Sarah Fauziah
Bandung, Jawa Barat
Penistaan agama kembali terjadi di negeri ini. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya sanksi yang tegas dan menjerakan. Akibatnya, tindakan semacam ini tidak mampu dicegah dan terus berulang, sehingga menimbulkan ancaman terhadap akidah umat Islam.
Salah satu contoh penistaan agama yang baru-baru ini viral adalah kasus Abuya Gufron Albantani, yang mengeklaim telah menulis 500 kitab dalam bahasa Suryani. Klaim ini memicu kontroversi dan perdebatan di media sosial, terutama karena Gufron tidak pernah menunjukkan bukti nyata dari kitab-kitab tersebut. Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Gufron, seperti kemampuan berdakwah dengan bahasa semut dan mengubah air biasa menjadi air zamzam, dinilai sesat dan meresahkan masyarakat.
Menurut aktivis Islam Farid Idris, ajaran Gufron ini sangat berbahaya bagi masyarakat dengan pemahaman Islam yang lemah. Farid menyarankan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten memanggil Gufron untuk mengklarifikasi ajarannya secara terbuka di hadapan publik (suaranasional.com, 19/6/2024).
Sistem demokrasi sekuler yang saat ini diadopsi menjamin kebebasan berpendapat, yang ironisnya justru memperkuat kemungkinan terjadinya penistaan agama. Kebebasan berpendapat dalam konteks ini memungkinkan siapa pun untuk menyampaikan pandangan atau melakukan tindakan yang mungkin dianggap menista agama, tanpa adanya konsekuensi yang cukup berat untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Fenomena penistaan agama yang terus berulang ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada belum cukup efektif dalam menanggulangi masalah ini. Pasal 156a KUHP yang mengatur tentang penistaan agama hanya memberikan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun, yang dianggap terlalu ringan untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Sebaliknya, Islam menawarkan solusi yang lebih tegas dan komprehensif dalam menghadapi penistaan agama. Dalam pandangan Islam, negara berperan sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat pada hukum syarak. Islam tidak memberikan kebebasan mutlak dalam berbuat dan berbicara, karena seluruh perbuatan manusia harus sesuai dengan syariat. Pelanggaran terhadap hukum syarak dianggap sebagai kemaksiatan yang akan dikenakan sanksi tegas dan menjerakan oleh negara.
Selain itu, Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu membangun keimanan yang kuat dan melahirkan generasi berkepribadian Islam yang selalu menjaga kemuliaan Islam dan umatnya. Dalam sejarah negara Islam, tidak ditemukan penguasa yang lemah dalam menghadapi penista agama, karena negara Islam menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan dan melindungi kaum muslim dari segala bentuk penistaan.
Dengan demikian, hanya negara dengan penerapan sistem Islamlah yang mampu menghentikan dan menuntaskan segala bentuk penistaan agama, khususnya dalam sistem demokrasi sekuler yang ada saat ini. Negara akan berperan sebagai perisai bagi kaum muslimin dari setiap teror dan serangan musuh-musuh Islam, serta memastikan bahwa tidak ada pihak yang bisa menista agama Islam tanpa menghadapi konsekuensi yang berat.