Mimpi Kesejahteraan Guru dalam Demokrasi

Oleh. Ratna Dewi Putika Sari, S.Pd, M.Pd.
(Aktivis Muslimah, Ibu Peduli Keluarga dan Generasi)

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengajukan naskah terbaru Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) kepada DPR. Namun, draf terbaru RUU Sisdiknas tersebut menjadi polemik karena banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, sejumlah fraksi di DPR mengaku menolak RUU Sisdiknas masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan tahun 2022 karena terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi.

Salah satunya mengenai tunjangan guru atau tunjangan profesi guru. Pada pasal 105 huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru atau pendidik. Tidak satu pun ditemukan klausul hak guru mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Menanggapi hilangnya aturan mengenai tunjangan profesi guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyebut hal tersebut sebagai mimpi buruk bagi guru. Koordinator Nasional P, Satriwan Salim menuturkan, hilangnya pasal TPG dalam RUU Sisdiknas akan membuat jutaan guru dan keluarga kecewa  (beritasatu.com/04/09/2022).

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai, hilangnya pasal yang mengatur tunjangan profesi guru atau TPG di dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah merendahkan martabat guru. Ketua Litbang PB PGRI Sumardiansyah mengatakan, dengan dihapusnya pasal itu maka kesejahteraan guru menjadi standar minimum, bahkan di bawah minimum. Hal itu pun dipandang berbeda dengan semangat Merdeka Belajar, Guru Merdeka yang digaungkan Kemenristek Dikti selama ini. Selain itu, ia menilai, RUU yang bersifat sapu jagat ini juga berbeda dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di mana pada beleid itu masih mengakomodasi ketentuan berbagai tunjangan yang memang dibutuhkan guru. (kompas.com/05/09/2022).

Soal kesejahteraan pendidik selalu masuk dalam deretan PR yang belum terselesaikan dalam sistem pendidikan di negeri ini. Merujuk pada data terbaru Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia berada di urutan paling bawah ke 30 dalam hal penggajian guru dengan 2.830 dollar AS per tahun atau sekitar 39.620.000 setahunnya atau setara 3.301.666 per bulannya. Tentu di lapangan sangat mungkin jauh dari itu karena nyatanya masih ada guru honorer yang digaji beberapa ratus ribu dan baru cair setiap beberapa bulan.

Sangat disayangkan, jika para guru yang berada di garda terdepan dalam mencerdaskan anak negeri masih belum memiliki jaminan kesejahteraan. Meski ada banyak faktor penentu kualitas pendidikan di Indonesia, akan tetapi terdapat korelasi antara kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan. Saat guru tidak terpenuhi kesejahteraannya maka besar kemungkinan mereka akan mencari kerja sampingan untuk menutupi kebutuhan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada optimalisasi kinerga sebagai guru dan pendidik.

Sistem ekonomi kapitalisme memosisikan pendidikan sebagai komoditas sehingga didominasi pandangan dari sisi materi. Hubungan antara penguasa dan rakyatnyapun sebatas untung atau rugi. Para guru sekadar dimaknai sebagai buruh yang melaksanakan tugasnya, yaitu mengajar. Pemerintah bak perusahaan besar yang mengupah para PNS sesuai prinsip swasta, yakni profit oriented. Alhasil, upahnya harus minimum agar menghasilkan profit yang maksimum.

Kondisi APBN yang terus defisit, pemerintah berupaya memangkas anggaran belanja negara. Tidak menutup kemungkinan itu pun terjadi pada sektor pendidikan. Misalnya, pemerintah sedang mengotak-atik dana pensiun PNS yang dianggap membebani APBN. Begitu pun hilangnya pasal tunjangan profesi guru pada RUU ini, bukan mustahil sebenarnya untuk mengurangi anggaran.

Hal-hal yang menyangkut gaji atau kesejahteraan di RUU ini mengalami beberapa perubahan. Bukan hanya pasal TPG saja yang hilang, kepastian gaji honorer yang sudah lama diajukan pun malah tidak dicantumkan. Pemerintah seperti tidak mau rugi dengan memberikan gaji yang memadai pada guru yang tulus mendidik generasi.

Islam memandang guru sebagai profesi mulia sehingga layak mendapat apresiasi yang tinggi atas pengabdiannya. Dalam buku Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab karangan Dr. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab memberi upah pada guru sebanyak 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Jika dikalkulasikan dengan harga emas saat ini, setiap bulannya setiap guru mengantongi lebih dari Rp60 juta.

Bukan hanya nominalnya yang besar, gaji ini pun dibagikan tanpa memandang status pegawai negeri atau bukan, di perkotaan atau perdesaan. Seluruh guru memiliki hak dan tugas yang sama, yaitu mendidik generasi. Negara akan menghitung dengan cermat kebutuhan guru dalam negaranya sehingga jumlah guru benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan mengajar, bukan berdasarkan anggaran.

Bukan hanya gaji guru, para pegawai sekolah yang turut berjasa dalam proses pengajaran juga akan mendapat upah setimpal. Fasilitas sekolah akan negara berikan sesuai kebutuhan tanpa memandang desa ataupun kota. Dana riset juga akan digelontorkan demi mewujudkan generasi cerdas yang siap memimpin dunia. Tentu sistem pendidikan yang berkualitas ini ditopang oleh sistem lainnya yang diterapkan kafah dalam bingkai Khilafah. Sistem ekonomi Islam akan menjadikan baitul mal (kas negara) menjadi kuat.

Khilafah memiliki sumber pemasukan tetap dari pos fai’ dan kharaj yang mengelola pemasukan dari interaksi kaum muslimin dengan orang kafir seperti ghanimah, fai, kharaj, jizyah, khumus, dan usyur. Islam juga menetapkan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk digunakan sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat. Islam mengharamkan kepemilikan umum ini diserahkan kepada swasta baik dalam maupun luar negeri. Hal ini akan berdampak positif bagi pemasukan negara yang besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan rakyat termasuk memberikan kesejahteraan kepada para guru.

Wallahu a’lam bish shawab.

Dibaca

 78 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi