Pemotongan Upah Buruh, Mengatasi Masalah dengan Masalah?

Oleh. Kemala
(Relawan Opini)

“Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali.” Layaknya sebuah lirik lagu, dongeng diskriminasi terhadap buruh dan rakyat bawah seakan tak kunjung menemui kata tamat. Bagaikan kisah on going, dari tahun berganti tahun, seperti ada saja chapter terbaru yang mengulas kisah pemerintah dengan berbagai kebijakan terbarunya terhadap buruh.

Pemberlakuan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global nampaknya kembali sukses mengundang amarah kaum buruh. Karena dikeluarkannya regulasi ini oleh pemerintah, dikabarkan melalui CNBC Indonesia (19/03/23), ribuan buruh dari organisasi & Partai Buruh Indonesia akan turun melakukan aksi protes awal pada hari Selasa, 21 Maret 2023 di depan Kantor Kemnaker dari daerah Jabodetabek.

Bagaimana tidak, dalam Permenaker tersebut, industri yang berorientasi ekspor dan eksportir yang terdampak ekonomi global diizinkan untuk memangkas jam kerja dan upah buruh hingga 25%. Pemangkasan ini akan menyebabkan upah yang rendah menjadi semakin merosot. Kesejahteraan buruh yang diidam-idamkan semakin jauh dipandang mata.

Sementara pemerintah menjelaskan aturan ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya PHK dalam industri padat karya tertentu akibat penurunan nilai ekspor. Para buruh menilai Permenaker ini justru bertentangan dengan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kebijakan yang dikeluarkan justru dianggap tidak solutif, merugikan dan menimbulkan diskriminasi.

Timboel Siregar (Koordinator BPJS Watch), menuturkan bahwa ini bukanlah solusi efektif dalam meminimalisir gelombang PHK dikarenakan status pekerja pada industri ini merupakan outsearching dan pekerja kontrak. Sehingga pemutusan hubungan kerja akan mudah saja terjadi (kumparan.com, 19/03/23).

Bagaikan rantai yang berputar pada gigi yang sama, masalah yang ditimbulkan dari kebijakan yang berkaitan dengan buruh ini seolah menjadi jadwal rutin yang tak pernah absen setiap tahunnya. Ketika atur & kebijakan baru usulkan, maka di situ pula akan timbul aksi penolakan walau pada akhirnya kebijakan tersebut akan tetap diberlakukan.

Sistem ekonomi kapitalisme memosisikan negara hanya sebagai perantara dengan pengusaha tanpa turut serta dalam pelaksanaanya. Keduanya tetap berada dalam hubungan yang saling menguntungkan dengan kemaslahatan pekerja/buruh jauh diurutan urutan kesekian. Sehingga persoalan upah dapat dengan mudah dinaik-turunkan sesuai kondisi industri yang dijalankan tanpa merugikan pengusaha pun negara.

Hal ini tidak sejalan dengan islam. Islam memandang buruh dan pengusaha layaknya majikan dan pekerja. Nabi Muhammad saw. dalam hadits menggambarkan bagaimana diangkatnya derajat pekerja sebagai saudara. Untuk diberikan haknya sebagaimana yang telah ia sanggupi, diperlakukan secara baik dengan kasih sayang dan manusiawi serta tidak dibebani dengan apa yang tidak disanggupinya.

Keduanya berada dalam kondisi ridha. Baik dalam pemenuhan kewajiban maupun hak-haknya. Termasuk di dalamnya mengenai pembayaran upah. Pembayarannya dilakukan secara adil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran dan neraca (keadilan).” (QS. Asy-Syura: 17)

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan atas majikan untuk tidak mengundur waktu, mendzolimi dan memberikan kelapangan bagi pekerjanya dalam pemberian upah. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan, “Berikanlah upah para pekerja sebelum kering keringatnya.”

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala secara tegas memusuhi seseorang pada Hari Kiamat kelak ketika Ia tidak memberikan upah terhadap pekerjanya, padahal telah dipenuhi pekerjaannya. Karena upah yang diterima pekerja nantinya akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri maupun keluarganya. Ketika upah yang diterima tidak sesuai dengan apa yang telah dikerjakan, sengaja ditunda pemberiannya, maka tentu akan berimbas pada sistem ekonomi keluarganya.

Solusi ini akan menjadikan hubungan buruh dan pengusaha terjaga keharmonisannya. Keduanya memiliki kesadaran penuh akan keberadaan yang Pencipta. Sehingga, semua pekerjaan yang dilakukan merujuk pada kebaikan. Jika pun terdapat konflik personal, maka akan diselesaikan secara adil dalam pengadilan pada sistem islam.

Wallahu a’lam

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi