Pandemic Fund: Sistem Kesehatan Nasional Tersandera Kepentingan Global

Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.

Pandemi covid-19 secara perlahan tapi pasti, telah menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap tatanan perekonomian dalam negeri bahkan global. Dunia, baik negara berkembang maupun maju, seolah minim dari kata siap untuk menghadapi pandemi berikut efek turunannya. Ancaman resesi global pun tidak dapat dielakkan. Fakta ini kemudian menjadi isu paling dominan serta fokus utama dalam ruang diskusi presidensi G20 sepanjang tahun 2022. Berbagai kebijakan domestik dan Internasional mencoba dirumuskan untuk memulihkan kondisi yang ada.

Pada senin, 14 November 2022, pertemuan gabungan Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan secara hybrid dilakukan untuk mengkukuhkan komitmen terhadap kebijakan pandemic fund dibawah kepresidenan G20 Indonesia. Pandemic Fund merupakan strategi penghimpunan dana global untuk mengantisipasi jika terjadi pandemi ulang di masa mendatang. Dana ini diharapkan mampu menopang kebutuhan negara-negara yang membutuhkan guna menjalankan upaya kesiapsiagaan, pencegahan, dan penanggulangan pandemi (PPR). Harapannya, pandemic fund mampu menjadi jembatan untuk mewujudkan arsitektur sistem kesehatan global yang tangguh sehingga mampu menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi dunia.

Sejauh ini, dana yang terkumpul sudah lebih dari 1,4 miliar USD. Sri Mulyani pun berharap kebijakan pandemic fund dapat menjadi jembatan kerjasama bagi negara-negara anggota G20 maupun non-anggota G20, para pemangku kepentingan, termasuk filantropi, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil. Selanjutnya dana ini akan diatur distribusinya oleh lembaga baru bernama FIF (Financial Intermediary Fund). Lembaga ini akan dikomandoi oleh Mantan Menkeu Indonesia, Chatib Basri sebagai perwakilan negara berkembang, serta Menkes Rwanda, Daniel Ngamije sebagai perwakilan negara maju. Keduanya akan memimpin perumusan kriteria, syarat hingga ketentuan proposal yang masuk untuk diseleksi kelayakannya mendapatkan pendanaan dari FIF. Meskipun belum diresmikan, namun sudah ada 300 proposal dari berbagai negara yang masuk ke FIF untuk mengajukan pendanaan. Jumlah ini diperkiran akan terus bertambah hingga Desember mendatang.

Kesalahan Paradigmatis
Pandemic fund sejatinya tidak lebih dari solusi tambal sulam dari kegagalan sistem kapitalis dalam regulasi bidang kesehatan tatkala menghadapi pandemi khususnya dan dalam berbagai bidang lainnya termasuk politik dan ekonomi pada umumnya. Kesalahan regulasi ini bersifat mendasar dan sistemik. Pasalnya, asas mendasar ideologi kapitalis yang sekuler telah memberikan ruang bagi akal manusia yang lemah untuk membuat aturan. Sekaligus menihilkan aturan Allah yang Maha Mengetahui. Walhasil, aturan yang dihasilkan oleh sistem ini pun syarat akan kepentingan hawa nafsu manusia yang tidak ditundukkan oleh wahyu illahi.

Kesalahan regulasi yang sistematis merupakan konsekuensi logis akibat berpalingnya manusia dari aturan Allah. Ketika hak membuat hukum diserahkan kepada manusia, maka bukan hal yang aneh ketika regulasi yang ada justru mengakomodir kepentingan para pemilik modal yang haus akan harta dan tahta. Kekayaan alam melimpah ruah yang seharusnya dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat, termasuk di dalamnya menopang keberlangsungan sistem kesehatan, namun dalam sistem kapitalisme justru halal untuk dikelola individu atau swasta dengan dalih investasi dll.

Akibatnya, kapitalisasi kesehatan dalam sistem ini pun menjadi hal yang sangat lumrah. Orientasinya bukan lagi memberikan pelayanan seoptimal mungkin sebagaimana standart yang ada. Namun sudah pada tataran untung rugi. Karena tidak bisa dipungkiri, beroperasinya pelayanan kesehatan di lapangan, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Diperparah dengan watak dasar kapitalis yang materialistis, dimana subsidi termasuk jaminan kesehatan gratis oleh negara dipandang sebagai sesuatu yang membebani APBN.

Akhirnya lahirlah solusi pandemic fund, karena dalam kapitalisme negara hanya menjadi fasilitator. Bukan penanggung jawab yang mengatur regulasi berjalannya sistem hingga bagaimana pembiayaannya secara mandiri dan mumpuni. Dampaknya, ketika pembiayaan kesehatan tergantung pada diterima atau tidaknya proposal oleh pengampu dana, maka jelas ini telah menjadi jalan bagi tersanderanya kebijakan dalam negeri oleh kepentingan global melalui solusi ini.

Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Islam
Berbeda dengan sistem Islam, di mana kedaulatan membuat hukum dikembalikan kepada Allah Al Khaliq Al Mudabbir. Tidak hanya dalam tataran individu, bahkan regulasi kebijakan negara harus senantiasa merujuk kepada syariatnya Allah. Islam memandang bahwa satu jiwa manusia sangat berharga, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan Al-Albani)

Maka dari itu, negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga nyawa rakyatnya. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem kesehatan yang mampu memberikan pelayanan yang paripurna. Baik dalam kondisi normal maupun pandemi.

Guna menunjang hal ini, maka harus ditopang oleh sistem lainnya, yaitu sistem pendidikan untuk mencetak SDM andal, serta sistem ekonomi untuk mendukung segi pendanaan demi berjalannya pelayanan yang optimal. Sistem ekonomi ini harus bersifat independen, tidak boleh bergantung kepada negara lain, terlebih kepada negara kafir harbi fi’lan. Karena hal ini akan menjadi jalan bagi orang-orang kafir untuk mengintervensi kebijakan negara, yang akan berakibat pada kelalaian negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Maka Allah telah jauh-jauh hari memperingatkan kita dalam firman-Nya:
“…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan (menguasai) orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)

Islam telah memberikan gambaran yang gemilang bagaimana harusnya negara mengatur APBN. Sumber pemasukan dan pos pengeluarannya disandarkan hanya kepada syariat Allah. Sumber pemasukan negara di dalam Islam terdapat tiga pos. Pertama, pos kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, hibah. Semisal zakat maka distribusinya hanya kepada delapan asnaf sebagaimana disebutkan oleh syariat.

Kedua, pos kemilikan umum, seperti perhutanan, perkebunan, pertambangan minyak bumi, batu bara, potensi laut dll. Harta di pos ini wajib dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Ketiga, pos kepemilikan negara, seperti kharaj atas tanah, ghanimah, fa’i, cukai perbatasan dll. Hasil pengelolaan harta pada pos kedua dan ketiga akan sangat mumpuni untuk mengampu pos belanja wajib negara berupa gaji para pegawai negara, termasuk gaji para tenaga kesehatan.

Selain itu, juga akan dialokasikan untuk pos belanja sarana prasarana wajib yang menyangkut kemaslahatan rakyat, seperti pembangunan jalan, jembatan, sekolah, sarana air bersih, termasuk juga pembangunan dan penyediaan sarana prasarana rumah sakit yang memadai. Begitu pun pada pos belanja wajib negara yang bersifat kondisional, seperti anggaran ketika terjadi musibah, bencana alam, paceklik, termasuk kejadian pandemi. Maka dapat diambilkan dana dari kedua pos ini.

Model pengelolaan harta dalam Islam semacam ini akan menjadikan negara islam sebagai sebuah negara yang independen. Hal ini secara otomatis akan menjadikan siapapun atau negara manapun yang memiliki niat untuk mengintervensi dan menguasai kaum muslimin di dalamnya, tidak mendapatkan celah sedikitpun. Maka hanya dengan kembali kepada aturan Allah, segala permasalahan akan mampu dituntaskan hingga ke akar masalahnya, bukan hanya sebatas solusi tambal sulam yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Sebagaimana firman Allah yang memberikan pertanyaan retoris kepada kita:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi