Oleh. Adila Azahra
Konsep hidup berdampingan dengan covid-19 agaknya dianggap berhasil. Membiarkan aktivitas di segala lini berjalan senormalnya, seolah pandemi tidak pernah terjadi. Sementara pemerintah sukses membuat masyarakat turut tidak peduli.
Maka, ketika Omicron datang sebagai varian baru, respon dari masyarakat nyaris kosong. Sekosong omongan pemerintah tentang imbauan untuk menjaga protokol kesehatan. Nyatanya, di antara kerumunan yang tercipta dan prokes tidak terlaksana, pemerintah acuh saja. Tanpa ada ketegasan untuk menindaki selanjutnya.
Sebagaimana akhir- akhir ini, kebijakan PTM alias pembelajaran tatap muka sedang disorot lantaran dinilai percuma oleh pihak-pihak ahli. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merilis beberapa temuan dari penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas 100% yang berlangsung selama satu minggu ini. Beberapa temuan pada lapangan adalah kebijakan yang tergesa-gesa, pelanggaran prokes, dan kurangnya pengawasan (inilah.com).
Salah satu contoh kasusnya, ketika sebuah SMP di Kepulauan Riau kesulitan melakukan scan barcode Peduli Lindungi. Akhirnya untuk menghindari kerumunan, dibiarkanlah beberapa anak masuk tanpa melakukan scan.
Selain karena kurangnya sarana prasarana, ada juga yang merupakan murni kelalaian, seperti tetap terjadi kerumunan ketika penjemputan murid, melepas masker saat sedang tidak ada guru, bangku tidak berjarak dan kelalaian prokes lainnya.
PTM sendiri bukanlah kebijakan baru. Satu setengah tahun belajar di rumah terbukti tidak efektif, bahkan jelas merugikan anak. Dilansir dari tribunnews.com, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Syaifudian mengatakan bahwa kemampuan literasi anak SD kelas 1 Indonesia tertinggal 6 bulan dan numerasi setara tertinggal 5 bulan belajar.
“Memang pelaksanaan PTM butuh banyak penyesuaian, tapi PTM adalah sebuah solusi. Saya berharap semua pihak memahami urgensi dan mendukung kebijakan ini,” katanya.
P2G pun mencanangkan evaluasi berkala PTM 100% secara bertahap serta meminta rekomendasi kerja sama kepada orang tua dan sekolah. Masyarakat butuh implementasi nyata. Lihatlah siapa yang disibukkan.
Apabila PTM adalah solusi terbaik demi keberlangsungan pendidikan, maka pemerintah bertanggung jawab untuk itu. Dari Muslimah Media Center, setidaknya ada 6 hal yang perlu dipegang oleh tangan pemerintah:
1. Sosialisasi dan edukasi seluruh pihak terlibat
2. Validitas data pemetaan wilayah
3. Meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment) di lingkungan sekolah
4. Memfasilitasi seluruh perangkat, fasilitas dan tambahan SDM
5. Menetapkan skala prioritas anggaran negara
6. Melakukan pengawasan dan pengontrolan tetap
Demikianlah, namun sayangnya sikap pemerintah yang slow respon sudah menunjukkan keabaian. Jelas, di bawah kendali sistem kapitalisme, kesehatan tidak lebih penting daripada prioritas ekonomi. Negara tampak sekali keengganannya untuk mengerahkan biaya besar. Negara lepas tangan. Walhaisl, jiwa-jiwa yang berjatuhan seperti tak ada harganya selain sebagai keniscayaan seleksi alam.
Lain halnya dengan sistem Islam yang pernah diterpakan selama 13 abad lebih. Saat terjadi pandemi, negara memutus rantai penyebaran wabah dengan lockdown. Pendidikan tetap berjalan. Apabila harus dengan tatap muka, maka itu tidak perlu mengorbankan yang lain.
Negara menjamin pendidikan, sekaligus kesehatan dan keamanan rakyat. Negara bagi rakyatnya adalah raa’in (pengurus) dan khalifah bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya. Di bawah pengontrolan negara, PTM pada masa pandemi akan bisa berlangsung dan mendukung keberhasilan pendidikan.
Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk melahirkan generasi berkepribadian Islam nan mulia, meraih kesuksesan IPTEK, menjadi sosok-sosok produktif nan berdaya guna.
Pendidikan terbaik akan ada dengan penerapan syari’at Islam kaffah di bawah institusi Khilafah.