Oleh. Fatimah Nurul Jannah
(Aktivis Dakwah)
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen akan tetap diberlakukan. Paling lambat pemberlakuannnya 1 Januari 2025. Rencana kenaikan ini telah tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2021. Setelah cukup lama menggantung, peraturan ini pun diberlakukan. (Republika.co.id, 14/11/2024).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI) Alphonzus Widjaja menegaskan kenaikan PPN sangat berpengaruh negative pada daya beli masyarakat. Padahal, sejak awal 2024, daya beli masyarkat telah menurun drastis.
Alphonzus juga mengingatkan, daya beli masyarakat adalah faktor utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, yang hari ini mayoritas menjadi status warga Indonesia. Artinya, jika sektor ini terganggu, maka akan berdampak fatal terhadap perkonomian nasional dan justru menghambat tercaainya target pemerintah untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Memang seperti inilah kehidupan yang berada di bawah cengkeraman kapitalisme, sangat berhubngan erat dengan pajak bahkan mustahil terpisahkan. Hal ini karena pajak ialah sumber utama negara dalam memperoleh pendapatan. Katanya, pajak dianggarkan untuk kesejahteraan rakyat. Faktanya, adanya pajak sangat menyengsarakan rakyat dan tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat sedikit pun.
Pajak yang seharusnya digunakan untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi utang. Namun nyatanya disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Rakyat bersusah payah, tertatih-tatih bekerja untuk membayar pajak, para Dirjen pajak justru memamerkan berbagai gaya hidupnya yang serbah mewah dan glamour.
Hakikatnya, sumber persoalan tidak terletak pada pihak yang mengelola harta pajak. Andai harta pajak dikelola oleh pihak yang amanah dan jujur, pasti masih menimbulkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan rakyat. Sebenarnya, sumber persoalan ialah menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Peletakan pajak sebgai sumber utama negara adalah hal yang tidak tepat. Pendapatan utama negara seharusnya didapatkan dari hasil pemanfaatan sumber daya alam dan pendapatan-pendapatan tetap negara lainnya seperti fa’I, jizyah, kharoj, khumus, rikaz dan zakat.
Begitulah negara Islam mengelola perekonomiannya. Negara Islam sebagai ra’in (pengurus), menjamin semua kebutuhan masyarakatnya tanpa terkecuali. Rakyat pun hidup sejahtera, bahkan tidak ada seorang pun yang merasa drinya berhak untuk diberi oleh orang lain.
Dalam Islam, bukan berarti tidak ada pajak. Negara Islam juga memiliki peraturan terkait perpajakan. Pajak dalam Islam disebut dengan dharibah, tentunya pajak tidak digunakan sebagai sumber pemasukan utama negara. Pajak dalam Islam memiliki syarat-syarat tertentu di antaranya: pertama, pajak dipungut untuk menunaikan kewajiban syar’i yang mendesak, yaitu antara kewajiban negara (baitul mal) dan kewajiban umat islam. Contohnya, untuk menyantuni orang fakir miskin, menolong korban bencana alam, dan membangun jembatan yang menjadi penghubung satu-satunya antara 2 kota.
Kedua, pajak hanya dipungut ketika dana di baitul mal kosong atau kurang. Ketiga, pajak dipungut hanya dari kaum muslim saja. Kaum nonmuslim tidak dipungut pajak karena sudah membayar pungutan khusus yakni jizyah. Keempat, pajak dipungut hanya dari orang yang mampu saja. Hukum pajak tidak diberlakukan sama rata untuk semua kalangan. Oleh karena itu, pajak tidak dipungut kepada warga miskin atau fakir.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam mengatur persoalan pajak dengan sangat kompleks. Sehingga masyarakat yang menerapkan peraturannya terjamin kesejahteraanya. Wallahualam bisawab.