Penambahan masa Jabatan Kepala Desa, Perpanjangan Tangan Oligarki?

Oleh: Yuliani Zamiyrun, S.E.
(Aktivis Dakwah dan Penulis)

Mengutip dari republika.co.id, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanees Tuba Helan menilai, perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun berpotensi menyuburkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di desa.

“Masa jabatan seorang pejabat yang terlalu lama cenderung akan membuat seseorang merasa posisinya sangat kuat dan merasa lemah sehingga akan mendorong tumbuh suburnya praktik KKN karena berhasil membentuk suatu rezim selama persaingan,” katanya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (19/10).

Selain itu, dilansir dari republika.co.id, rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa menuai tanda tanya. Pasalnya, tak sedikit kepala desa yang justru terjerat kasus korupsi. Data KPK dari 2012 sampai dengan 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 686 kades di tanah air terjerat.

Dilansir dari tirto.id, unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 menuai polemik. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki. Sebagai gambaran, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hingga 3 kali periode (secara berurutan atau terputus-putus).

Artinya, jika seorang kepala desa terpilih tiga periode secara berturut-turut, maka ia menjabat sebagai orang nomor satu di sebuah desa selama 18 tahun. Namun, bagi Robi Darwis, salah satu peserta unjuk rasa di depan gedung DPR RI tersebut, masa jabatan 6 tahun sebagai mana diatur Pasal 39 UU No. 6 tahun 2014 masih terlalu singkat. Ia berdalih, waktu enam tahun hanya habis untuk konsolidasi.

“Karena memang 6 tahun ini sangat kurang. Ketika 6 tahun kami tetap dalam suasana persaingan politik. Sehingga, waktu tersebut bagi kami sangat tidak cukup,” kata Robi.

Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga berpendapat, keberanian menolak tuntutan diperlukan karena disinyalir ide perpanjangan masa jabatan terkait dengan Pemilu 2024.
“Ini artinya, ide perpanjangan masa jabatan itu cenderung pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan,” tegas Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (22/1).

Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dibutuhkan untuk melaksanakan program pembangunan karena 6 tahun hanya cukup untuk konsolidasi. Apalagi jika dikaitkan dengan banyaknya Kepala desa yang menjadi pelaku korupsi.

Di sisi lain, hal ini menunjukkan perbedaan paradigma akan makna kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan menjadi alat untuk memperkaya diri, dan memfasilitasi para pengusaha yang menjadi para penguasa sejati untuk mencapai tujuannya sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat.

Sementara dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dalam mengurus rakyat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Seluruh penguasa wajib terikat kepada hukum syara.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi