Oleh. Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Peredaran minuman keras kian hari kian mengkhawatirkan, induk kejahatan ini kembali memakan korban bagi penenggaknya. Dua orang pemuda di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung tewas mengenaskan akibat ditusuk senjata tajam saat menonton acara perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-77. Mirisnya, korban dan kedua pelaku ternyata sama-sama dalam pengaruh minuman keras saat kejadian berlangsung.
Kejadian semacam inilah yang membuat Polsek Cileunyi, Jawa Barat melakukan razia rutin agar tidak ada tempat yang menjual miras. Dengan operasi ini aparat kepolisian berharap agar tindak kejahatan, gangguan keamanan, dan ketertiban yang sering kali dipicu oleh miras bisa ditekan bahkan dimusnahkan (Jabar.inews.id, 31/08/2022).
Sungguh peristiwa kriminal di atas atau lainnya yang dilakukan generasi telah menunjukkan potret buram peradaban. Peradaban yang harusnya hadir melalui generasi, justru terancam sirna jika mereka tak lagi menjadi agen perubahan. Meski pemerintah menyatakan bahwa peredaran miras ini diatur demikian ketat yang artinya hanya bisa dijual di tempat serta pada orang tertentu, nyatanya miras masih bisa diperoleh dan dikonsumsi secara mudah bahkan oleh mereka yang notabene pelajar dari kalangan muslim. Ini menjadi bukti bahwa negara tidak benar-benar memiliki aturan ketat dan tegas tentang bahaya serta ancamannya terhadap moral generasi, apalagi harus menutup pabrik dan toko-toko penjualan miras.
Oleh sebab itu, masyarakat tidak boleh menutup mata jika perdagangan miras masih memiliki pasar di Indonesia karena masih dianggap sebagai salah satu sumber pemasukan pada negara dalam menjalankan roda perekonomian. Maka pantaslah bila negara masih mengizinkan investasi miras dan distribusinya beredar di pasaran dan berpeluang dikonsumsi berbagai kalangan.
Sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan saat ini memang tidak didesain untuk menjaga moral bangsa selain menjaga kepentingan korporat. Aturan yang satu dan lainnya saling bertabrakan. Aparat menumpas, sementara negara melanggengkan produksinya. Para kapitais berpikir selama suatu barang masih diminati oleh masyarakat atau memiliki pangsa pasar maka selama itu pula produk tersebut akan diupayakan ada, baik dengan memproduksi sendiri atau dengan mengimpor dari negara lain. Hal itu diperparah dengan diakuinya miras sebagai kearifan lokal dari beberapa wilayah di Indonesia, menyebabkan mustahilnya memberantas miras secara keseluruhan karena dianggap tidak menghargai budaya leluhur. Tindakan aparat yang hanya merazia miras ilegal dan oplosan membuat penanganan miras ini tidak pernah menemukan titik akhir. Ibarat menghadapi kebocoran yang banyak, aparat hanya menutup lubang kecil dihilir sedangkan lubang besar yang menganga di hulu dibiarkan begitu saja. Dengan demikian masyarakat masih tetap bisa mengaskses miras ditempat lain yang memiliki izin.
Kasus Hollywings juga sedikitnya menjadi gambaran bagi kita bahwa keberadaan tempat hiburan malam yang “berizin” menjadi salah satu tempat yang bisa didatangi siapa pun yang menginginkan miras. Penjual tidak akan pernah memeriksa terlebih dahulu apakah konsumennya itu muslim atau bukan yang penting dagangan mereka laris. Hollywings sendiri dengan berani menista Nabi saw. melalui promosi miras yang dijualnya bagi pelanggan yang memiliki nama Muhammad. Mirisnya, aparat menindak Hollywings bukan karena penistaan dan penjualan miras tapi mempermasalahkan surat perizinan.
Dengan sekelumit penjelasan ini, seharusnya mata kita terbuka lebar dan menyadari bahwa pemberantasan miras dalam sistem yang berjalan sekarang adalah sesuatu yang mustahil bisa tuntas. Maka, terhapusnya kejahatan yang dipicu oleh miras pun akan tetap menjadi mimpi belaka. Oleh sebab itu, kita perlu upaya lain yang bersifat sistematis yang bisa mengatasi persoalan miras.
Solusi sistematis dalam Islam bisa menjadi pilihan bagi permasalahan miras yang mengancam masa depan generasi. Hal itu disebabkan karena Islam memiliki seperangkat aturan terkait miras dari tataran individu per individu sampai tataran negara. Dalam ranah individu, masyarakat Islam meyakini bahwa miras adalah induk kejahatan yang harus mereka jauhi, memproduksi, mendistribusikan serta mengkonsumsi barang ini jelas akan mendatangkan dosa bagi pelakunya.Dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” (HR Tirmidzi)
Kehidupan masyarakat akan bersinergi menumbuhkan budaya amar makruf nahi munkar. Artinya akan terjadi saling menasehati dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam keburukan. Ini bukti bahwa masyarakat Islam itu adalah masyarakat yang interaksinya sehat, bukan seperti sekarang yang hidup individualis, tidak peduli dengan masalah yang ada jika tidak berkaitan langsung dengan dirinya.
Terakhir negara juga akan menjalankan peran strategisnya dengan membuat regulasi yang mengharamkan miras dan melarang masyarakat di dalamnya untuk memproduksi, mendistribusikan serta mengonsumsi miras. Negara tidak akan melihat miras sebagai produk bernilai ekonomi sekalipun akan mendatangkan keuntungan. Sebaliknya negara akan menghukum siapa saja orang yang terlibat dalam bisnis barang haram ini. Hal itu sebagai perwujudan ketaatan negara pada Al-Qur’an yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al-Maidah: 90)
Hukuman akan ditentukan sesuai dengan aturan Islam dan ditetapkan berdasarkan ijtihad yang dilakukan hakim dengan menimbang besarnya keterlibatan seseorang dalam bisnis miras. Apakah sebagai produsen, distributor atau sebagai konsumen. Maka hukumannya bisa berupa penjara, jilid bahkan hukuman mati. Inilah sistem yang komplit yang bisa memberantas peredaran miras dan mencegah masyarakat berbuat kejahatan.
Namun, untuk menerapkannya, diperlukan negara yang mau menjalankan sistem yang baik ini. Maka, tugas kita sebagai warga negara adalah mendakwahkan sistem yang baik ini ke umat pada umumnya, baik rakyat ataupun penguasa agar mereka rindu dan mau menerapkan sistem ini.
Wallahu a’lam bishshawaab.