Pajak, Alat Pemalak Rakyat?

Oleh: Sri Haryati (Komunitas Menulis Setajam Pena)

Tahun Baru 2023 dirayakan oleh sebagian besar warga. Banyak harapan yang disampaikan di awal tahun ini, di antaranya harapan hidup lebih baik dari tahun-tahun yang sudah dilalui sebelumnya.

Ternyata harapan itu sulit untuk terwujud. Karena di awal tahun ini, justru pemerintah akan menerapkan aturan baru tentang perpajakan. Seperti di lansir di Kontan.co.id (1/1/2023), Pemerintah akan mulai menerapkan ketentuan pajak baru per tanggal 1 Januari 2023, terkait tarif pajak penghasilan ( PPH) orang Pribadi ataupun karyawan. Ketentuan yang akan di berlakukan adalah besarnya tarif pajak dan siapa saja kelompok yang bebas pajak.

Pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah, dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar akan membayar lebih tinggi. Namun kenyataanya, penetapan pajak penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 yaitu tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah di tanda tangani Oleh Presiden Joko Widodo per tanggal 20 Des 2022 (Kontan.co.id, 1/1/2023).

Mengenai besarnya pajak yang akan dikenakan terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu:

1. Karyawan yang gajinya 5 juta per bulan pajak ke PPH 5%.
2. Penghasilan 60 juta sampai 250 juta kena PPH 15% Per bulan.
3. Penghasilan 250 juta sampai 500 juta kena PPH 25% per bulan .
4. Penghasilan 500 juta sampai 5 miliar kena PPH 30% per bulan.
5. Untuk penghasilan di atas 5 milyar dibanderol dengan tarif pajak 35% per bulan.

Inilah yang terjadi jika negara diatur dengan sistem kapitalisme. Sistem ini memang mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Dengan berbagai macam alasan, seperti terjadi defisit negara dan lain sebagainya, tapi yang jelas pemungutan pajak dalam sistem kapitalisme ini memang mutlak dilakukan. Karena ini merupakan sumber pemasukan terbesar negara.

Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada. Begitulah sebenarnya tatanan hidup dalam sistem kapitalisme.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di mana dalam Islam, pajak adalah pungutan pada saat kondisi tertentu, misalnya saat keuangan yang ada di Baitul mall tidak mencukupi untuk pembiayaan negara. Misalnya dalam keadaan dhoror seperti terjadinya bencana alam, pembiayaan jihad, dan yang lainnya. Yang mana semua kebutuhan itu harus dicukupi oleh negara.

Apabila kebutuhan negara sudah tercukupi, maka negara sudah tidak memungut pajak lagi. Jadi, sifatnya insidental sesuai kondisi keuangan negara dan hanya dipungut dari rakyat muslim yang kaya saja.

Itu pengaturan pajak dalam Islam, yang mana tidak menjadikannya sebagai sumber utama pendapatan negara. Sebab, Islam telah memiliki sumber pemasukan dari banyak lini, misalnya dari khoroj, fa’i, usyur, jizyah, ghanimah, ghulu, rikaz, dan sejenisnya. Sedangkan untuk seluruh kepentingan masyarakat bisa diambil dari harta milik umum, baik dari tambang, hasil laut, hutan, dan sejenisnya yang secara total dikelola negara dan akan dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.

Sehingga, insyaallah negara dalam sistem Islam tidak akan kekurangan sumber pendapatan. Tidak seperti sekarang yang mana seharusnya sumber daya alam yang bisa untuk pemasukan negara justru dikuasai investor baik asing maupun aseng.

Wallahu a’lam bisawwab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi