Penista Agama Tak Jera, Butuh Ketegasan Hukum Negara

Oleh. Dini Azra

Selebgram Lina Mukherjee ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama, setelah dirinya dilaporkan oleh seorang ustadz bernama M. Syarif Hidayat ke Polda Sumatera Selatan pada 15 Maret 2023. Laporan tersebut terkait kontennya yang viral di media sosial, yang mana Lina yang mengaku muslim memakan daging babi krispy dengan mengucapkan Bismillah.

Atas perbuatannya tersebut, Lina Mukherjee terkena dua pasal. Pertama, Pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 ayat (2) UU ITE dan kedua Pasal 156 huruf a KUHP dengan ancaman lima tahun penjara.

Dikutip dari kanal regional Liputan6.com (5/5/2023), Direktur Ditreskrimsus Polda Sumsel Agung Marianto menyampaikan bahwa pihak kepolisian telah melakukan pemeriksaan terhadap Lina dan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, atas pertimbangan kesehatan tidak dilakukan penahanan. Meski begitu, pihaknya menyatakan akan tetap melanjutkan proses hukum yang sudah berlangsung.

Sebelum dirinya dilaporkan ke pihak berwajib, Lina tampak tidak menyesal dengan perbuatannya yang sudah menimbulkan kegaduhan dan menyakiti hati umat Islam. Lewat akun medsosnya, dia masih bersikap arogan dan tak mengakui kesalahan. Setelah diperiksa di kepolisian dirinya baru meminta maaf. Apakah memang dia sudah jera ataukah karena takut masuk penjara?

Sementara itu, seorang warga negara asing (WNA) asal Australia bernama Brenton Craigh Abbas Abdullah McArthur meludahi imam Masjid Al-Muhajir di Buahbatu, Kota Bandung, Jumat (28/4). Aksi yang dilakukan Brenton terhadap Imam masjid bernama Muhammad Basri Anwar itu diduga karena ia merasa terganggu dengan lantunan ayat Al-Qur’an yang diputar sang Imam. Brenton yang saat itu menginap di Hotel dekat masjid segera pergi ke masjid lalu mematikan HP imam sambil berkata-kata kasar dan meludahinya.

Pihak kepolisian langsung bertindak setelah mendapatkan aduan masyarakat dan Brenton pun ditangkap di Bandara Soetta sebelum terbang kembali ke negaranya. Dia sempat dihadirkan dalam konferensi pers dengan menggunakan rompi orange di Kantor Imigrasi Bandung, Jalan Surapati. Hingga akhirnya akan dideportasi, dipulangkan ke negaranya Australia.

Menurut Kepala Imigrasi Kelas 1 Bandung Arif Hazairin Satoto Brenton resmi dideportasi pada Jumat (5/5) sesuai Undang-undang No 06 Tahun 2011 (tentang keimigrasian). Selain itu Brenton juga dicekal tidak boleh masuk ke Indonesia selama enam bulan kedepan. Detikjabar.com (5/5/2023).

Bagaimana bisa seorang warga asing yang menjadi wisatawan bersikap begitu kurang ajar, apalagi dilakukan di tempat ibadah yang sakral? Ini jelas termasuk dalam tindakan penistaan agama karena dia tidak menghormati tempat ibadah dan melecehkan seorang imam masjid. Cukupkah deportasi dan pencekalan selama 6 bulan untuk membuat pelaku jera dan menjerakan orang-orang lainnya?

Memang benar, setiap ada kasus penistaan agama polisi dengan cepat merespon dan menindaklanjuti. Ada penista agama yang berakhir di penjara, ada pula yang cukup meminta maaf di atas materai dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Namun faktanya, kasus penistaan agama terus terjadi di negeri ini. Baik dilakukan oleh nonmuslim maupun orang muslim sendiri.

Mengapa hal itu bisa terjadi di negeri yang konon sangat menjunjung toleransi? Demokrasi menganut prinsip kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Kebebasan ini sering disalahgunakan orang tanpa memilah-milah, apakah yang disampaikan itu termasuk hinaan terhadap orang lain atau menyangkut sara. Terlebih di era digital saat ini, berbagai cara dilakukan orang untuk membuat konten viral. Sampai-sampai tak mempedulikan halal haram, demi konten.

Selain itu, paham sekularisme yang telah merasuk ke dalam kehidupan telah menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Mereka memisahkan urusan kehidupan dari agama. Agama dijadikan sebagai urusan private saja, tidak boleh dijadikan rujukan dalam kehidupan umum. Akibatnya, masyarakat menjadi enggan melakukan amar makruf nahi munkar. Karena takut mengganggu privasi orang lain. Malah saat ini menanyakan agama seseorang dianggap intoleran. Sebab mereka menganggap urusan agama adalah ranah pribadi yang tidak harus dipublikasikan. Sungguh aneh, padahal dengan mengetahui agama orang lain justru orang bisa saling bertoleransi.

Dalam kasus penistaan agama, wajib bagi seorang muslim mengetahui hukumnya. Bahwasanya, orang yang memperolok-olok agama hukumnya murtad dan keluar dari Islam. Meskipun yang bersangkutan mengaku hanya bercanda. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُم
ْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)

Jelas, tidak ada alasan yang membenarkan seseorang untuk menghina agama apa pun. Termasuk bertindak intoleransi dengan mengganggu ibadah dan memasuki tempat ibadah agama lain dengan maksud tidak baik. Untuk itu negara harus memberikan aturan yang jelas serta hukum yang tegas terhadap pelaku penistaan agama, agar pelaku benar-benar jera dan bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan hal serupa.

Meskipun berdasarkan Pasal 45 ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) pelaku penistaan agama bisa dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00, tetapi dalam penerapannya tidak semua kasus diberikan ganjaran sebagaimana mestinya.

Penerapan hukum masih timpang, tidak semua orang diperlakukan sama dalam kasus ujaran kebencian dan sara. Seringkali ada tokoh yang jelas-jelas menghina agama dan pemeluk agama dan sudah berulang kali dilaporkan, tapi sama sekali tidak tersentuh hukum.
Kalau pun diperiksa selalu ada alasan yang bisa melepaskannya dari jeratan hukum, karena diduga tokoh tersebut dekat dengan rezim yang berkuasa. Namun sebaliknya, jika ada ada tokoh yang kritis terhadap kekuasaan dan dia dilaporkan meskipun tidak terbukti justru dijatuhi hukuman berat. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia.

Semestinya hukum yang sudah dibuat benar-benar dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Tidak memandang apakah yang melakukan itu orang biasa, orang kaya, pejabat negara ataupun pendukungnya. Meskipun yang bersangkutan sudah meminta maaf secara lisan, proses hukum harus tetap dijalankan. Tentu saja proses hukumnya harus terbuka hingga diputuskan hukuman, agar masyarakat umum bisa melihat bagaimana hukum dijalankan dan mengambil pelajaran.

Dalam Islam, apabila pelaku tidak bertaubat dan jera maka hukuman yang paling keras akan diberlakukan, yaitu hukuman mati. Namun jika dengan hukuman penjara 5-6 tahun membuatnya tidak mengulangi perbuatannya, maka itu cukup baginya. Selain sanksi hukum yang tegas, yang lebih dibutuhkan adalah sistem yang menciptakan lingkungan kondusif. Di mana agama bukan diisolasi dalam ranah pribadi, tetapi diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Dijadikan rujukan dalam mengambil aturan hukum, karena agama Islam secara komprehensif mengatur itu semua. Sistem itu pernah ada dan berjaya, dan saat ini umat Islamlah yang wajib memperjuangkannya untuk tegak kembali.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi