Oleh. Nunik Umma Fayha
(Kontributor MazayaPost.com)
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Sebagaimana hadis yang berbunyi, “Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram….” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)
Bukan baru terjadi, tetapi kejadian berulang. Pada 2023 lalu, produk Red Wine dengan merk Nabidz sempat viral sebab memiliki label halal yang akhirnya dicabut setelah melalui investigasi oleh badan POM dan kepolisian diikuti pemecatan pendamping halal yang bertugas (news.detik.com, 04/09/2023). Kali ini, muncul kembali kasus serupa, viral dari postingan video yang isinya dibenarkan oleh BPJPH Kemenag, ditemukan produk berlabel halal dengan penamaan tuak, beer, wine juga tuyul (mui.or.id, 01/10/2024). Kenapa bisa terjadi kasus yang merugikan umat Islam seperti ini?
Label Halal, Riwayatmu Kini
LPPOM MUI pertama kali dibentuk sebab pada tahun 1989 ramai isu makanan terkontaminasi babi. MUI menerima mandat dari Pemerintah untuk meredam isu tersebut. Bekerjasama dengan IPB maka dibentuk lembaga sertifikasi halal, LPPOM MUI, tahun 1991, dan tahun itu pula label halal pertama dikeluarkan dan Indonesia adalah pelopor labelisasi halal. Tahun 1999 di bawah pimpinan Prof. Dr. Aisyah Girindra, dibentuk World Halal Council di Jakarta guna menstardarisasi sertifikasi halal juga akreditasi dan pengakuan lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia (halalmui.org).
Tahun 2005, Bintang Zero dirilis menyusul Greensand yang sudah lebih dulu dipasarkan oleh PT. Multi Bintang Tbk., produsen bir bintang dan anak perusahaan Heineken Internasional, produsen bir Belanda (news.detik.com, 21/03/2005). PT MB mengeklaim kedua produk bebas alkohol berdasar hasil penelitian Balitbang IPB dan Sucofindo. Masih ingat seorang teman ‘kekeuh’ mencoba minum Zero dengan dalih nol persen alkohol berarti halal meski diproduksi pabrikan bir. Kondisi ini sekarang tentu saja masih atau justru makin banyak terjadi. Bukan mencari dalil, tetapi malah mengeluarkan dalih. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung konsumen justru terjebak dalam retorika.
Label Halal, Tidak Paham atau Memanfaatkan?
Masyarakat umum bisa dibilang banyak yang abai dengan status halal dan mencukupkan diri dengan melihat alkohol, babi sebagai batasan halal dan haram pada makanan. Sebagian pengusaha UMKM berani membuat sendiri tulisan halal karena merasa produknya bukan makanan beralkohol dan tidak mengandung babi. Padahal kehalalan makanan tidak hanya dilihat dari komposisi saja. Asal bahan baku, penyimpanan, proses produksi dan yang sedang ramai pemberian nama produk bisa menentukan suatu produk halal atau haram. Sungguh aneh bila makanan halal justru diberi nama seperti barang haram. Sebab sudah jelas bahwa tuak, bir, wine adalah miras yang tentu saja haram tapi kenapa produk dengan nama barang haram ini mencantumkan label halal di kemasan. Orang akan dibuat berpikir bahwa tuak, bir dan wine adalah halal berdasar pemahaman ini. Mereka akan berdalih hanya sekadar nama produk.
Badan penerbit label halal harusnya tidak asal menyetujui pelabelan halal suatu produk apalagi bila berdasar ‘self declare.’ Pelolosan label harus mengacu pada Surat Keputusan Direktur LPPOM MUI dengan nomor : SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14. Pada keputusan itu juga dijelaskan perihal nama dan bentuk produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
Dari segi penamaan, produk yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno tidak berhak. Senada dengan itu Kepala Bidang Auditing Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, M.Si, menjelaskan, labelisasi halal mengacu pada sebelas kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang tertulis pada buku HAS23000, bahwa merek/nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam (halalmui.org).
Menjaga Umat
Pemerintah makin moderat bahkan berbagai hal seperti dijauhkan dari syariat, salah satunya pelolosan label halal untuk produk yang tidak layak. Padahal Al-Qur’an sudah jelas memberikan aturan dalam QS. Al Baqarah ayat 168, “Makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik ….”
Makanan halal dan baik adalah makanan yang dibenarkan agama dan yang dibenarkan sesuai kesehatan. Umat harus dijaga agar tidak mengkonsumsi makanan haram sehingga label halal sangat penting. Labelisasi halal harus dikelola oleh instansi yang paham secara syariat dan secara produk dengan personil yang taat syariat.
Umat sebagai konsumen harus berhati-hati memilih makanan, jangan asal viral, jangan demi gengsi. Bila makanan yang dijajakan bercampur dengan makanan haram lebih baik ditinggalkan karena menjadi subhat dan meninggalkan subhat lebih baik. Bagi produsen pun harus memiliki semangat menjual produk terbaik dengan jujur, paham bagaimana membuat makanan halal.
Kondisi ini tentu butuh pemahaman yang benar agar umat tidak ringan hati mengambil subhat, tidak menganggap remeh keringanan (ru’shah) yang ada dalam syariat. Membentengi umat dengan pemahaman yang benar dalam menjaga kehalalan makanan yang diberikan pada keluarga. Allah mengingatkan kita dalam surah Al-Baqarah ayat 172 yang isinya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”
Kita juga harus terus menguatkan pemahaman agar terhindar dari apa yang pernah Rasulullah saw. sabdakan, “Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (HR. Bukhari)
Wallahu musta’an.