menjaga aturan agama agar tegak di tengah-tengah masyarakat. Padahal, peran negara sangatlah penting sebagai pembuat keputusan apakah sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan dan akan dipatuhi oleh warganya.
Kiranya, asas kebebasan dengan mengatasnamakan HAM selalu dijadikan pertimbangan. Sebab, negeri-negeri kaum muslimin sudah mengekor barat dalam berbagai bidang, seperti sosial-budaya, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Barat yang berasaskan kapitalisme-sekuler sangat menjunjung tinggi kebebasan/HAM. Maka, negara-negara yang berada dalam hegemoninya mau tidak mau harus mengikuti peradaban mereka. Bahkan, terkesan lebih takut jika melanggar HAM daripada melanggar syariat agama.
Hal ini tentu sangat membahayakan bagi kehidupan umat Islam. Di saat gempuran pemikiran asing semakin dahsyat menerjang umat, banyak yang menjadi rancu dengan agamanya sendiri. Umat Islam mulai meragukan apakah aturan agama masih relevan dengan jaman?
Sementara, semangat mengkaji Islam secara mendalam semakin berkurang. Bahkan, terhalang dengan ketakutan-ketakutan yang sengaja ditebarkan misalnya, takut dituduh radikal, fundamental, ekstrem, dan sebagainya. Karenanya banyak umat Islam terutama di kalangan remaja memilih beragama yang biasa-biasa saja, agar tidak dikatakan fanatik beragama. Padahal, kefanatikan dalam agama justru melahirkan ketaatan seorang hamba terhadap Rabb-Nya.
Sayangnya, negara justru mempropagandakan moderasi beragama yang dianggap solusi bagi umat sebagai jalan pertengahan agar umat Islam tidak beragama secara ekstrem dan tidak pula menjadi liberal. Namun, pada praktiknya moderasi beragama sarat dengan ide-ide Pluralisme dan ditunggangi paham liberal. Umat Islam diimbau untuk tidak menganggap agamanya yang paling benar dan harus menunjukkan sikap toleran yang berlebihan terhadap yang beragama lain. Dari sinilah terjadi degradasi ajaran Islam yang sesungguhnya telah lengkap dan sempurna.
Maka, benarlah jika agama Islam tidak mungkin bisa tegak di atas sistem selain Islam. Sebab, sistem di luar Islam menjadikan akal manusia sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Meskipun benar, dalam hal-hal tertentu seperti ibadah mahdah, pernikahan, dan mengurus kematian tetap diberikan hak bagi kaum muslimin untuk melaksanakan sesuai keyakinan agama. Namun, nyatanya saat terjadi polemik seperti pernikahan beda agama negara tidak mampu menindak tegas dengan pertimbangan HAM.
Umat Islam harus menyadari bahwa saat ini kehidupan Islam belum terkondisikan sebagaimana mestinya. Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala jika umat hari ini tidak bernaung dalam sistem Islam. Sebab, memang kejayaan suatu kaum itu akan dipergilirkan. Hanya saja, sikap umat tidak harus pasrah dan menerima kondisi ini begitu saja. Harus ada kesadaran, kesabaran, dakwah, dan perjuangan untuk kembali melanjutkan kehidupan Islam agar syariat Islam bisa kembali diterapkan secara kaffah.
Wallahu a’lam bishawab