Pemberantasan Korupsi Hanya Ilusi, Islam Solusi Hakiki

Oleh. Tri S, S.Si.

Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain total nominal yang besar hingga mencapai Rp4 Miliar, sejumlah pihak juga melihat perlunya perombakan sistem di internal KPK. Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK.

Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas. Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewas KPK, Albertina Ho menjelaskan, praktik pungutan liar tersebut nominalnya mencapai 4 miliar rupiah, terhitung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022. KPK pun akhirnya melakukan penyelidikan terkait kasus ini.

Saat ini, lembaga antirasuah membagi penanganan kasus tersebut menjadi dua klaster: tindak pidana dan pelanggaran disiplin pegawai. Terkait klaster dugaan pelanggaran etik, KPK bahkan membentuk tim khusus guna melakukan pemeriksaan terhadap para pegawai yang diduga terlibat dalam perkara ini (tirto.id, 24/6/2023).

Faktanya, sanksi yang diberikan pun tak menuntaskan masalah. Bahkan, muncul lagi maling-maling lainnya dan kian merebak jika ada proyek besar bak jamur di musim penghujan. Tidak dimungkiri, praktik korupsi yang terungkap hanya tataran permukaannya saja. Ibarat fenomena gunung es, yang belum terungkap jauh lebih banyak apalagi dibarengi dengan sistem pengawasan yang lemah. Alhasil, semua saling berkelindan dalam lingkungan yang korup. Dari fakta di atas, ada benang merah yang bisa kita tarik. Yakni, akar permasalahan korupsi yaitu diterapkannya sistem Demokrasi Kapitalisme di negeri ini. Sistem ini berkelindan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan praktik korupsi, di mana Kapitalisme melahirkan watak manusia yang kapitalistik.

Mereka melakukan akumulasi kekayaan tanpa memedulikan apakah melanggar norma atau tidak dalam prosesnya. Struktur masyarakat yang terbentuk pun masyarakat yang materialistik. Ironisnya, seseorang dihargai atau tidaknya di tengah masyarakat berdasarkan kekayaannya semata. Sehingga lazim jika kita melihat setiap orang terus berjuang untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain.

Dukungan dari sistem demokrasi pun turut menyuburkan praktik korupsi terjadi di negeri ini. Di mana demokrasi membuka peluang money politik terjadi dalam kontestasi politik.

Selama masa kampanye misalnya, tentu butuh dana yang tak sedikit. Bahkan uang dijadikan alat kampanye yang sangat ampuh untuk mendulang suara. Votes (suara) pun jadi komoditas yang diperjualbelikan untuk meraih tampuk kekuasaan. Biaya yang dikeluarkan selama masa kampanye bisa jadi bukan dari kantong pribadi.

Ada dana-dana “panas” yang harus dikembalikan kepada pemiliknya ketika tampuk kekuasaan teraih. “No Free Lunch” begitu tepatnya. Akhirnya terjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dengan pengusaha. Bukan lagi dana yang dikembalikan layaknya utang, melainkan perizinan mendirikan usaha yang bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah yang jauh lebih berlimpah. Bagi-bagi kue kekuasaan pun tak dielakkan.

Sebagai sebuah persoalan yang bersifat struktural, pemberantasan korupsi tak bisa diselesaikan hanya dengan penyelesaian yang sifatnya pragmatis. Artinya, butuh perubahan struktural juga yang kemudian bisa menihilkan perilaku-perilaku korup, baik korupsi kecil-kecilan atau korupsi besar-besaran. Perubahan struktural ini harus dengan mengubah sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem Kapitalisme.

Sebagai antitesis dari penerapan kapitalisme, Islam jadi jawabannya. Penerapan sistem Islam dengan basis ketakwaan kepada Allah Swt. melahirkan individu-individu yang menjadikan halal haram sebagai standar hidupnya. Sehingga, kecil kemungkinan terjadi berbagai praktik manipulatif di dalam lembaga pemerintahan.

Islam telah menggariskan bahwasanya setiap muslim yang diamanahi menjadi pemimpin, maka ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Tentu ini memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi seseorang yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Alhasil, jika dari akarnya diperbaiki, dirombak, diubah sesuai fitrah manusia, maka bukan tidak mungkin korupsi lenyap dari proses pemerintahan. Bahkan, para pemimpin yang hadir di tengah-tengah masyarakat pun adalah para pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya.

Di samping penerapan sistem yang mumpuni, Islam pun telah menetapkan langkah-langkah bagaimana supaya kasus korupsi tidak menjamur di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, antara lain:

Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintahan sebagai pelayan rakyat, ia berkewajiban menunaikan tugasnya dengan sempurna. Memberikan pelayanan yang optimal. Namun, mereka pun tetaplah manusia yang mempunyai kebutuhan hidup. Sehingga, negara wajib memberikan gaji yang layak supaya aparatur pemerintah bisa fokus bekerja dan tidak tergoda berbuat curang.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Tentang suap Rasulullah bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud)

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)

Ketiga, perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin Khathab pernah melakukan perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik dan ini menjadi cara yang ampuh untuk mencegah korupsi. Semasa menjabat pun, Khalifah Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, maka diminta membuktikan bahwa kekayaannya itu didapat dengan cara yang halal.

Keempat, keteladanan pemimpin. Pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah syu’unil ummah (mengatur urusan umat) dan pengaturan ini harus dicontohkan kepada bawahannya. Sebagaimana Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena didapati tengah digembalakan bersama di padang rumput miliki Baitul mal dan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kelima, hukum yang tegas. Penegakkan hukum dalam Islam tidak tebang pilih. Tanpa memandang apakah ia keluarga, kerabat atau kolega. Sebagaimana yang akan dilakukan Rasulullah kepada puterinya, jika benar Fatimah anaknya yang mencuri, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan muhasabah ke berbagai elemen.

“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Paripurnanya Islam yang memberikan syariat dari hulu ke hilir, tercatat telah berhasil meminimalisasi tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Sistem ini mamp
u mengantarkan negara menjadi sebuah peradaban yang gemilang pada masanya.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi