Oleh. Rini Hapsa
Di tahun 2023 ini, Indonesia kembali dicengangkan oleh sebuah fakta terbaru terkait kasus penyakit menular seksual. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat adanya peningkatan kasus penyakit menular seksual di Indonesia di antaranya penyakit raja singa atau sifilis, HIV, dan hepatitis B. Hal ini tentu saja ini bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
Perihal kasus sifilis sendiri, Mohammad Syahril selaku juru bicara Kemenkes menyebutkan bahwa kasus sifilis meningkat hampir 70% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2022 sendiri, data kementerian Kesehatan RI menemukan sebanyak 20.783 kasus sifilis dengan rata-rata penambahan kasus tiap tahun sebanyak 17.000 hingga 20.000 kasus. Papua menduduki peringkat pertama dengan 3.864 kasus dan jawa barat sebanyak 3.186 kasus, diikuti dengan DKI Jakarta dengan 1.897 kasus, Papua Barat (1.816), Bali (1.300), Banten (1.145), dan Jawa Timur (1.003) (cnnindonesia.com, 12/5/2023).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2020, ada 11.430 orang yang diperiksa, dan ditemukan 300 yang positif sifilis. Kemudian pada 2021 ada sebanyak 12.228 orang yang diperiksa, dan ditemukan 332 yang positif sifilis. Penyakit ini pun hampir menyerang semua kelompok umur dengan banyak didominasi oleh usia 25-49 tahun dengan persentase 63 persen, usia 20-24 tahun dengan 23 persen dan usia 15-19 tahun dengan 6 persen. Kelompok anak pun ditemukan kasus sebanyak 3 persen dengan usia di bawah 4 tahun (cnnindonesia, 12/5/2023).
Sifilis atau penyakit raja singa adalah satu dari sekian banyak penyakit menular seksual atau IMS yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Ada beberapa kondisi yang membuat seseorang berisiko mengidap sifilis, misalnya dengan aktivitas berganti pasangan seksual, melalui kontak fisik dengan luka di tubuh penderita, penularan dari ibu ke janin saat kehamilan atau persalinan, aktifitas homoseksual, memiliki pasangan seksual penderita sifilis, aktivitas lelaki seks lelaki (LSL), dan ODHA (orang dengan HIV AIDS).
Sungguh miris menyaksikan fakta ini. Secara perlahan, penyakit sifilis mengintai kehidupan sosial masyarakat kita. Indonesia sendiri telah melakukan berbagai macam langkah pencegahan dan penanganan diantaranya dengan melakukan sosialisasi akan bahaya sifilis serta penanganannya, pemeriksaan kepada kelompok pekerja seks, L687, skrining kepada ibu hamil, bahkan hingga menyediakan dan mendistribusikan obat-obatan sebagai langkah yang ditempuh untuk menuntaskan permasalahan ini.
Aksi ini perlu diapresiasi. Namun sayangnya, kasus sifilis dan penyakit menular seksual lainnya masih saja terus meningkat secara signifikan. Sudah barang pasti, upaya ini hanya akan menuai sia-sia karena inti pokok permasalahan tidak tersentuh. Peningkatan kasus IMS tidak lain adalah karena dianutnya kebebasan berperilaku sebab masih dijadikannya sekularisme sebagai sistem kehidupan. Dalam sistem ini, aktivitas gaya hidup liberal, seperti normalisasi zina yang makin merebak baik kepada pasangan menikah, anak muda bahkan sampai menjadikan aktifitas zina ini sebagai komersial pun sebagai hal yang biasa.
Sudah jamak diketahui bahwa para pekerja seks komersial menjadikan aktivitas ini sebagai bagian dari pekerjaan/profesi mereka. Padahal, zina merupakan aktivitas keji dan merupakan dosa besar. Negara pun seakan abai membiarkan aktivitas ini karena penuntasan secara total tidak dilakukan dengan alasan ini bagian dari profesi. Maka tak heran kenikmatan duniawi ini akan terus dicari selayaknya makanan nikmat. Mereka seakan bebas menyicipinya tanpa sadar telah kebablasan dan menerima akibat buruk termasuk terinfeksi sifilis.
Sifilis pun rentan terjadi kepada kelompok yang gemar melakukan “hubungan sesama” L687. Tetapi, aktivitas menyimpang ini seakan bebas berseliweran, tidak lagi menjadi hal tabu bahkan justru dianggap sebagai hal yang biasa saja. Bahkan, mereka pun dengan bangganya menampakkan diri dan terus berkampanye mencari dukungan untuk diakui keberadaannya. Naudzubillah.
Pengobatan pun yang diharapkan mampu menuntaskan kasus sifilis justru tidak tersebar merata. Pr1esentasi pengobatan sifilis pada ibu hamil pun masih rendah. Sekitar 60 persen tidak mendapat pengobatan dan berpotensi menularkan kepada bayi yang dikandung serta berisiko dapat menimbulkan cacat. Faktor lain rendahnya angka pengobatan ini akibat mencuatnya stigma negatif di mata masyarakat dan juga rasa malu untuk datang berobat.
Maka, satu-satunya solusi yang mampu mencegah segala kerusakan yang terjadi adalah dengan menerapkan sistem sosial dan tata pergaulan dengan cara Islam. Islam mengatur dengan baik terkait tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya wajib menundukkan pandangan dan menjaga kesucian mereka. Hal ini telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an,
“Katakanlah kepada kaum pria yang beriman bahwa mereka hendaknya merundukkan pandangan matanya dan memelihara kehormatan dirinya. Itulah yang lebih bersih untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha waspada terhadap apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka pun merundukkan pandangan pula dan memelihara kesantunan mereka.” (QS. An-Nur: 30—31)
Individu yang beriman akan senantiasa menjaga dirinya dari segala hasutan setan dan menghindarkan diri dari segala perbuatan dosa. Tak hanya itu, Islam pun mengatur umatnya untuk menjauhi khalwat dan ikhtilat (bercampur baur) karena keduanya adalah salah satu cara untuk mengantarkan kepada perbuatan dosa. Yang paling krusial adalah Allah melarang perbuatan zina dan hubungan sesama yang keduanya adalah perbuatan keji dan mungkar. Hal ini telah Allah tegaskan dalam salah satu surahnya,
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Aturan Islam pun memberikan sanksi terhadap pelaku zina dengan tujuan agar memberikan efek jera dan sanksi sosial kepada mereka. Dan yang terpenting alasan diterapkannya sanksi ini adalah sebagai penebus dosa (jawabir). Semua jenis sanksi yang diterapkan pun telah Allah jealskan dalam Al-Qur’an,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)
Sanksi yang tegas atas perzinaan ini akan secara pasti mampu menuntaskan ketimpangan sosial akan penularan penyakit kotor ini. Setiap individu akan menjaga dirinya dengan menghindari aktifitas kotor lainnya termasuk perzinaan. Sehingga jika umat menerapkan aturan islam secara kaffah, maka akan secara pasti setiap muslim akan taat pada aturan Allah, menjauhkan diri dari maksiat, dan takut akan siksaan akhirat. Semua ini akan terwujud ketika Islam diterapkan secara nyata dalam kehidupan agar segala kenyamanan dan ketentraman hidup dirasakan oleh setiap umat.
Wallahu a’lam.