Oleh. Rianny Puspitasari
(Pendidik)
Baru-baru ini, ramai diperbincangkan isu Kantor Urusan Agama (KUA) akan menjadi tempat pernikahan dan pencatatan semua umat beragama. Ide tersebut dicetuskan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Ia memaparkan gagasannya untuk menjadikan KUA sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. Menyikapi hal tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung tak keberatan jika KUA mencatatkan pernikahan warga nonmuslim dan mempersilahkan aulanya digunakan sementara untuk peribadatan mereka. Meski demikian, dalam pelaksanaannya tentu harus diatur oleh regulasi yang lengkap (inilahkoran.id, 28/02/24).
Menelaah Wacana KUA Mengurusi Semua Agama
Wacana ini tentu menimbulkan kontroversi, ada yang sepakat dan banyak pula yang menolak. Pihak yang setuju dengan ide ini berpendapat bahwa untuk memudahkan pencatatan pernikahan dan pengintegrasian data serta pengoptimalan fungsi KUA. Hingga muncul sindiran, “Ini kan KUA (Kantor Urusan Agama, bukan KUI (Kantor Urusan Islam).”
Adapun pihak yang menolak, mereka menilai bahwa ini merupakan bagian dari moderasi beragama yang sedang gencar diaruskan ke tengah-tengah umat Islam. Moderasi berasal dari kata moderat yang berarti jalan tengah. Penguatan ide ini melalui pluralisme yang memiliki pemahaman bahwa semua agama sama, yang membedakan hanya Tuhan dan ajarannya saja. Pemikiran-pemikiran ini lahir dari asas pemisahan agama dengan kehidupan atau yang biasa disebut sekularisme.
Bagi penganut sekularisme, agama merupakan perkara privat yang tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun. Bahkan untuk tidak meyakini Tuhan pun bukanlah sebuah masalah. Sekularisme menganggap agama hanyalah bagian kecil dari kehidupan.
Namun seyogianya, dengan kebijakan pelayanan semua agama akan berada di bawah KUA, maka sesungguhnya negara sudah ikut campur dalam urusan agama. Selain itu, pelayanan pernikahan semua umat beragama di KUA dikhawatirkan akan mengantarkan pada upaya pelegalan pernikahan beda agama yang terus digaungkan secara global. Para pegiatnya berusaha membuat pernikahan ini menjadi sesuatu yang normal dan tidak memiliki hambatan di aspek legalitas.
Isu ini terus digemakan selama beberapa dekade terakhir dan semakin besar penerimaannya. Bisa jadi hal ini dimulai dengan membuka KUA menjadi ‘milik’ semua agama.
Seorang muslim tidak boleh mengambil paham sekularisme dan liberalisme sebagai asas bagi pemikiran dan perbuatannya. Konsep ini merusak pemahaman seorang muslim yang lurus.
Isme ini lahir dari hasil kompromi dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara kaum gereja yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dengan kaum revolusioner (berasal dari kelompok filosof) yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan. Namun sayangnya, justru saat ini aturan yang berlaku dalam kehidupan adalah pemahaman sekularisme ini.
Kebenaran Islam
Bagi seorang muslim, ia harus meyakini bahwa dirinya adalah hamba yang diciptakan oleh Allah Swt. Ketika Allah menciptakan manusia, disertai juga dengan seperangkat aturan yang akan menjadi panduan dalam kehidupannya. Oleh karena itu kita harus mengikuti dan melaksanakan kehidupan sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Allah Swt. berfirman,
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ini adalah perkara akidah. Hal ini adalah perkara dasar dalam kehidupan sehingga tidak boleh kita mengecilkan peran agama dalam kehidupan. Dalam pernikahan pun ketika telah diatur bahwa haram menikah dengan non-muslim, kecuali bagi laki-laki boleh menikahi wanita ahlul kitab, maka kita harus tunduk pada perintah tersebut.
Pluralisme bertentangan dengan Islam, namun Islam mengakui pluralitas. Pluralitas adalah keberagaman yang secara alami ada di tengah-tengah manusia. Bahkan ketika kehidupan berada di bawah naungan Islam, terbukti perdamaian tercipta meski hidup bersama berbagai umat beragama. Negara tidak ikut campur dalam urusan peribadatan agama diluar Islam. Namun, jika berkaitan dengan masalah kehidupan bermasyarakat, maka semua terikat dengan aturan yang diterapkan negara Islam, baik muslim maupun nonmuslim.
Seorang muslim yang keimanannya tinggi akan senantiasa mengikatkan seluruh perbuatannya pada hukum-hukum Sang Pencipta, bukan hukum buatan manusia. Ia akan selalu menjadikan halal dan haram sebagai standar amalnya. Sehingga ketika kelak dimintai pertanggungjawaban, ia akan selamat dan memasuki surga-Nya.
Untuk menjadi muslim yang taat, tidak cukup hanya salih secara pribadi. Karena tetap membutuhkan lingkungan masyarakat yang saling mendukung dalam kebaikan dan mengingatkan saat terjadi kemaksiatan. Yang juga tidak kalah penting adalah adanya sebuah institusi yang menerapkan seluruh hukum syarak di tengah umat agar kehidupan dilimpahi keberkahan dari Allah Swt. Wallahu a’lam bisawwab.