Oleh. Annisa Sabikha Al Arifah
Insiden yang terjadi di Kazakhstan pada tanggal 5 hingga 19 Januari 2022 berakhir dengan tewasnya 164 orang. Hal itu bermula dari ricuhnya demo oleh segelintir orang yang tidak puas dengan penurunan harga LPG oleh pemerintah. Bahkan, aksi itu merembet pada hal-hal lainnya. Sebagaimana dilansir cnnindonesia.com bahwa tuntutan mereka meluas, mulai dari kekecewaan terhadap pemerintah karena dianggap otoriter, maraknya korupsi, hingga kesenjangan sosial dan ekonomi.
Bahkan, kejadian seperti itu tidak hanya terjadi
sekali dan di satu tempat saja. Empat demo berdarah terjadi di sejumlah negara, mulai dari Myanmar hingga Kazakhstan. Hal itu terjadi karena protes dan tidak terimanya rakyat terhadap kebijakan ekonomi di daerah tersebut.
Pemerintah menanggapi dengan memberlakukan keadaan darurat nasional dan jam malam akibat kerusuhan ini. Ironisnya, hal ini justru mengarah kepada tuduhan terorisme. Presiden Kazakhstan Kassym Jomart Tokayev memerintahkan pasukan keamanan untuk menembak teroris. Adapun kata teroris merujuk pada pendemo yang dianggap melakukan kerusuhan dan pemberontakan.
Tentu hal ini salah kaprah. Sebab, adanya rasa tidak terima dari para warga karena mereka merasakan kesukaran dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal itu tidak ada kaitannya dengan tindakan terorisme yang andai dijabarkan bermakna tindakan menakut-nakuti. Usut punya usut, respon pemerintahlah yang menakut-nakuti warga supaya tak lagi campur tangan dalam kebijakan pemerintah.
Begitulah sebuah pemerintahan yang berpraktik dengan sistem kapitalisme. Pemegang kekuasaan leluasa melakukan kehendaknya agar mudah diraih dan didapat, entah itu menguntungkan warga atau merugikan. Ketika ada yang berani melawan dan mengkriti, maka tunggu saja akibatnya. Dengan mudahnya, pemegang kekuasaan tinggal menangkap, menjebloskan, atau bahkan menembak.
Sikap seperti ini adalah bentuk otoriter penguasa terhadap rakyatnya. Aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ditolak mentah-mentah. Lantas siapa warga suatu negara sesungguhnya? Apa hanya pemerintah dan pemegang modal saja? Sehingga, tak ada yang boleh mendapatkan rasa aman, tentram, dan sejahtera?
Padahal, semestinya pemerintah tidak abai, menerapkan sistem yang baik supaya mampu mengatasi segala kebutuhan dan keperluan negara. Apalagi melihat SDA negara yang melimpah dan sangat berpotensi untuk meraih keuntungan. Kazakhstan memiliki cadangan besi yang sangat besar dan beragam seperti tungsten, timah, tembaga, mangan, bijih besi. Emas merupakan salah satu komoditas pertambangan yang mulai mengalami perkembangan di Kazakhstan. Negara ini juga memiliki cadangan minyak dan gas alam yang cukup besar.
Tak ayal, sistem yang diterapkan tidak dapat mengolah dengan baik segala potensi yang ada. Cadangan minyak dan gas alam yang melimpah semestinya bisa diolah sedemikian rupa sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga dan mendistribusikan dengan segala fasilitas supaya mudah terjangkau, justru tak dikelola dengan baik. Pemerintah harus pandai-pandai memasok dengan membangun jargas sebanyak-banyaknya di berbagai SR hingga penandatanganan kontrak.
Namun, dengan terjungkalnya ekspektasi dengan kenyataan patut dipertanyakan ke mana hiatusnya tungsten, timah, tembaga, mangan, bijih besi hingga gas alam yang melimpah ruah tersebut. Jangan sampai semua kekayaan alam dicaplok mentah-mentah oleh negara asing. Memang benar, SDA yang melimpah akan membuat ngiler para asing untuk berjabat tangan hingga berujung intervensi yang justru akan mencekik rakyat dan negara.
Padahal, Islam menawarkan sistem yang mampu mengatasi segala cabang masalah dari melimpahnya SDA. Dalam Islam sendiri, Rasul telah menyampaikan kewajiban pengurusan SDA:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Setiap kalian adalah pengurus dan penanggung jawab atas urusannya. Dan imam (penguasa) ialah pengurus dan hanya dialah yang jadi penanggung jawab atas urusannya.” (HR Bukhori dalam Shohih Bukhori)