Oleh. Rengga Lutfiyanti
(Pegiat Literasi)
Perempuan adalah sosok makhluk mulia yang harus dijaga dan dilindungi keamanan serta kehormatannya. Namun, fakta hari ini justru menunjukkan sebaliknya. Banyak peristiwa yang menunjukkan ancaman pada perempuan dan anak perempuan. Seperti yang terjadi di Kota Binjai, seorang anak perempuan berusia 12 tahun tengah hamil delapan bulan yang diduga akibat kekerasan seksual yang dialaminya (kemenpppa.go.id, 06/01/2023).
Kemudian, ada anak berusia enam tahun yang menjadi korban penculikan seorang pemulung di Jakarta Pusat. Kepolisian Polda Metro Jakarta berhasil menangkap pelaku pada Senin (02/01) yang sempat menjadi buron (cnnindonesia.com, 03/01/2023).
Kasus lainnya yaitu ditemukannya wanita yang menjadi korban mutilasi di Bekasi. Wanita tersebut ternyata merupakan mantan aktivis Walhi yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019 (beritasatu.com, 07/01/2023).
Fakta-fakta tersebut sangat miris. Hal tersebut menunjukkan tidak ada keamanan bagi perempuan sekalipun di lingkungan keluarganya. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan setiap tahunnya terus meningkat. Komnas Perempuan pada Januari sampai November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik dan 899 kasus di ranah personal (komnasperempuan.go.i, 10/12/2022).
Maraknya kasus pelecehan, pemerkosaan, penculikan, dan pembunuhan terhadap perempuan semakin menunjukkan jika sistem hukum yang ada saat ini mandul. Sistem hukum yang seharusnya mampu memunculkan efek pencegahan tindak kejahatan, justru seolah-olah memelihara kejahatan.
Hal ini karena regulasi saat ini lahir dari pemikiran manusia yang lemah. Sistem sekuler menjadikan manusia berdaulat atas hukum. Sementara agama dipisahkan dari kehidupan mereka. Manusia berhak membuat hukum sesuai dengan keinginan hati mereka.
Terbukti dengan yang terjadi saat ini. Di satu sisi, ada keinginan untuk memberantas kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Namun di sisi lainnya, atas nama HAM yang dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi, pemicu kejahatan seperti tayangan-tayangan yang memicu bangkitnya rangsangan seksual muncul di mana-mana.
Sistem sekuler demokrasi pada faktanya hanya membuat kepribadian manusia semakin rusak. Karena, setiap perbuatan yang dilakukannya dikendalikan oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, kaum perempuan memerlukan sistem kepemimpinan yang mampu menjamin kehormatan serta keamanan mereka. Dalam peradaban manusia yang pernah ada, hanya sistem kepimpinan Islamlah yang mampu mewujudkan hal tersebut. Kemampuan tersebut lahir dari prinsip-prinsip Islam terkait dalam kepemimpinan.
Salah satunya yaitu penguasa dalam sistem Islam diposisikan sebagai perisai (pelindung). Ia harus menjalankan tugas ini dengan baik dan sungguh-sungguh. Sebab, tanggung jawabnya bukan hanya di dunia saja, tetapi hingga ke akhirat kelak. Sebagaimana dalam sebuah hadis disampaikan Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR. Shahih Muslim)
Oleh karena itu, ketika memandang masalah perempuan, penguasa juga tidak boleh memandang dengan sebelah mata. Sebab, Islam menempatkan perempuan sebagai sebuah kehormatan yang harus dijaga. Dalam hal ini, As-Syari’ telah menetapkan beberapa hukum agar kehormatan dan kemuliaan kaum perempuan tetap terjaga. Hukum tersebut antara lain adalah:
Pertama, Islam melarang perempuan berdua-duaan dengan laki-laki tanpa disertai dengan mahramnya. Bahkan ditegaskan dalam sebuah hadis, dalam sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Ahmad, bahwa yang ketiganya adalah setan.
Kedua, laki-laki dan perempuan tidak boleh berinteraksi campur baur (ikhtilat) tanpa ada kebutuhan syari. Seperti dalam hal pendidikan, kesehatan, dan muamalah. Konsep semacam ini akan menutup celah adanya romansa yang tidak halal.
Ketiga, Islam juga mewajibkan perempuan didampingi oleh mahramnya ketika akan melakukan safar menempuh perjalanan 24 jam.
Keempat, perempuan diwajibkan menutup aurat secara sempurna. Yaitu dengan menggunakan jilbab (gamis) dan menggunakan khimar (kerudung). Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam surat al-Ahzab ayat 59 dan surat an-Nur ayat 31.
Kelima, Islam juga melarang media menayangkan unsur-unsur yang memicu fantasi seksual. Konten seperti pornografi, pornoaksi, dan pemikiran barat lainnya yang rusak dan merusak akan dilarang sejak awal kemunculannya. Konten media yang diperbolehkan adalah konten-konten edukasi ataupun menampilkan kemuliaan Islam.
Selain itu, Islam juga menetapkan sanksi bagi para pelaku kriminal atau kemaksiatan sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Sistem sanksi (uqubat) dalam Islam akan memberikan efek jawabir, yaitu penebus dosa bagi si pelaku). Serta efek zawajir, yaitu mencegah agar orang lain tidak ikut melalukan pelanggaran yang sama.
Sebagai contoh, seorang pemerkosa dapat dihukum dengan had zina, yaitu dicambuk dan diusir dari kampung halaman jika pelaku terkategori pezina ghairu mukhsan (belum menikah). Namun, jika pelakunya adalah pezina mukhsan (sudah menikah), maka pelaku wajib dihukum rajam. Kemudian untuk kasus pembunuhan, Islam akan menerapkan hukum qishash. Qishash untuk pelaku pembuhan atau mengganti dengan diat sebanyak 100 ekor unta, jika keluarga yang dibunuh memaafkan pembunuhnya. Sementara itu, pelaku penculikan anak perempuan akan dikenai sanksi ta’zir. Karena perbuatannya sudah mengganggu dan membahayakan nyawa orang lain. Besar kecilnya sanksi yang akan diberikan kepada pelaku ditentukan oleh keputusan qadi.
Itulah langkah-langkah yang diambil oleh Islam dalam menjaga dan melindungi kaum perempuan. Islam juga telah mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan bagi seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, termasuk juga kaum perempuan. Langkah-langkah tersebut bukanlah cerita belaka, tetapi pernah diterapakan dan terbukti mampu melindungi kaum perempuan secara nyata.
Wallahu a’lam bishawab.