Pengangguran Meningkat, Buah Sistem Kapitalisme

Oleh. Ummu Faqih, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Berbagai persoalan bangsa yang dihadapi Indonesia semakin hari semakin bertambah dan cenderung mengalami peningkatan dari segi intensitas masalah dan kedalaman masalah yang dihadapi. Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Word Economic Outlook pada April 2024 mencatat tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 5,2 persen, tertinggi dibandingkan enam negara lain di Asia Tenggara yang ada di daftar. Menyusul Indonesia, Filipina 5,1 persen, Brunei Darussalam 4,9 persen, Malaysia 3,52 persen, Vietnam 2,1 persen, Singapura 1,9 persen, kemudian Thailang 1,1 persen (CNN Indonesia.com, 19/7/2024).

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memaparkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, 9,9 juta generasi muda (Gen Z) dengan didominasi rentang usia antara 18-24 tahun belum juga mendapat pekerjaan. Mereka biasanya para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi yang baru saja menuntaskan masa pendidikannya(fresh graduate). Menaker, Ibu Ida Fauziyah menjelaskan, keberadaan anak muda yang menganggur dan belum bekerja juga dipicu oleh “mismatch” atau ketidakcocokan antara pendidikan dan pelatihan yang ditempuh dengan jenis pekerjaan yang diminta pasar. Menurutnya, pemerintah telah mengupayakan pengurangan jumlah pengangguran di Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 68 Tahun 2022 yang diharapkan dapat mengurangi “mismatch”, di antaranya dengan upaya revitalisasi pelatihan vokasi agar dapat sinkron dengan permintaan pasar kerja (kumparan.com, 20/05/2024).

Berdasarkan Laporan Talent Acquisition Insights 2024 oleh Mercer Indonesia, sebanyak 69 persen perusahaan di Indonesia menghentikan sementara merekrut karyawan baru pada tahun lalu lantaran khawatir ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari 69 persen jumlah itu, 67 persen di antaranya merupakan perusahaan besar. Berbagai masalah ketenagakerjaan yang muncul tidaklah muncul semata-mata disebabkan potret dunia ketenagakerjaan semata. Namun, persoalan-persoalan tersebut muncul dan diakibatkan juga oleh berbagai persoalan yang mendasar di bidang politik-pemerintahan, sosial-ekonomi kemasyarakatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Berbagai kebijakan dan langkah pemenerintah tidak mampu mendorong iklim investasi yang sehat di sector riil, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Sebaliknya, pemerintah justru lebih berpihak dan mendorong tumbuhnya sector non riil seperti sector perbankan dan keuangan ribawi yang justru berakibat pada masuknya Indonesia pada perangkap krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di sector riilpun ikut terganggu bahkan ada yang harus gulung tikar.

Pengangguran adalah hal yang semakin tidak terelakan. Tentu saja, hal ini menambah daftar panjang pengangguran di Indonesia.
Demikian juga masalah rendahnya kualitas SDM dan rendahnya upah pekerja, bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Masalah ini sangat terkait dengan dunia pendidikan kita yang tidak mampu menciptakan SDM yang berkualitas sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam pasar tenaga kerja.

Hal ini mudah dipahami karena sebagian besar masyarakat tidak mampu memperoleh pendidikan yang tinggi akibat mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, ketika mereka masuk ke pasar tenaga kerja mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Kondisi ini berdampak pada rendahnya upah yang harus mereka terima. Rendahnya upah pekerja juga sangat erat kaitannya dengan suplai tenaga kerja yang jauh lebih besar dari permintaannya. Pertumbuhan angkatan kerja yang masuk pasar tenaga kerja jauh lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan permintaan tenaga kerja. Hal ini berdampak pada rendahnya”harga” (upah) tenaga kerja.

Hal yang sama juga terlihat dari permasalahan buruh wanita dan pekerja di bawah umur. Kondisi krisis ekonomi mengharuskan mereka terjun ke dalam pasar tenaga kerja. Akibat desakan ekonomi, para wanita yang lazimnya lebih banyak bertanggungjawab di dalam rumah, terpaksa harus ikut berkompetisi mencari tambahan penghasilan. Semata-mata agar mereka dapat tetap hidup di tengah berbagai kesulitan hidup yang dihadapi oleh keluarga mereka. Lebih ironis lagi, tidak jarang para wanita ini, kemudian menjadikan tubuh mereka, sebagai barang komoditi yang diperjual belikan.

Hal yang sama juga terjadi pada dunia anak-anak. Bagi sebagian besar mereka ungkapan dunia anak adalah dunia belajar dan bermain adalah tidak berlaku lagi. Mereka harus dan dipaksa untuk terjun ke dalam kompetisi yang seharusnya menjadi pertarungan orang dewasa. Sebagian mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan akibat tidak adanya dana. Bahkan mereka dipaksa untuk membantu keluarga mencukupi keperluan hidupnya.

Akar Masalah Ketenagakerjaan

Mencermati secara mendalam terkait berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok yaitu “upaya pemenuhan kebutuhan hidup” serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok baik kebutuhan akan barang seperti pangan, sandang dan papan; maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus faktor pendorong terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Terjadinya kelangkaan lapangan kerja menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur dan ini berdampak pada ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Terjunnya kalangan wanita dan anak-anak ke dunia ketenagakerjaan tidak terlepas dari upaya mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sekaligus dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup.

Demikian juga persoalan gaji yang rendah yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan; tuntutan kenaikan gaji agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih baik; tuntutan tunjangan social berupa pendidikan dan kesehatan agar kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan dapat dipenuhi. Bahkan persoalan pekerja kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berpengaruh dan sangat terkait erat dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok. Dengan demikian, perlu memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan masalah kontrak kerja pengusaha dengan pekerja. Untuk kategori pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan contohnya adalah persoalan ketersediaan lapangan kerja; pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan sosial, masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur. Sedangkan untuk kategori kedua, yakni permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja ini mencakup persoalan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan dan lain sebagainya.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan non muslim) secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut.

Sedangkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut dengan beberapa mekanisme berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan)
Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut.

Adapun tahap-tahap strategi tersebut adalah:
Langkah pertama, memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja. Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rizki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadits yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah SWT berfirman, “Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15)

“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Jatsiyah: 12)

Langkah kedua, negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan.
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya, “Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

Langkah ketiga, memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt., “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian .…” (QS. Al-Baqarah: 233)

Langkah keempat, mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan. Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahramnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup.

Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR. Al-Bazzar)

Langkah kelima, negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.

2.Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (pendidikan, kesehatan, dan keamanan)

Pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), dimana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Maal.

Cara Islam Menyelesaikan Masalah Kontrak Pengusaha-Pekerja

Untuk itu, ada beberapa langkah yang ditawarkan Islam untuk dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Mengharuskan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan Islam dalam akad ijaratul ajir.
2. Negara akan mencegah tidak kedzaliman yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya.
3. Menetapkan dan mengatur mekanisme penyelesaian persengkatan dalam kontrak kerja.

Demikianlah pandangan dan cara Islam mengatasi dan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang ada. Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat termasuk masalah ketenagakerjaan. Sudah saatnya bangsa Indonesia berpaling kepada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk masalah ketenagakerjaan. Wallahualam bishawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi