Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim MazayaPost.com)
“Orang Bijak Taat Bayar Pajak.” Slogan yang digembar-gemborkan oleh lembaga pajak negeri ini mulai koyak. Slogan manis tersebut tak jua mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Betapa banyak rakyat yang babak-belur akibat pungutan pajak. Aneka pungutan bernama pajak bertambah banyak variannya dan bertambah pula jumlah tarifnya. Kesejahteraan kian menjadi ilusi.
Sepertinya pemerintah kini giat menagih pajak pada rakyat kecil. Belakangan di media sosial viral sejumlah kasus penagihan pajak jumbo oleh Kantor Pajak, seperti UD Pramono di Boyolali dan penjual ayam @nuke.limanov yang berbagi pengalamannya di TikTok. Mengutip Solopos, Usaha Dagang (UD) Pramono merupakan pembeli susu sapi dari para peternak. Akan tetapi Pramono, pemilik UD Pramono, memutuskan akan menutup usahanya per Jumat (1/11/2024). Pramono mengaku rekening usahanya diblokir oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali dengan alasan belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak. Dia diwajibkan membayar pajak senilai Rp671 juta untuk tahun 2018 (Bisnis.com, 4/11/2024).
Sementara itu, seorang penjual ayam @luke.limanov juga membagikan pengalamannya ditagih penunggakan pajak hingga Rp500 juta. Pada 2024, dia mengaku Kantor Pajak memanggilnya terkait kewajiban pajak pada 2020. Saat itu, Luke mengaku usahanya belum berbentuk badan sehingga yang menjadi objek merupakan pajak penghasilan pribadi. Dia juga tidak menampik, saat itu pencatatan transaksinya masih berantakan. Oleh sebab itu, menurutnya, Kantor Pajak menyatakan data perpajakan Nuke tidak sesuai dengan penghasilannya. Nuke mengatakan, PPh terutangnya ditetapkan sebesar Rp370 juta dan ditambah sanksi administrasi Rp150 juta (Bisnis.com, 4/11/2024).
Pemerintah terus saja membuka lebar kas pemasukan negara melalui pintu pajak. Bahkan, para penunggak pajak bermotor juga akan didatangi secara door to door. Sebagaimana dilansir detik.com (7/11/2024), Korlantas Polri sudah menyiapkan beberapa cara untuk membuat masyarakat patuh membayar pajak kendaraannya. Salah satunya dengan mendatangi rumah pemilik kendaraan yang tercatat belum membayar pajak. Bukan tanpa alasan, langkah itu ditempuh karena tingkat kepatuhan masyarakat melakukan perpanjangan STNK 5 tahun masih sangat minim. Dari total 165 juta unit kendaraan terdaftar, tak sampai separuhnya membayar pajak.
Alasan Pajak Menjadi Sumber Pemasukan Utama Negara
Dalam dunia perpajakan, ada istilah yang dikenal dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Sementara Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kegiatan ekstensifikasi pajak dilakukan dengan cara pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, namun belum mendaftrakan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-01/PJ/2019). Dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi, orang ataupun barang tak akan lepas dari jerat-jerat pajak. Beragam jenis pajak menempel pada rakyat, baik pajak pusat maupun pajak daerah.
Sampai kapan pun, pajak yang ada saat ini tidak akan pernah menyejahterakan rakyat. Mengapa? Sebab, negara menganut ideologi kapitalisme yang meniscayakan pajak menjadi pemasukan krusial bagi negara. Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara terus berupaya mendorong rakyat taat membayar pajak, bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik dan bijak adalah yang taat bayar pajak.
Negeri yang menganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyat saja dikenai pajak. Padahal kebutuhan pokok tersebut seharusnya dijamin oleh negara, bukan justru dipalak.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dipandang bisa membantu negara mencapai kestabilan ekonomi karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai ujung tombak penyelesaian dan penyelamat keuangan negara.
Nasib sial menimpa rakyat kecil dengan adanya pemberlakuan pajak di sana-sini. Alih-alih menyejahterakan, pajak justru mendatangkan kesengsaraan berkepanjangan. Apalagi negara seakan memperlakukan objek pajak dengan berbeda. Ada tax amnesty bagi pengusaha kelas kakap, tetapi amnesty itu tak berlaku bagi rakyat kecil.
Pajak memang sudah menjadi mercusuar pemasukan negara yang menganut kapitalisme. Jika ditelaah, negeri ini sangat kaya akan SDA yang merupakan harta milik umat/umum. Apabila dikelola dengan baik, sangat bisa digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun, jalan pintas solusi berlabuh pada pemungutan pajak. Kesejahteraan kian jadi ilusi. Sayang berjuta sayang, negeri ini malas mengelola SDA, pengelolaannya justru diserahkan kepada asing. Sungguh, sistem kapitalisme sudah koyak sejak kelahirannya, sangat tidak layak diterapkan di muka bumi ini.
Dampak Negatif Pajak yang Bernuansa Palak
“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.” Begitulah kondisi rakyat saat ini. Sudahlah harga kebutuhan pokok, tarif listrik, harga BBM, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, ditambah pula dengan berbagai tagihan pajak. Kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api. Rakyat telah babak belur karena kebijakan yang salah dari sistem yang koyak nan zalim ini. Tatkala pajak terus digalakkan tentu rakyat negeri ini makin tak baik-baik saja.
Dampak buruknya adalah ekonomi rakyat akan lumpuh. Sudah terbukti dari kasus Pak Pramono, pengusaha susu Boyolali, bukan hanya lesu pertumbuhan ekonominya, namun sudah lumpuh total karena sang pengusaha sudah tak mampu tegak menjalankan usahanya karena tagihan pajak yang melendung. Pajak hadir bukan menjadi kawan pengusaha kecil dan rakyat, justru pajak hanya menjadi sahabat pengusaha kelas kakap dan penguasa. Sementara ekonomi rakyat lumpuh.
Selain itu, rakyat kian tercekik dengan segala jenis pajak yang diberlakukan. Rakyat terus dipalak dengan pajak demi membiayai negara, apakah membayar gaji pegawai, pertumbuhan infrastruktur, hura-hura kala pesta demokrasi, ataukah membayar utang. Sementara jaminan pendidikan dan kesehatan tak tampak nyata, justru berbiaya. Infrastruktur dan fasilitas umum juga tak merata. Rakyat hanya diperas dan dicekik.
Selama ini rakyat sudah dikenai PPh, PPN, PBB, PKB, maupun jenis pajak lainnya, tetapi pemerintah masih saja merasa kurang untuk menyedot dana masyarakat sehingga terus melakukan perluasan subjek dan objek pajak demi mengejar target penerimaan negara dari pajak. Sungguh, negara telah mengambil uang rakyat secara paksa atas nama pajak. Pemerintah seakan enggan meringankan beban rakyat. Pajak bernuansa palak kian merebak, dari pemerintah pusat hingga daerah.
“In this world, nothing is certain, but death and taxes (di dunia ini, tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak).” Pernyataan Benjamin Franklin ini jelas terbukti di kehidupan rakyat, terutama rakyat kecil. Kepastian pajak ini sudah jelas melumpuhkan ekonomi rakyat, memiskinkan rakyat, dan menyengsarakan rakyat. Nahasnya, rakyat kerap disuguhi gambaran gaya hidup mewah para pejabat dan keluarganya. Ditambah lagi, bermunculan pejabat pajak yang tersandung korupsi yang dianggap hal biasa. Belum lagi saat pemerintah dengan ringan menetapkan tax amnesty (pengampunan pajak) kepada orang-orang kaya dengan alasan optimalisasi pungutan pajak. Sungguh, kondisi ini makin melenyapkan rasa keadilan karena rakyat yang serba kekurangan malah terus dipalak.
Slogan manis “Orang Bijak Taat Bayar Pajak” tak sebanding dengan pemanfaatan pajak. Tak ada timbal balik balik bagi rakyat. Meski ekonomi lumpuh dan daya beli menurun, rakyat harus terus berusaha dengan keras demi membayar pajak yang digalakkan negara. Rakyat kian jauh dari kata sejahtera, kenyataannya rakyat bersahabat karib dengan nestapa dan sengsara.
Strategi Negra Menyejahterakan Rakyat Tanpa Pajak Bernuansa Palak
Koyak dan zalimnya sistem kapitalisme tentu tak perlu dipelihara, apalagi diterapkan dengan begitu setia. Tentunya penguasa, khususnya penguasa muslim mempelajari dan menelusuri sistem yang shahih dan menyejahterakan rakyat sehingga bisa membawa negeri ini pada kondisi yang lebih baik. Sejatinya, negeri ini memiliki potensi luar biasa, di mana penduduknya mayoritas muslim dan kekayaan alamnya melimpah, baik kekayaan alam di atas permukaan bumi maupun di dalam perut bumi.
Sistem yang shahih ini tentu berasal dari Zat Yang Maha Benar, yakni sistem Islam. Sebagai negeri mayoritas muslim sangat layak jika mengambil Islam sebagai sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi Islam bukan sebatas agama ritual, Islam juga sebuah ideologi baku yang pernah diterapkan selama kurang lebih 14 abad di muka bumi ini.
Dalam Islam, istilah pajak tidak dikenal. Tidak ada pungutan pajak yang diambil dari rakyat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini, di mana barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan. Rasulullah saw. dahulu memelihara urusan-urusan rakyat dengan sistem Islam dan tidak ada satu pun bukti bahwa beliau memungut pajak atas rakyat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak.
Dalam shirah dinyatakan, beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil cukai atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim)
Islam memiliki mekanisme yang cemerlang dalam menyejahterkaan rakyat. Pos pemasukan baitul mal bukan dari pajak, tetapi dari harta milik negara itu sendiri seperti fai, jizyah, kharaj, usyur, dan zakat (di mana distribusinya hanya untuk 8 asnaf). Negara dalam Islam juga wajib mengelola secara mandiri harta milik umat/umum seperti SDA (aneka tambang, hutan, air, dsj.). Sehingga, negara akan memiliki pemasukan yang melimpah dan bisa menjamin setiap kebutuhan pokok dan memelihara setiap urusan rakyatnya.
Dalam Islam, ada istilah dharibah, tetapi bukan seperti pajak dalam sistem kapitalisme saat ini. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya (Al-Amwal fi Daulati Al-Khilafah, hlm. 129).
Dharibah ini bukan sumber pemasukan tetap. Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Di masa Khalifah Umar, Madinah pernah mengalami paceklik panjang, tetapi beliau tidak sampai menarik dharibah sebab beliau meminta para gubernur di luar wilayah Madinah untuk mengirim bantuan berupa bahan kebutuhan pokok. Namun demikian, dharibah boleh diambil dari rakyat dengan mekanisme syar’i apabila kas kosong. Jika sudah terpenuhi kembali maka pungutan dharibah langsung ditutup.
Dalam Islam, kepala negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyatnya, apakah kebutuhan pokok personal (pangan, sandang, papan), lebih-lebih kebutuhan pokok komunal (kesehatan, keamanan, dan pendidikan, serta sarana publik). Dengan demikian kesejahteraan rakyat akan terwujud secara nyata. Keala negara akan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di kehidupan yang abadi.
Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad)