Pemilu: Untuk Rakyat atau Kepentingan?

Oleh. Shafwah Az-zahra
(Kontributor MazayaPost.com)

Pemilihan kepala daerah (pilkada) Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir (Tirto.id, 26/0/2024). Anggaran pilkada serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp41 Triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri (kemendagri) per 8 Juli 2024 (Kompas.com 10/7/2024).

Pilkada per lima tahun sekali dilakukan kembali pada tahun 2024, yang seharusnya membawa harapan baru ternyata hanya kembali membawa harapan palsu. Hal ini dibuktikan dengan adanya praktek suap yang terjadi lagi pada pilkada tahun ini. Pertanyaannya, jika memang punya visi misi untuk menyejahterakan rakyat, kenapa harus melakukan serangan fajar untuk dipilih rakyat?

Parahnya lagi, ada paslon yang mengatakan jika orang yang memilihnya, dijanjikan masuk surga.
Hal tersebut tentu merupakan penistaan terhadap agama, karena pilkada ini merupakan urusan orang-orang yang menginginkan dunia dan hari ini penyuapan dalam pemilu merupakan hal yang diwajarkan. Padahal sudah dikenal bahwa suap itu merupakan hal yang haram dalam agama. Bagaimana mungkin orang yang melakukan hal yang terlarang terjamin masuk surga dan menjamin masuk surga; ini tentu penistaan. Allah berfirman dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 188,

ولا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل وتدلوابها الى الحكّام لتأكلوا فريقا من اموال النّاس بالإثم وأنتم تعلمون

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Lalu muncul lagi sebuah pertanyaan dalam benak; pakah pemilu itu untuk rakyat atau untuk kepentingan pribadi dan oligarki? Jelas jawabannya untuk kepentingan pribadi dan oligarki. Karena di zaman sekarang ini, jika suatu hal tidak mendatangkan atau memberikan manfaat kepada diri sendiri, untuk apa diurusi. Adapun indikasi yang lainnya adalah munculnya praktik politik uang dalam proses pemilu. Jika memang seorang kepala daerah (gubernur) itu memberikan visi misi untuk menyejahterakan rakyat dan memang dinilai baik oleh masyarakat, maka ia tidak perlu sampai mengeluarkan uang untuk membeli suara rakyat.

Anggaran yang dipakai untuk pilkada juga diketahui berasal dari APBD. Ini jelas merugikan rakyat. Anggaran yang seharusnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut, malah digunakan untuk memenuhi anggaran pemilu di masing-masing wilayah, dengan alasan agar pemerintah daerah tidak mengalami beban anggaran terlalu besar.
Demokrasi terbukti gagal menyejahterakan. Tetapi mayoritas masyarakat menganggap bahwa kerusakan yang terjadi di negara ini disebabkan oleh pemimpinnya atau karena demokrasi yang kurang bagus sehingga harus diperbaiki.

Itu tentu anggapan yang salah. Jika karena pemimpinnya, Indonesia sudah berkali-kali berganti kepemimpinan, tapi negara ini masih saja rusak. Jika karena demokrasinya yang kurang sempurna, mengapa tidak diganti ke yang sempurna?

Apa yang Sempurna?

Tentu saja Islam, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3,

اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Dalam Islam, negara memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya dalam memilih kepala daerah atau dalam Islam disebut juga wali dan amil, karena pemilihan mereka dilakukan dan ditunjuk sendiri oleh khalifah, sesuai dengan kebutuhan khalifah. Pemilihan ini tentu tidak dilakukan asal-asalan. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali dan amil agar pantas menjadi seorang pemimpin, yaitu laki-laki, merdeka, Islam, baligh, berakal, adil, dan memiliki kemampuan yang sesuai untuk mengemban tugas yang diberikan serta berkepribadian kuat.

Negara akan atau harus memilih individu yang amanah dan bertanggung jawab untuk memikul beban kepemimpinan ini. Karena, menjadi pemimpin adalah sebuah beban yang sangat berat. Ia harus mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan umat, inilih sosok seorang pemimpin yang kapabel.

Dengan adanya pemimpin yang tepat dan menerapkan syariat Allah, maka negara, masyarakat, dan individu akan hidup damai dan sejahtera. Kehidupan yang seperti ini tentu tidak bisa terwujud dengan menerapkan sistem demokrasi buatan manusia yang memiliki kekurangan dalam menetapkan hukum. Hal ini hanya mungkin terjadi jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah, yang hukumnya berasal dari Allah. Wallahualam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi