Oleh. Ledy Ummu Zaid
Pernikahan adalah ibadah terpanjang bagi seorang muslim. Maka dari itu, membangunnya tidak boleh asal-asalan, melainkan harus dengan landasan keimanan dan penerapan syariat Islam yang benar. Apalagi dengan tujuan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mencapai sakinah, mawaddah warohmah tentu sebuah pernikahan haruslah sesuai dengan tuntunan agama sehingga keberkahan hadir di tengah-tengah keluarga. Namun, bagaimana jadinya, jika ada seorang suami yang sama sekali tidak mengerti Islam, bahkan buta terhadapnya, kemudian ia dituntut untuk membawa keluarganya ke surga?
Seperti yang baru-baru ini terjadi. Dilansir dari laman Republika (24/06/2023), pernikahan beda agama dengan mempelai pria beragama Kristen yang ingin menikahi seorang muslimah akhirnya dilegalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Hal ini dinilai sebagai keputusan yang berseberangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 silam. KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua MUI pada saat itu menyebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah.
Meski dengan alasan sosiologi yang mengarah pada keberagaman masyarakat, maupun hak asasi manusia sekalipun, pernikahan beda agama tetap tidak dapat dibenarkan. Terbukti banyak negara yang juga melarang praktik pernikahan beda agama. Bisa kita simpulkan, dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama antara laki-laki nonmuslim dan muslimah yang baru-baru ini terjadi menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama oleh negara.
Fakta lain yang tidak kalah mengejutkan adalah praktik pernikahan beda agama semacam ini ternyata sudah pernah dan dilegalkan di beberapa wilayah di Indonesia. Sebut saja PN Surabaya, Tangerang, Yogyakarta ,dan Jakarta Selatan yang telah lebih dulu melegalkannya, dilansir dari laman Detik (25/06/2023).
Hal ini merupakan salah satu buah pemikiran bagi negara yang mengusung sekularisme. Adapun sekularisme sendiri adalah pemisahan aturan agama dari kehidupan. Dengan kata lain, aturan Islam tidak boleh mengatur pernikahan beda agama ini. Sungguh ironi, di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, muslim bebas melakukan apa saja, termasuk hal sakral seperti pernikahan sekalipun. Pernikahan beda agama dilegalkan, dan aturan agama semakin terabaikan.
Lantas, bagaimana sebenarnya Islam mengatur pernikahan beda agama? Di zaman kekhalifahan masa lalu atau ketika penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh), pernikahan beda agama juga terjadi, tetapi hal itu benar-benar harus sesuai syariat Islam. Islam pasti memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia yang mana semuanya bersumber pada aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan RasulNya. Tak terkecuali soal pernikahan beda agama ini, seperti yang tercantum dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Berdasarkan ayat di atas, seorang muslimah haram dinikahi oleh seorang pria yang menganut agama lain selain Islam, mengingat tugasnya yang akan menjadi qowwam atau pemimpin bagi keluarganya dan ia juga yang bertanggungjawab melindungi keluarganya dari siksa api neraka. Sebaliknya, seorang muslim masih dibolehkan menikahi seorang wanita yang beragama lain. Dalam hal ini, wanita yang dimaksud adalah para wanita ahlul kitab atau Nasrani dan Yahudi, seperti yang tercantum dalam firman-Nya,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
Berkaitan dengan penerapan syariat Islam dalam hal pernikahan, maka peran negara sangatlah dibutuhkan. Karena negara yang akan membuat dan memerintahkan masyarakatnya untuk mentaati aturan yang ada, sekaligus mengontrol pelaksanaan aturan yang ditetapkan di tengah-tengah masyarakat. Adapun salah satu tugas negara menurut Islam adalah menjaga tegaknya hukum Allah dan menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sayangnya, yang terjadi di tengah-tengah umat hari ini adalah suatu keadaan yang berbanding terbalik dengan kegemilangan penerapan aturan agama secara menyeluruh yang berlangsung selama 2,3 abad lalu. Negara tidak berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Al Mudabbir, Sang Maha Pengatur.
Sistem pendidikan yang ada pun tidak mampu mencetak individu yang berkualitas menjaga ketaatan kepada RabbNya. Persoalan pernikahan beda agama pun akhirnya seringkali diusung oleh mereka yang hanya mengejar kepuasan syahwat atau hawa nafsu belaka. Semakin didesak dan banyak peminat, tak jarang pernikahan beda agama akhirnya dikabulkan. Inilah bukti negara mengabaikan tuntunan agama.
Wallahu a’lam bishshowab.