Minyak Kita Bukan Milik Kita

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)

Minyak goreng yang dilahirkan pemerintah ‘MinyaKita’ yang diluncurkan dua tahun lalu, kini mengalami kenaikan HET. Awalnya harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter kini menjadi Rp15.700 yang beredar di pasaran. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritik langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700. Menurut dia, kenaikan harga itu akan menggerus daya beli masyarakat yang saat ini sudah rendah. “Itu memang kebijakan yang tidak propublik, memang harus ditolak,” ujar Tulus saat dihubungi Tempo, Sabtu, 20 Juli 2024.

Tak Masuk Akal

Tak ada yang menafikkan, minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok rumah tangga. Naiknya HET MinyakKitadi tengah morat-maritnya ekonomi, sungguh menambah beban hidup masyarakat. Kenaikan HET ini memicu polemik di tengah masyarakat.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian mengatakan, kenaikan HET MinyaKita disebabkan oleh masalah distribusi. Menurut dia, minyak goreng rakyat itu justru banyak diedarkan oleh swasta, alih-alih BUMN pangan. “Jika kita bedah, penyebab kenaikan HET minyak kita ini lebih banyak disebabkan karena distribusi, bukan di produksi,” ujar Eliza saat dihubungi Tempo, Selasa, 18 Juni 2024.

Diketahui harga CPO dunia sedang turun dua bulan terakhir, tetapi kenapa justru MinyakKita mengalami kenaikan? Selain itu, negeri ini penghasil sawit yang besar, kenapa mesti harga minyak tetap dinaikkan? Bahasa HET MinyakKita telah diharmonisasi sungguh hanyalah pemanis yang sarat dengan racun. Pemerintah seakan berambisi menaikkan HET dengan dalih menguatnya dolar AS. Sungguh, alasan yang tak masuk akal. Jika demikian, kenaikan HET ini jelas menguntungkan korporasi dan membebani rakyat.

Akar Masalah Mahalnya MinyakKita

MinyakKita bukan milik kita lagi. Meski awal diluncurkannya minyak goreng subsidi ini untuk rakyat, kini sudah bergeser keberadaannya di arus perdagangan. Produk MinyakKita sama halnya dengan komoditas pangan lainnya yang sarat kepentingan bisnis para pengusaha.

Lazim diketahui bahwa negara saat ini mangkir dalam pengaturan rantai tata niaga pangan. Negara justru memberikan ruang yang luas bagi mafia minyak yang notabene sebagiannya adalah korporasi. Wajar hal itu terjadi karena negara mengemban sistem kapitalisme.

Praktik spekulasi amatlah susah dilenyapkan karena korporasi jauh lebih berkuasa daripada penguasa. Walhasil, berbagai kebijakan penguasa terintervensi oleh para pengusaha. Ditambah lagi adanya peluang penahanan atau penimbunan minyak goreng mengakibatkan melonjaknya harga.

Negara seakan gagap dalam mendistribusikan produk MinyakKita yang digembargemborkan untuk rakyat. Negara tampak lebih condong pada urusan bisnis. Kondisi ini sudah menjadi ciri khas paradigma kapitalisme yang menceraikan negara dengan tanggung jawabnya terhadap rakyat.

Kegetolan pemerintah dalam memandang kenaikan HET adalah suatu hal yang lumrah tak lepas dari pandangan bisnis dalam mengurusi rakyat. Sistem kapitalisme merupakan akar masalah karena pengelolaan dan pemenuhan rakyat diserahkan pada korporasi. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru memfasilitasi korporasi untuk menguasai bisnis kebutuhan asasi individu rakyat.

Islam Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Kondisi ini jelas tak boleh dibiarkan berlarut. Beban rakyat kian besar dalam sistem kapitalisme karena negara lepas tangan dalam memelihara urusan rakyat. Sistem kapitalisme yang menjadi biang kerok ini wajib diganti dengan sistem yang berasal dari Zat Yang Baik, yakni Islam.

Islam bukan sebatas agama ritual, tetapi juga sebuah ideologi alias pandangan hidup. Islam pernah diterapkan dalam institusi negara sejak masa Rasulullah di Madinah, Khulafaur Rasyidin, hingga kekhilafahan setelahnya. Islam menetapkan negara sebagai pemelihara urusan rakyat.

Dalam sistem Islam, negara wajib menegakkan sistem politik ekonomi Islam untuk mewajibkan stabilitas harga yang terjangkau oleh seluruh rakyat. Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menegakkan paling tidak beberapa mekanisme untuk mewujudkan kondisi ini. Pertama, negara akan menjaga pasokan produksi dalam negeri dengan mendukung sarana produksi dan infrastruktur penunjang. Kedua, negara menciptakan pasar sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga, serta menghilangkan penyebab kemaksiatan atau distorsi pasar. Ketiga, negara melakukan pengawasan terkait penentuan harga harus mengikuti mekanisme pasar.

Keempat, badan pengelola dan penyedia pangan (seperti Bulog atau BUMD) harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi lahan bisnis. Pendanaan bagi lembaga ini ditanggung oleh Baitulmal. Kelima, negara tidak akannmemberi celah pada korporasi sedikit pun untuk menguasai rantai penyediaan pangan rakyat demi meraup keuntungan. Keenam, negara akan memberikan sanksi tegas dan adil bagi penahan/penimbun. Islam mengharamkan aktivitas penimbunan. Dari Said al-Musayyib, dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR Muslim)

Maka jelas bahwa Khilafah adalah penjamin kesejahteraan dan keamanan rakyat. Kewajiban ini dibebankan oleh Allah pada penguasa, yakni khalifah (pemimpin). Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari)

Wallahualam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi