Papua Merana, Akibat Abainya Peran Negara?


Oleh. Erni Setianingsih Masrullah
(Aktivis Dakwah Kampus)

Akhir-akhir ini, kita mendapati berita duka yang pilu dari saudara-saudari kita di Papua yang kaya akan SDA. Pasalnya, bencana kelaparan dan kekeringan di Papua sudah merenggut para korbannya. Hal ini akibat tidak ada keseriusan dari negara dalam menangani secara cepat kondisi di Papua. Sungguh, terlalu naif jika cuaca yang menimpa Papua menjadi kambing hitam terjadinya kelaparan di Papua. Berbagai macam faktor yang bisa menjadikan Papua lepas dari krisis, tapi realitanya bersumber dari keserakahan para pemilik modal (kapitalis) di pulau kaya SDA itu.

Sedikitnya 7.500 warga terancam jiwanya akibat bencana kelaparan di Papua. Dari berita yang didapat sudah lima orang dewasa dan ditambah satu orang bayi menjadi korban akibat bencana yang disebabkan dingin ekstrem dan kekeringan di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi, Kabupaten Puncak, Papua Tengah itu. Jumlah tersebut didasarkan data yang dihimpun dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Puncak per Ahad 30/7/2023. (news.republika.co.id, 01/08/2023).

Sungguh ironis, berdasarkan data yang masih ada 7.500 warga yang kelaparan dan terancam meninggal dari kedua distrik tersebut apabila pemerintah tidak segera bertindak atas bencana yang melanda rakyatnya, maka akan banyak lagi korban yang berjatuhan. Inilah yang harus segera diupayakan oleh pemerintah dalam menangani kondisi rakyatnya yang terancam bencana tersebut.

Memang seharusnya pemerintah bertanggung jawab atas apa yang menimpa rakyatnya di Papua, karena dengan selang waktu dua bulan lebih itu cukup bagi pemerintah untuk memaksimalkan bantuan untuk rakyatnya di Papua, demi mengantisipasi munculnya korban jiwa dari bencana ini. Terlebih, dari pihak BMKG mengklaim telah memberi tahu pada pemerintah mengenai adanya musim kemarau sejak Maret 2023. Sedangkan, Kemensos (Kementrian Sosial) mengaku akan menyiapkan lumbung penyimpanan bahan makanan.

Dampak bencana kekeringan dan kelaparan yang sudah merenggut korban di Papua ini, sekiranya patut untuk kita sematkan sebagai potret nyata akibat abainya pemerintah. Karena, ini bukanlah bencana yang tiba-tiba terjadi layaknya tsunami, gempa bumi, maupun gunung meletus. Bahkan, bencana tergolong tiba-tiba tersebut masih bisa dapat diupayakan meminimalkan korban dengan memaksimalkan mitigasi bencana.

Upaya maksimalnya pemerintah juga harus dipertanyakan dalam melakukan persiapan menghadapi dampak bencana. Apalagi muncul korban akibat warga terpaksa memakan bahan makanan yang tak layak konsumsi, sehingga mengakibatkan buruknya kesehatan warga di Papua dan warga pun memperoleh bantuan harus berjalan selama dua hari ke Distrik Sinak.

Namun, disini sudah nampak bahwa pemerintah saling lempar alasan. Sebagaimana dari pihak BMKG yang merasa sudah menyampaikan akan muncul bencana fenomena cuaca yang diprediksi hingga September 2023 sejak Maret 2023. Dari pihak Kementrian Sosial pun memberikan alasan susahnya akses jalan untuk menjangkau lokasi. Di tambah lagi dari aparat keamanan yang meyakinkan sulitnya pemberian bantuan karena merajalelanya KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) yang biasa disebut kelompok teroris atau separatis.

Inilah wujud dari lemahnya peran negara dalam sistem demokrasi kapitalisme. Baik itu dalam faktor keamanan, faktor alam, dan faktor akses jalan yang merupakan akibat penerapan sistem kehidupan yang rusak ini. Faktor keamanan yang mengganggu proses distribusi lebih menunjukkan ketidakmampuan negara menumpas kelompok teroris atau separatis yang sudah berlarut-larut melancarkan terornya, padahal ulah mereka sudah banyak yang merenggut nyawa. Faktor alam yang mengakibatkan bencana fenomena cuaca (El Nino) parah tidak terlepas dari andil sistem kapitalisme dalam tata kelola pembangunannya. Begitu pun juga faktor akses jalan yang merupakan sarana publik juga menunjukkan lemahnya negara yang menerapkan sistem kapitalisme dalam memeratakan pembangunan.

Inilah wajah buruk sistem demokrasi kapitalisme, jika sistem kehidupan ini terus dibiarkan atau dipertahankan. Maka, sikap abai pemerintah terhadap rakyatnya tidak akan pernah berakhir. Karena sistem saat ini lazim melahirkan peraturan yang abai dalam meriayah rakyatnya. Sejatinya rakyat membutuhkan pemerintah yang peduli dengan rakyatnya, pemerintah yang memainkan perannya sebagai pengurus urusan rakyatnya, tentu bukan yang bergerak cepat dan tanggap ketika korban jiwa telah jatuh.

Bedahalnya dengan sistem Islam yang melahirkan peraturan yang begitu sempurna, karena sistem Islam dapat hadir sebagai solusi. Tentunya Islam melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Karena pemimpin dalam sistem Islam sangat bertanggung jawab dengan apa yang menjadi tugasnya, karena kelak Allah akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin. Masya Allah.

Apabila terjadi bencana alam, maka pemerintahan dalam Islam akan makin memaksimalkan perannya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya yang tertimpa bencana. Upaya yang dilakukan negara bukan ketika bencana telah terjadi, tetapi jauh sebelumnya terjadi bencana. Sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab pada ribuan abad lalu, ketika beliau melakukan upaya maksimal dalam menghadapi bencana alam, seperti paceklik.

Dalam sistem Islam juga sulit ditemui akses jalan yang tidak merata. Pasalnya, sistem ekonomi Islam tidak akan membiarkan Sumber Daya Alam (SDA) diprivatisasi, tetapi wajib bagi negara untuk mengelolanya untuk kebutuhan umat, yang hasilnya akan digunakan untuk membangun sarana publik, baik sarana pendidikan, sarana jalan, sarana kesehatan, hingga memberikan akses murah, mudah, dan bahkan gratis, semata-mata untuk kemaslahatan umat. Karena kelimpahan SDA tidak akan menjadikan negara kekurangan modal dalam mengurusi rakyatnya.

Sebagaimana pada masa khalifah Umar bin Khattab yang melihat jalan yang rusak, beliau berkata “jangan ada satu keledai pun yang terperosok karena jalan yang rusak, karena ini akan menjadi pertanggung jawabanku di akhirat kelak”. Masya Allah, inilah wujud ungkapan dari sosok pemimpin yang lahir dari sistem yang berkah yaitu Islam.

Jadi, masa kegemilangan Islam dalam catatan sejarah sudah membuktikan bagaimana sosok pemimpin yang seharusnya. Tentu tidak lepas dari adanya implementasi syariah Islam secara kafah hingga peradaban Islam dapat bertahan selama 14 abad lamanya.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi