Oleh. Moni Fauziah
Mobil listrik sepertinya sedang sangat hype di kalangan masyarakat Indonesia baru-baru ini. Pasalnya, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Inpres ini dibuat dalam rangka percepatan pelaksanaan program penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia yang katanya disebut sudah sangat urgen. Sebenarnya memang tak dinafikan urgensi keberadaan mobil listrik bisa lebih pro terhadap isu lingkungan, hanya saja di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang semakin sulit, apakah perlu pemerintah kita harus ngoyo dengan proyek ini?
Rasanya tak masuk akal jika harus memprioritaskan anggaran negara untuk meluncurkan mobil dinas listrik tersebut. Kenapa? Bukankah pada saat sebelumnya, pemerintah berdalih menaikan harga BBM karena alasan kekurangan dana pembiayaan negara?
Selain itu, banyak pihak yang mempertanyakan siapa yang akan diuntungkan dengan adanya proyek ini? Padahal, biaya konversi dari kendaraan berbasis BBM ke listrik masih sangat mahal dan kurang terjangkau di semua kalangan..
Kendaraan bermotor listrik ini sangat memerlukan baterai. Bahan dasar baterai sebagian besarnya menggunakan nikel, yang dimana Indonesia adalah termasuk negara dengan Sumber Daya Nikel terbesar di dunia. Menurut International Energy Agency, di dunia Indonesia kuasai produksi mineral nikel untuk bahan baku baterai listrik.
Hanya saja tidak semua bahan baku baterai ini, khususnya Nikel diolah di Indonesia. Sebab Indonesia lebih banyak mengekspor bahan mentahnya saja, dan negara paling besar yang melakukan pengolahan bahan baku tersebut adalah berasal dari negeri tirai bambu, Tiongkok.
Peneliti Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman juga pernah bertutur, meskipun Indonesia termasuk negara terbesar penghasil nikel, tetapi hampir 70% tambangnya ada dalam kontrol asing. Dominasi perusahaan asing di tambang nikel Indonesia ini tentu akan menjadi ujian tersendiri bagi kedaulatan negara di sektor SDA.
Jadi, sebenarnya hadirnya kebijakan akselerasi penggunaan kendaraan bermotor listrik maupun kompor listrik ini bukanlah hal yang urgen jika kita memikirkan kondisi rakyat hari ini. Justru dengan hadirnya akselerasi ini, rakyat diminta untuk membeli produk asing yang belum tentu Indonesia akan mendapatkan proporsi profit sharing yang adil.
Oleh karena itu, program Inpres No. 7 Tahun 2022 ini sebenarnya hanya menguntungkan pihak asing. Pihak asing-lah yang akan mendapat untung besar bukan negara atau rakyat. Sehingga rakyat yang saat ini menderita, akan semakin menderita akibat kebijakan yang bisa kita sebut sebagai salah fokus.
Sejatinya, penderitaan yang menimpa negeri-negeri kaya SDA adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisme menjadi spirit aturan kepemilikannya. Wajar jika 70% tambang nikel justru dikuasai oleh asing. Lebih-lebih, mengapa pemerintah malah mengeluarkan regulasi yang menjamin kepemilikan asing? Jawabannya adalah karena penguasa dalam sistem demokrasi hanya akan berdiri bersama korporasi. Ia mendulang keuntungan dari proyek-proyek akbar, seperti proyek tambang nikel di Sulawesi yang penuh kasus korupsi.
Oleh karenanya, pengerukan tambang nikel yang menyebabkan berbagai kerusakan berat hanya bisa selesai tatkala paradigma kebebasan kepemilikan diubah menjadi kepemilikan yang dibatasi. Paradigma “penguasa berdiri bersama pengusaha” juga harus diubah menjadi berorientasi melayani dan melindungi rakyatnya. Pengamat kebijakan ekonomi Zikra Asril mengungkap jika menggunakan kacamata Islam yang pengelolaannya dengan syariat. “Visi politik negara Khilafah harus menjadikan negara sebagai negara mandiri, kuat, dan terdepan (leader),” ujarnya.
Menurutnya, dengan potensi SDA berupa nikel dan mineral lain yang sudah Allah limpahkan, harusnya mampu melahirkan kebijakan industri kendaraan listrik mandiri, kuat dan menjadi leader. “Namun, untuk mewujudkanya memang tidaklah instan,” urainya.
Untuk itu, ia menekankan harus dimulai dari pengelolaan SDA sesuai syariat, yaitu mengembalikan hak milik rakyat berupa tambang yang melimpah kepada rakyat dari tangan para investor. “Negaralah yang akan mengelola SDA tersebut untuk kebutuhan rakyat. Tentu ini membutuhkan political will yang kuat. Hanya saja, pemimpin yang seperti itu hanya bisa lahir dari sistem yang independen, yaitu Islam. Karena Islam membentuk karakter merdeka yang hanya tunduk pada Allah, bukan pada manusia,” tegasnya.
Inilah paradigma Islam. Hak rakyat akan diatur agar tidak dieksploitasi individu/swasta. Pengelolaan barang tambang yang termasuk kepemilikan umum tidak boleh diberikan kepada swasta ataupun asing karena dapat menyebabkan mudarat, yaitu rakyat tidak bisa mendapatkannya dengan mudah dan merata.
Islam akan menjadikan penguasa berdiri bersama rakyat. Ini karena fungsi utama penguasa adalah pelindung dan pengurus umat. Penguasa akan berdiri di garis terdepan dalam menyejahterakan rakyatnya. Walhasil, penerapan Islam dalam bingkai Khilafah merupakan harga mati demi kehidupan umat manusia yang lebih baik.
Wallahu a’lam bishshawab.