Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor MazayaPost.com)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Isnur menguraikan, puluhan laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali (tempo.co, 25/8/2024).
Demonstrasi serentak ini buntut dari keputusan panitia kerja (panja) Badan Legislasi atau Baleg DPR RI menganulir putusan MK ihwal Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada. Mereka menuntut DPR tidak mengangkangi putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.
Suara Rakyat dalam Sistem Demokrasi vs Sistem Islam
Demonstrasi terjadi sebagai bentuk hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang menyebabkan rangkaian protes dan unjuk rasa. Meskipun alam demokrasi semakin terbuka, tak sedikit pejabat bersikap resisten terhadap kritik. Padahal kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi daulat rakyat. Dalam demokrasi rakyat yang memberi kuasa ke pemerintah.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi sistem demokrasi. Demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan Kritik merupakan jantung dalam berdemokrasi. Dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi, ada beberapa hal yang menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan akan terjadi, seperti maraknya perdebatan dan perseteruan pemikiran antar masyarakat dan/atau antara masyarakat dan pemerintah. Dan inilah yang terjadi sekarang ini.
Presiden Joko Widodo secara terang-terangan meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik demi terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik. Sayangnya, pernyataan presiden tersebut menjadi hal yang sangat ironis karena bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, dimana semakin meningkatnya tendensi pembungkaman suara masyarakat oleh aksi represif dari para aparat penegak hukum. Semua ini sungguh paradoks, negara demokrasi yang mengaku berbasis suara rakyat, tetapi nyatanya antikritik dan represif kepada rakyat.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Islam telah mempromosikan ajarannya ke seluruh penjuru dunia agar manusia senantiasa memperoleh kejayaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Ajaran-ajaran tersebut tertuang dalam bentuk aturan-aturan formal dan nonformal yang mencakup berbagai lini kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, keluarga, kelompok/komunitas, bahkan negara. Baik dalam aspek pendidikan, sosial, ekonomi, maupun politik.
Dalam sistem Islam, suara rakyat digaungkan dalam prinsip amar makruf nahi munkar. Prinsip ini sebenarnya merupakan salah satu landasan utama ajaran Islam yang Allah Swt. perintahkan kepada semua umat muslim untuk dilaksanakan. Sedemikian pentingnya prinsip amar makruf nahi munkar, hukumnya bahkan sama dengan berperang melawan musuh/jihad di jalan Allah, yaitu fardu kifayah. Jadi di antara masyarakat muslim wajib menunaikan kewajiban ini dengan baik. Jika tidak, maka seluruh masyarakat akan berdosa. Selain mendapat dosa kolektif, masyarakat muslim juga akan lebih berpotensi menjadi masyarakat yang bobrok sebab ketiadaan suatu prinsip perekat antara mereka.
Menurut Ibnu Taimiyah, praktik amar makruf ahi munkar dapat melalui tiga cara, yakni dengan hati (al-qalb), lisan (al-lisān), maupun kekuasaan (al-yad). Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. bahwa, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan kekuasaannya, kalau ia tak mampu maka dengan lisannya, kalau ia masih tak mampu maka (cukup) dengan hatinya.”
Hal ini sebetulnya menggambarkan keluasan sarana yang dapat digunakan dalam menjalankan prinsip amar makruf nahi munkar, yakni boleh melalui kekuasaan seperti pemerintah maupun melalui nasihat-nasihat secara verbal maupun melalui tulisan.
Prinsip amar makruf nahi munkar jika diimplementasikan pada suatu masyarakat dalam sebuah negri maka akan mengantarkan masyarakatnya pada sikap yang aktif partisipatif dalam menebarkan kebaikan demi kemaslahatan umum/bersama. Bentuk pengimplementasian prinsip ini pun beragam, dapat berupa kritik masyarakat kepada pemerintah tentang suatu rancangan undang-undang (RUU), kritik antar masyarakat tentang urgensitas pengembangan ekonomi negara, kritik pemerintah ter hadap masyarakat dalam praktik undang-undang atau kebijakan yang ada, dan bentuk-bentuk lainnya yang tak terbatas.
Namun, hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa amar makruf nahi munkar perlu diimplementasikan dengan cara yang ramah. Mengenai hal ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa penegakan prinsip ini seyogyanya dengan memerhatikan sikap yang lemah lembut (al-rifq). “Sebab itu dikatakan “amar makruf-mu seharusnya dilakukan dengan makruf, dan Nahi Munkar-mu seharusnya dilakukan tidak dengan munkar.”
Pemimpin dalam sistem Islam (khalifah) tidak akan berbuat represif terhadap rakyat yang melakukan muhasabah/protes kepada penguasa. Hal ini karena semua pihak paham akan pentingnya muhasabah sebagai bagian dari amar makruf nahi munkar. Dalam sistem Islam, penguasa memahami bahwa tujuan muhasabah adalah menjaga kekuasaan agar tetap berada pada koridor syariat islam, tidak boleh berbelok atau melenceng sedikit pun. Dengan terjaganya kekuasaan tetap sesuai syariat, maka akan terwujud negeri yang penuh keberkahan dan dilimpahi ampunan Allah Swt.