Miris, Indonesia Peringkat Dua Penderita TBC Di Dunia


Oleh. Rini Hapsa

Kasus tuberculosis di Indonesia menjadi sorotan setelah diperolehnya data Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang melaporkan terjadi kenaikan kasus TBC dengan sangat signifikan. Indonesia masuk dalam 5 (lima) besar negara dengan jumlah kasus TBC nomor 2 di dunia. WHO menyebut ada 30 negara dengan kasus TBC tertinggi yang menyumbang 87% dari total kasus global. Sementara 8 negara di antara itu menyumbang lebih dari dua per tiga total kasus global. Negara pertama ditempati oleh India dengan proporsi 28% dari total kasus global pada 2021. Kedua, Indonesia dengan sumbangan 9,2%. WHO menjelaskan, India bisa diestimasikan mencapai 2 juta kasus pada 2021. Sementara Indonesia 1 juta kasus pada periode yang sama (katadata.co.id, 20/03/2023).

Tercatat pada tahun 2021 lalu jumlah kasus TBC di Indonesia mencapai 969.000 kasus (satu orang setiap 33 detik). Angka ini naik 17 % dari tahun 2020 yaitu sebanyak 824.000 kasus. Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk, yang artinya setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang diantaranya yang menderita TBC. Situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC pada tahun 2030 (katadata.co.id, 20/03/2023).

Dalam laporannya di Oktober 2022, World Health Organization (WHO) mengungkapkan terjadinya peningkatan insiden (jumlah kasus baru) dan kematian akibat TB, serta peringkat negara, termasuk Indonesia. Jumlah kasus baru (insiden) TB di dunia meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kontributor utama peningkatan insiden TB dunia antara 2020 dan 2021 adalah India, Indonesia dan Filipina. Global TB Report 2022 mencatat angkanya adalah 1,6 juta kematian. Angka kematian akibat TB ini meningkat dari 1,5 juta kematian di tahun 2020 dan 1,4 juta kematian di tahun 2019. (mediaindonesia.com, 25/11/2022).

Kasus TBC bukanlah kasus baru selayaknya covid-19. Namun sampai saat ini, penuntasan infeksi pernapasan akibat bakteri tuberculosis ini masih menjadi penyumbang angka kematian di Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya kasus TBC, pemerintah harus berkejaran dengan waktu untuk menurunkan angka kasus TBC. Ada banyak faktor yang bisa menjadikan Idonesia menduduki peringkat kedua kasus TBC setelah india.

Pertama, masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan TBC. Patut diakui bahwa pengetahuan masyarakat akan bahaya TBC masih cukup rendah, bahkan terkadang mendapatkan informasi yang kurang tepat. Stigma negatif dan persepsi yang keliru terkait gejala serta pengobatanan TBC tak lain dipengaruhi oleh pengetahuan dan pendidikan yang rendah. Pengobatan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, serta banyaknya kasus TBC yang tidak ditangani hingga tuntas, menyebabkan kasus TBC semakin bertambah setiap tahunnya.

Kedua, faktor lingkungan dan sanitasi masyarakat. Kita sadari bersama bahwa lingkungan dan sanitasi yang bersih menjadi faktor yang sangat penting untuk mencegah penyakit TBC, karena lingkungan yang buruk justru akan makin memperberat kasus TBC pada kelompok masyarakat. Namun, tak semua kalangan mendapatkan kualitas lingkungan yang memenuhi syarat Kesehatan, ada banyak daerah pemukiman padat penduduk yang berada dalam lingkungan kumuh dan tidak terawat yang memicu munculnya kasus TBC. Kelompok beresiko yang berisiko tinggi tertular TBC, salah satunya ialah masyarakat yang tinggal di pemukiman padat penduduk, orang lanjut usia dan anak-anak, serta orang-orang yang memiliki kekebalan tubuh rendah seperti penderita HIV, diabetes, kanker, dsb. Masyarakat yang cenderung abai akan kebersihan dan lingkungannya akan menambah rentetan Panjang kasus penularan TBC.

Ketiga, TBC dan kemiskinan. Kementerian Kesehatan melaporkan buruh dan petani menjadi peringkat teratas profesi paling rentan terhadap penularan Tuberkulosis di Indonesia. Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit menular kemenkes Imran Pambudi menyebut sebanyak 55.560 buruh dan 52.385 orang petani mengalami TBC di Indonesia. Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih menyatakan bahwa kasus TBC masih berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Penerapan gaya hidup sehat, makanan bergizi, lingkungan yang layak serta kualitas Kesehatan seakan masih sulit didapatkan masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.

Keempat, terbatasnya akses dan sarana Kesehatan. Banyaknya angka kejadian dan kematian akibat penularan TBC akibat sulitnya masyarakat mengakses layanan Kesehatan secara optimal. Pencegahan dan terlambatnya penanganan kasus TBC sudah banyak kita temukan. Jika di daerah perkotaan, akses menuju fasilitas Kesehatan masih mudah namun mahal, berbeda halnya dengan daerah timur yang masih terkendala dengan akses jalan yang tak layak nan berliku. Akibatnya pelayanan Kesehatan pun menjadi lamban mendapatkan penangan dan layanan Kesehatan pun hanya seadanya pula.

Merunut berbagai masalah di atas, patut disadari penerapan sistem kapitalisme sebagai biang keladi masalah. Penerapan sistem kapitalisme meniscayakan berbagai kebutuhan pokok masyarakat dikomersialkan termasuk persoalan Kesehatan. Masyarakat harus berusaha keras dalam memenuhi kebutuhannya. Kemiskinan yang mendera akan menjadikan masyarakat lebih sulit menerapkan pola dan gaya hidup sehat walaupun hal ini dapat memberikan peluang besar bagi mereka terhindar dari penularan TBC. Perbedaan kondisi ekonomi membuat masyarakat dengan kondisi kelompok social ekonomi rendah lebih rentan dan rentan terhadap penularan TBC.

Lingkungan dan sanitasi yang bersih, pelayanan Kesehatan yang maksimal, gizi baik, kesadaran akan pentingnya pendidikan, kesadaran literasi, mudahnya mengakses pelayanan kesehatan akan sulit terwujud jika saja rakyat masih sulit mendapatkan kesejahteraan. Kendati pemerintah sudah memberikan upaya yang besar untuk mencegah dan meminimalkan penularan TBC dengan menggandeng organisasi masyarakat, LSM bahkan WHO sekalipun, namun jika pengurusan rakyat tidak merata, impian Indonesia bebas TBC 2030 hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Islam hadir dengan seperangkat solusi atas semua permasalahan. Dalam Islam, kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia berikut pula dengan pendidikan dan keamanan. Negara akan bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhannya. Oleh karena itu jaminan Kesehatan menjadi kewajiban negara karena hal ini adalah konsekuensi seorang pemimpin yang menjalankan fungsi negara. Negara tidak boleh berlepas diri atau mengalihkan kewajiban kepada pihak lain. Jaminan negara dapat berupa pemenuhan sumber daya manusia (SDM) Kesehatan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan yang merata dan tak lupa pembiayaan yang sepenuhnya ditangggung oleh negara.

Rakyat akan diberikan kebebasan untuk mencicipi layanan kesehatan dengan baik. Layanan Kesehatan pun akan diberikan secara adil merata ke semua warga negara tanpa memandang status social, ras, suku, jenis kulit dan lainnya. Maknanya, semua warga negara memilki akses yang sama terhadapa fasilitas kesehatan yang ada. Tak lupa pula upaya promotif dan preventif lebih diperhatikan dibandingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Artinya, semua upaya Kesehatan ini dikembangkan secara optimal dengan adanya skala prioritas. Sedangkan dalam hal teknis pelayanan Kesehatan mengambil pelayanan yang sudah terbukti bagus dan diterapkan, seperti manajemen, standar sistem informasi Kesehatan, obat-obatan dan fasilitas kesehatan.

Hanya Islamlah yang memberikan perhatian utama dan penghargaan tertinggi pada kesehtaan dan keselamatan jiwa manusia dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah disbanding yerbunuhnya seorang muslim tanpa hak.” (HR Nasa’i)

Dalam penanganan wabah atau infeksi serius sekalipun, Islam mengonsep dengan sebaik-baiknya dengan melakukan pengobatan segera hingga sembuh. Bahkan, Islam mampu menjamin akses setiap orang terhadap tes dan pengobatan gratis, juga deteksi dini yang berkualitas sehingga poko permasalahan semisal TBC dapat teratasi dengan tuntas.

Tentu saja semua ini didukung oleh kestabilan ekonomi masyarakat. Negara secara langsung mengelola sumber daya alam secara mandiri. Hasil pengelolaan SDA juga dapat digunakan untuk membangun sarana dan layanan Kesehatan yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Menjadikan kestabilan ekonomi masyarakat pun menjadi pokok utama sehingga penerapan pola dan gaya hidup sehat dapat terterapkan dengan baik guna mencegah infeksi, penularan ataupun wabah sekalipun mengancam nyawa warga negara karena diperolehnya kesejahteraan disegala lini kehidupan. Demikianlah, dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam, akan memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi