Oleh. Rfitriana
(Kontributor MazayaPost.com)
Kenaikan upah sebelum pandemi yang mencapai kisaran 8% per tahun dianggap terlalu tinggi membuat perusahaan tidak mampu bahkan hengkang. Sedangkan tahun ini jika mengikuti PP51/2023, Apindo ingin membuat skala upah. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun akan ada kenaikan gaji dengan skala tergantung kapasitas perusahaan, antara 1-3%. Berdasarkan UU HPP pengenaan tarif PPN mencapai 12% dan akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 (CNBCIndonesia.com).
Sementara menyadari fakta kenaikan upah buruh tahun 2025 yang ternyata kecil ini, sangat tidak sepadan dengan kenaikan pajak tahun 2025. Kebutuhan hidup saat ini serba mahal masih terhitung rendah untuk mencukupinya. Apalagi adanya ketentuan upah minimum yang hanya mempertimbangkan kemampuan dan kepentingan sebelah pihak yaitu pihak korporat. Sedangkan kebutuhan rakyat yang serba tidak tercukupi dengan ketentuan upah minimum dan pajak yang semakin melonjak bukan menjadi fokus utama.
Upah Buruh di Sistem Kapitalisme Tidak Menjanjikan
Sistem kapitalisme menganggap buruh sebagai faktor produksi sehingga dibuat upahnya seminimal mungkin demi mendapat laba yang sebesar-besarnya. Konsep upah dalam kapitalisme membuat buruh hidup dalam ekonomi yang pas-pasan karena gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum daerah tempat mereka bekerja.
Kondisi ini sesuai dengan regulasi yang ada dalam kapitalisme yang cenderung berpihak pada pengusaha dan merugikan buruh. Buruh bahkan tidak memiliki posisi tawar tinggi untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan taraf hidup sejahtera.
Berbeda dengan nasib buruh dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab, negara menjamin kesejahteraan mereka. Soal buruh nanti hanya akan bersifat personal/kasuistik, yakni sesuai kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja.
Ketentuan Upah Buruh dalam Prinsip Ekonomi Islam
Penerapan penentuan upah dengan prinsip kasuistik atau personal seperti ini hanya dapat dilakukan dengan adanya kebijakan dari negara. Sedangkan, dalam sistem sekulsrisme pelaksanaan sistem gaji seperti ini tidak bisa terealisasikan karena prinsip mereka modal sekecil-kecilnya menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Prinsip ekonomi kapitalisme tentu saja sangat menentang prinsip ekonomi Islam dengan asas “ridha bi ridha” ini karena berpotensi menghambat mereka untuk mengelola SDA yang sudah dikelolanya. Mereka hanya mementingkan keuntungan perusahaannya sendiri dibandingkan dengan keridhaan dan kebutuhan pekerjanya.
Oleh karena itu, penting untuk diterapkannya Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Buruh dapat dibayar sesuai dengan kerja yang ia berikan berdasarkan kesepakatan. Apabila terjadi perselisihan, ada khubara yang menentukan besarnya upah.
Islam juga menyamakan posisi buruh dan pengusaha, karena buruh juga manusia yang berhak hidup layak dan sejahtera. Selain itu, di dalam Islam, tidak ada pemungutan pajak apapun termasuk pajak penghasilan. Setiap jiwa dipenuhi kebutuhan pokoknya. Alhasil, besaran upah tidak menyebabkan kesenjangan dalam menjalani kehidupan seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler.
Dampak penerapan Islam dalam pemerintahan yang juga mengatur ketentuan upah bagi buruh atau pekerja maka tidak akan ada lagi keluhan dari para buruh. Keseimbangan sistem ekonomi antara buruh dan pengusaha akan terwujud dalam pengelolaan tata usaha dan gaji buruh sesuai dengan syariat Islam.