Pembangunan Rendah Serapan, Bukti Ketidakjelasan Arah Pembangunan?

Oleh. Firda Umayah

Dua bulan menjelang tutup buku akhir tahun 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa sisa anggaran belanja APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) masih terserap sekitar 61,6 persen. Dilansir oleh laman cnnindonesia.com pada 28 Oktober 2022, ada sekitar Rp1.200 triliun yang harus dihabiskan sebelum tahun baru 2023 datang (CNNIndonesia, 28/10/2022).

Febrio Nathan selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menjelaskan bahwa meskipun dana APBN harus dihabiskan, namun bukan berarti harus dilakukan kegiatan yang tidak berkualitas. Febrio juga menegaskan bahwa belanja tidak harus habis, akan tetapi harus memiliki realisasi yang tinggi.

Jika dilihat lebih dalam, adanya sisa anggaran APBN yang belum terserap ditengah sulitnya sebagian ekonomi masyarakat merupakan hal yang tak lazim. Sebab, disaat rakyat menjerit untuk tidak dinaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, pemerintah justru ngotot harus menaikkan dengan dalil bahwa APBN tidak sanggup menanggung beban biaya subsidi BBM. Hal lain juga dapat dilihat pada infrastruktur dalam negeri yang masih banyak ditemukan ketidaklayakan.

Bahkan dalam layanan publik, masih banyak ditemukan keluhan yang dilayangkan kepada Ombudsman republik Indonesia termasuk keluhan tentang kenaikan tarif dasar listrik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja pemerintah di dalam pembangunan bangsa tidak berjalan secara maksimal. Lebih lanjut lagi, tidak optimalnya penyerapan dana APBN merupakan bukti ketidakjelasan arah pembangunan.

Sungguh, ketidakefisienan penyerapan anggaran dana APBN merupakan salah satu bukti bahwa di dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat. Padahal, dalam pandangan Islam, upaya untuk memenuhi kebutuhan rakyat harus dilakukan oleh pemerintah.

Islam memandang bahwa pemimpin negara merupakan penanggungjawab atas segala urusan rakyat. Rasulullah Saw juga telah bersabda, “Imam (pemimpin negara) adalah penanggungjawab dan bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR. Ibnu Majah)

Terkait penyaluran dana APBN, Islam juga memandang bahwa negara harus memiliki skala prioritas mana kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Meskipun sejatinya kewajiban negara adalah memberikan kemudahan bagi semua warga negara agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Upaya ini dapat dilakukan dengan cara memberikan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah. Memberikan pelayanan umum di bidang kesehatan dan pendidikan, serta memberikan sarana prasarana yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Negara juga harus memiliki pos pengeluaran dana untuk menyantuni warga negara yang menjadi tanggungan negara. Seperti fakir miskin, orang jompo yang tidak memiliki sanak saudara, dan lain sebagainya. Pos pengeluaran dana ini ditentukan berdasarkan syariat Islam.

Jika negara akan memberikan hak delapan golongan yaitu fakir, miskin, hamba sahaya, mualaf, amil, gharim, riqab dan fisabilillah, maka negara dapat mengambil dari pos zakat. Namun jika negara akan memberikan kemudahan bagi semua warga negara dalam mendapatkan pelayanan dan fasilitas umum yang baik, maka negara Islam dapat mengambil dari pos hasil pengelolaan kekayaan alam, hasil dari kharaj, usyr, ghanimah atau yang lainnya.

Sehingga, sistem anggaran dalam negara yang berpedoman kepada Islam akan tepat sasaran, berguna dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan sistem pemerintahan Islam yang telah tegak lebih dari 13 abad dibawah naungan institusi negara Islam yaitu Khilafah.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi