Menyoal Subsidi Mobil Listrik, Tepat Sasaran?

Oleh. Moura Cesari Millennia
(Mahasiswi)

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk sebesar 273,8 Juta jiwa (per September 2021). Dari banyaknya jumlah penduduk tersebut, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,57% (per September 2022) yakni sebanyak 26,36 Juta penduduk miskin. Sungguh, itu merupakan angka yang tidak kecil.

Kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan sistemis. Mulai dari upah/gaji minimum yang tidak lazim, taraf hidup masyarakat yang kurang baik, dan meningkatnya angka pengangguran setiap tahunnya. Namun, jika kita berpikir kembali sebenarnya akar masalah dari kemiskinan yang tengah melanda Indonesia ialah ketiadaan kesungguhan negara dalam mengatasi kemiskinan.

Negara nihil skala prioritas, sehingga cenderung mengutamakan tujuan yang diinginkan oleh para kalangan elite dibandingkan pada masalah darurat yang melanda masyarakat. Padahal, seharusnya kebutuhan masyarakat yang ditangani terlebih dahulu. Ironisnya, penanganan kemiskinan ini seolah kalah dengan kebijakan subsidi mobil listrik yang kian mengelite.

Berdasarkan fakta yang dikutip dari CNN Indonesia menjelaskan bahwa, Menteri keuangan Sri Mulyani Indarwari memberikan anggaran mobil listrik untuk PNS dengan harga senilai Rp966 juta untuk setiap unit mobil listrik dan belum lagi terdapat biaya tambahan yakni biaya pengiriman dan pemasangan instalasi pengisian daya. Rinciannya, harga mobil listrik untuk para pejabat eselon I adalah senilai Rp966 juta dan Rp746 juta untuk eleson II.

Tak hanya itu, biaya dalam perawatan mobil listrik para pejabat eleson I sebesar Rp11,10 Juta per tahun dan pejabat eleson II di angka Rp10,99 Juta pertahun, sedangkan perawatan kendaraan listrik operasional mencapai Rp10,46 Juta per tahun dan motor listrik sebesar Rp3,2 Juta per tahun (cnnindonesia.com, 22/05/2023).

Hal di atas menuai kritikan dari mantan Gurbenur DKI Jakarta, Anis Baswedan, ia menjelaskan bahwa para kalangan elite pejabat dirasa telah mampu sehingga tak perlu adanya subsidi apalagi subsidi mobil listrik. Dan yang membuat masyarakat sakit hati ialah dana dari pembelian atau dana subsidi berasal dari uang masyarakat di APBN.

Berdasarkan ini, dapat disimpulkan bahwa pemerintah menggunakan uang rakyat untuk keperluan yang tidak penting dan bukan untuk kepentingan masyarakat. Mereka mengambil uang masyarakat melalui pungutan pajak yang kemudian uang tersebut digunakan untuk bermewah-mewahan dan sebagai bentuk kemubadziran harta yang digunakan dalam kepentingan penguasa itu sendiri. Para pejabat mementingkan kemajuan infrastruktur sebagai ajang mentereng, dan unjuk gengsi karena kedudukan yang dimiliki.

Hal ini dapat dilihat bahwa, pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut hanya untuk menyejahterahkan kalangan elite dan bukan menyejahterahkan kalangan menengah kebawah yang dimana mereka lah yang memberikan subsidi kepada para penguasa. bukankah hal itu berbanding terbalik? Lantas dengan cara apa subsidi yang seharusnya di berikan oleh masyarakat? Apakah subsidi hanya diberikan kepada para kalangan elite sedangkan para kalangan menengah ke bawah tidak mendapatkan subsidi yang sewajarnya?

Dalam sudut pandang Islam, hal tersebut tentu merupakan perbuatan zalim karena menyangkut kepemilikan harta dan wewenang tanggung jawab negara. Sehingga, negata harus menggunakan uang umat dengan sebaik-baiknya dan tidak menimbulkan kezaliman demi menuruti keserakahan dan hawa nafsu para kaum elite penguasa.

Rasulullah saw. memberikan peringatan terkait penyalahgunaan subsidi tersebut dimana beliau bersabda, “Siapa pun yang mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, Allah menentukan neraka baginya, lalu, mengharamkan surga baginya.” (HR. Muslim)

Begitu juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bawasanya Allah Swt. juga memberikan peringatan yakni dalam surah An-Nisa ayat 29 yang artinya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu (tidak salah satunya), Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Dalam hal ini, Allah Swt. melarang untuk mendapatkan kekayaan dengan unsur yang zalim kepada orang lain. Tindakan menipu juga termasuk tindakan yang batil dilakukan dalam hal memperoleh kekayaan.

Negara juga harus bertindak tegas dan tidak boleh mengabaikan syariat Islam dan melupakan pelayanan pada masyarakat dari sumpah yang dilakukan. Undang-undang tidak bisa dijadikan sebuah aturan yang pakem untuk ditaati, karena segala perbuatan terikat hukum syariat Islam.

Peraturan perundang-undangan dalam mengatur urusan umat juga berasal dari Allah Swt., Sang Maha Pengatur kehidupan manusia yang tidak mungkin menzalimi manusia. Allah Maha Memberi rezeki yang cukup bagi para penguasa, sedangkan masyarakat menengah ke bawahlah yang harus diperhatikan dan dibantu agar mereka bisa menjalani hidup dengan layak.

Dalam sejarah Islam, Khilafah menggunakan sistem dari Allah Swt. sehingga hukum-hukumnya bukanlah hukum-hukum buatan manusia yang banyak keterbatasan dan memprioritaskan hawa nafsu. Namun, hukum Allah adalah hukum yang Adil, Bijaksana, dan Sempurna untuk diterapkan sebagaimana porsinya.

Jadi, kita sebagai umat Muslim harus tegas dan memahami bahwa Allah lah yang maha sebaik-baiknya dalam mengatur persoalan kehidupan manusia. Harta berasal dari Allah dan digunakan berdasarkan aturan Allah sehingga harus digunakan dengan selakyaknya dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi apalgi untuk bermewah-mewahan. Harta dari Allah seharusnya digunakan untuk kebaikan sesama manusia. Dengan demikian semua akan selamat, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah Swt. berfirman:

“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, dia menerangkan yang sebenarnya dan ia pemberi keputusan yang baik.” (QS. Al-An’am : 56-57)

Wallahu a’lam Bis Shawaab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi