Negeri Tempe Candu Impor Kedelai?

Oleh. Fariha Maulidatul Kamila

Kedelai menjadi salah satu bahan utama makanan populer di Indonesia, yaitu tempe dan tahu. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain seperti tauco dan kecap.

Ironisnya, negeri dengan keluasan tanah serta kesuburannya yang cocok segala cocok tanam malah, bergantung pada impor luar negeri. Sehingga, harga produksi dalam negeri mengikuti harga global dunia. Harga kian melonjak tinggi di indonesia, karena disebabkan dua hal. Khususnya kini El Nina melanda Argentina, Amerika Serikat sebagai pusat impor kedelai. Sehingga, pasokan kedelai sedikit akibat gagal panen. Ditambah lagi permintaan kedelai tinggi oleh China selaku peternak babi yang menjadi bahan baku ternaknya.

“China beralih ke Amerika diborong. Kedelai kita itu untuk tahu tempe biasanya dari Amerika. Karena diborong harga melonjak, ditambah pandemi,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan.

Bahkan, ia menuturkan, pandemi telah mengerek biaya logistik yang berkontribusi juga pada kenaikan harga kedelai. Sehingga, lonjakan harga kedelai bahkan membuat perajin tahu dan tempe bersiap melakukan aksi mogok produksi. Situasi ini telah membuat industri tempe dan tahu ketar ketir. Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia Aip Syarifuddin mengatakan 20% atau 30 ribu perajin tahu dan tempe telah stop produksi dan kurang berminatnya produsen tempe terhadap kedelai lokal.

Bahkan, mahalnya harga kedelai membuat Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo angkat suara. Dia mengklaim, pihaknya kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri karena anggaran yang dipangkas imbas akibat kebijakan refocusing karena pandemi Covid-19. Imbasnya, kebutuhan kedelai dalam negeri harus dipenuhi dari importasi sebanyak 2,4 juta ton. Padahal, Kementan menargetkan produksi 1juta ton mengalami kenaikan yang sangat tinggi dibanding tahun lalu sebanyak 200 ton. Namun, petani dalam negeri tidak terlalu tertarik untuk menanam kedelai karena harga jual yang murah dengan kebutuhan hidup yang tak sebanding.

Gemah rimpah loh jinawi ungkapan yang khas untuk negeri +62. Namun sayang, jika itu hanya slogan yang dibanggakan, tapi masih pecandu impor. Apalagi yang dikenal dikenal negeri tahu tempe.

Jelas Indonesia masih terbelenggu rantai yang bergantung pada pasokan luar negeri. Hal ini membuktikan negara masih lemah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Bayangkan saja, mulai dari gula, garam hingga kedelai yang seharusnya masih bisa diproduksi oleh negeri, bergantung pada impor.

Sehingga, Indonesia harus memenuhi kebutuhannya dari luar negeri. Padahal, negara ini sempat merasakan swasembada pangan bertahun-tahun silam. Jelas ekonomi ini lama kelamaan akan ambruk serta ketergantungan
terhadap luar negeri.
Utang yang menumpuk salah satu dari kerugian yang dialami Indonesia saat ini dengan impor yang berterusan.

Padahal, negeri tahu tempe sudah merdeka 76 tahun lamanya, masih saja tidak bisa dikatakan mandiri. Bahkan, kemungkinan besar banyaknya pengangguran yang akan terjadi setelah ini, jika mogok produksi tempe tahu. Semua ini akan berdampak pada rakyat yang menjadi naungan negeri ini.

Tanah luas dapat dimanfaatkan selagi masih produktif terhadap apa yang ada disekitarnya. Bisa dengan memanfaatkan segala teknologi untuk pencapaian kebutuhan masyarakat Indonesia. Inilah salah satu contoh dari negara yang masih menjadikan kapitalisme sebagai sumber aturan yang mengatur urusan kehidupan manusia.

Boroknya sistem yang diterapkan harusnya membuat masyarakat sadar akan rusaknya sistem. Jelas ambruknya kapitalisme membuktikan lepas tangannya negara terhadap kebutuhan pangan. Semua ini tak kan bisa terselamatkan, para pekerja khusunya yang mengantungkan kehidupannya pada hasil produksi.

Jauh berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan salah satu tujuan utamanya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dimana sumber produksi yang sangat berpotensi besar terhadap terpenuhinya kebutuhan umat. Seperti halnya kisah Kholifah Umar bin Khattab yang sudah populer karena bertanggung jawab terhadap amanah yang ia jalankan.

Suatu saat, ketika berkeliling untuk memastikan umatnya adil dan tentram. Tak sengaja ia melihat seorang wanita memasakkan sesuatau di panci sehingga anaknya menangis menunggunya karena kelaparan. Namun, ternyata yang dimasak adalah batu yang tak kan berubah jadi makanan. Sehingga, ia merasa dirinya bersalah dihadapan Allah karena ia akan bertanggung jawab di hadapan-Nya kelak. Maka, Kholifah Umar memikul sendiri dan mengambil dari baitul maal. Sehingga ia mengatakan di hadapan wazirnya yang akan membantu membawanya, “Apakah engkau sanggup mempertanggungjawabkan di akhirat kelak tepatnya dihadapan Allah?”

Kisah ini menunjukkan rasa yang dimiliki oleh para pemimpin umat Islam sedunia dalam menangani urusan pangan serta mengatur dengan kesesuaian terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalkan dengan tanah yang selalu produktif dalam hasil pertanian dan tak akan ada tanah yang kosong dan penggangguran.

Semua ini hanya bisa dilaksanakan oleh institusi Islam, yakni Khilafah. Dimana Islam yang dijadikan dasar dalam mengatur urusan umatnya.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi