Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi, KontributorMazayaPost.com)
Pemerintah berencana menaikkan pajak motor bensin. Namun demikian, kenaikan pajak ini baru sekadar rencana. Pemerintah juga belum merinci pajak mana yang hendak direvisi. Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan, rencana menaikkan pajak kendaraan bermotor barulah sebatas wacana sehingga tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Tidak ada rencana untuk menaikkan pajak terkait kendaraan bermotor dalam waktu dekat,” ujarnya, dikutip dari Money Kompas.com (19/1/2024). Pak Menteri Marves mengatakan bahwa kenaikan pajak sepeda motor berbahan bakar bensin merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek.
Namun, saat membaca hal lain terkait wacana ini, ada udang di balik udang, ada rencana di balik rencana yang tentunya menguntungkan pihak pemodal lagi. Di mana kabarnya, dikutip dari Kompas.com (25/1/2024), kenaikan pajak motor juga bertujuan mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik sebagai upaya menekan polusi udara. Selain itu, diharapkan pajak tersebut juga dapat dialokasikan untuk subsidi transportasi publik.
Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor, Tepatkah?
Saat menentukan buruknya kualitas udara di Jabodetabek, tentunya harus jeli terkait dari mana saja sumber polutannya. Jika solusinya adalah hanya menekan pada problem kendaraan bermotor hingga wacana akan dinaikkan pajak, sepertinya ini adalah keputusan yang belum pas.
Dilandir dari Tirto.id (23/8/2023), Jakarta memang secara rutin menduduki peringkat atas kota dengan tingkat polusi udara tinggi kelas dunia. Namun, terdapat sejumlah penyebab yang mengundang pencemaran udara itu terjadi.
Dari data polusi udara di Indonesia, sepanjang 2015-2023 (Tirto.id, 23/8/2023), ternyata penyebabnya antara lain, adanya kasus kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi secara serentak dan berdasarkan data IQAir pada Oktober 2015, terjadi 5.000 kasus kebakaran hutan. Dalam satu hari saja, sekitar 80 juta metrik ton karbon dioksida (CO2) diproduksi. Adanya polusi yang dihasilkan dari sektor transportasi dan produksi energi pun menjadi penyumbang tercemarnya udara Jakarta. Emisi pembangkit listrik tenaga batu bara yang meningkat pesat, termasuk polutan yang juga turut mencemari Jakarta.
Emisi transportasi, rumah tangga, industri konstruksi, debu jalan, dan pembakaran lahan hutan pertanian yang tidak terkendali, ternyata juga memperburuk kualitas udara Jakarta, yang semua ini terjadi setiap hari dan memengaruhi lebih dari 25 juta penduduknya. Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta berada di angka lebih dari 26 juta kendaraan, terdiri dari mobil penumpang, bus, truk, serta sepeda motor. Kendaraan bermotor menghasilkan gas karbon monoksida yang menjadi salah satu penyumbang polutan di Indonesia.
Tak terlewatkan, berdasarkan data Infrastructure for Climate Action Report yang dikeluarkan UNOPS—kolaborasi antara UN Environment Program (UNEP) dan University of Oxford—pada 2021, menunjukkan bahwa infrastruktur bertanggung jawab terhadap 79% total terjadinya emisi gas rumah kaca di dunia dan 88% biaya yang diperlukan untuk beradaptasi (adaptation costs).
Walhasil, polusi udara Jabodetabek (khususnya Jakarta) bukan hanya dari kendaraan bermotor saja. Namun pembangunan insdustrialisasi kapitalistik pun menjadi penyumbang tercemarnya udara, di mana limbah industri tidak ditangani dengan baik hingga berpengaruh pada lingkungan masyarakat di sekitarnya. Belum lagi polusi akibat karhutla yang ditengarai karena adanya bisnis korporat menambah berat pencemaran yang terjadi. Jadi, wacana menaikkan pajak kendaraan bermotor seharusnya ditinjau kembali agar benar-benar menghasilkan solusi terbaik terhadap kasus polusi udara.
Ilusi di Negeri Demokrasi Kapitalistik
Saat paradigma kapitalisme masih mengiringi sebuah rencana, tujuan mengatasi permasalahan polusi menjadi tercemari oleh kepentingan korporasi. Demikian yang terjadi saat menelisik beriringannya wacana menaikkan pajak kendaraan bermotor bensin dengan mengalihkan pada keberadaan motor listrik.
Alih-alih mencari solusi, yang terjadi justru ilusi yang hadir karena adanya kepentingan bisnis kapitalisme. Investasi makin menjadi. Terlihat dari meluncurnya mobil listrik asal Cina, Build Your di Indonesia. Investasi triliunan rupiah ditanamkan. Herannya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi BYD yang resmi masuk Indonesia, padahal dengan semakin besar investasi jebakan korporasi semakin menguat di negeri ini.
Di negeri demokrasi, mengelola energi ramah lingkungan selalu tidak lepas dari swasta dan adanya investasi jangka panjang. Padahal, prinsip pembangunan kapitalisme dalam mengelola SDA kebanyakan berakhir pada eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Hadirnya kerakusan dan ketiadaan empati terhadap lingkungan sudah menjadi ciri khas sistem demokrasi kapitalisme.
Jangan-jangan saat transformasi dari kendaraan bermotor bensin menjadi kendaraan listrik, yang terjadi adalah makin menyulitkan masyarakat. Semantara di sisi lain, pemilik modal makin bercuan, makin berkuasa atas kebijakan-kebijakan berikutnya atas bisnis yang dijalankan.
Untuk itu, butuh paradigma Islam untuk menghindari adanya ilusi demi ilusi. Paradigma yang menghadirkan solusi pasti atas apa yang terjadi pada umat, termasuk solusi atas polusi.
Islam Hadirkan Solusi Pasti
Menghadapi permasalahan polusi seharusnya penguasa memiliki komitmen tegas untuk membuat keputusan kunci kebijakan terkait urusan rakyatnya (termasuk masalah polusi). Sebagai pengurus rakyat, negara sudah semestinya melayani rakyat secara paripurna. Penyelesaian terkait pencemaran lingkungan pun dilaksanakan secara berkesinambungan.
Dalam sistem Islam, sistem pendidikan berbasis akidah Islam dibangun untuk mewujudkan sumber daya manusia yang siap mengelola sumber daya alam demi kemaslahatan umat. Negara menyiapkan SDM ahli yang siap menemukan energi ramah lingkungan yang kemudian dikelola mandiri. Jika ada SDM asing pun, maka kemitraan bisnis model sistem kapitalisme sangat dihindari.
Dalam sistem Islam, pengelolaan SDA dilakukan mandiri tanpa utang dan investasi. Karena dalam Islam, sumber pendanaan untuk pembangunan bisa diambil dari baitulmal yang memiliki pemasukan bermacam-macam, seperti harta fai, kharaj, jizyah, usyur, hasil pengelolaan SDA, dan lainnya.
Dalam sistem Islam, pola hidup sehat dan cinta lingkungan diedukasi negara agar kehidupan generasi mendatang selamat dan ekosistem alam tetap seimbang. Kesadaran beriman kepada Allah taala ditanamkan, karena dengan ketakwaan masyarakat terbiasa dengan pola hidup bersih dan sehat sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, negara mudah mengatur regulasi dalam menjaga lingkungan.
Dalam Islam, negara membangun fasilitas umum (infrastruktur publik: trotoar, jalan raya, transportasi publik) yang aman dan nyaman, sehingga masyarakat tidak menolak untuk menggunakan kendaraan umum, dan dampaknya adalah emisi gas kendaraan bermotor dapat diminimalisir.
Penutup
Demikianlah, sistem Islam telah menggambarkan perwujudan konsep rahmatan lil alamin, tidak terkecuali yang terkait dengan masalah pencemaran udara. Realisasinya, kemaslahatan umat pun sangat terjaga. Bukan Ilusi, namun solusi pasti. Wallaahu a’lam bisshawaab.