Menyoal Sampah Plastik di Negeri Kapitalistik

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi, KontributorMazayaPost.com)

Tragis. Kata yang penuh keterkejutan saat kembali membaca isu sampah di negeri ini. Bumi pertiwi tak henti dihujani materi yang meracuni partikel tanahmya yang bisa jadi mewariskan unsur beracun untuk generasi manusia dan juga makhluk lainnya. Mengutip dari Katadata.co.id (7/2/2024), Indonesia menghasilkan 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023. Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan sampah plastik masih menjadi isu serius yang dihadapi Indonesia, Rosa mengatakan, kondisi tersebut menyebabkan penanganan sampah plastik menjadi fokus dalam Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 yang diperingati 21 Februari.

Sayangnya, sekalipun upaya mitigasi telah dilakukan dengan berbagai cara, hingga kini masalah plastik tidak juga terselesaikan. Karakter plastik yang sulit terurai membuat semakin menumpuknya sampah. Sekalipun masalah sampah plastik ini disorot secara khusus oleh United Nations Environmental Programme (UNEP), namun hingga kini, masalah plastik belum juga terselesaikan. Alih-alih sampah menjadi musnah, yang terjadi makin membuat resah.

Drama Plastik di Era Kapitalisme

Di era kapitalisme, plastik memerankan posisinya, maka risiko dramatisnya dibebankan pada pemakainya. Hingga dari mulai awal kisah, beban perannya ditimpakan pada pemakai sampai ending plastik dilontar ke pembuangan. Drama plastik telah menghantui pemakainya.

Di negeri kapitalistik, regulasi terkait bahaya plastik tidak jelas dan juga tidak tegas. Misalnya, saat kantong plastik dianggap berbahaya, peredaran kantong plastik masih tetap ada. Kantong plastik tetap diproduksi. Berbagai jenis olahan plastik tetap bertebaran tanpa tahu mana yang berbahaya, atau sebahaya apa.

Masalah untung rugi tetap menjadi ciri khas dalam sistem ekonomi kapitalisme. Bahaya atau tidak, itu tidak diperhatikan. Padahal jika saja ada regulasi yang tegas dan jelas yang dibuat oleh penguasa dengan kebijakannya terkait plastik dan penggunaannya, drama menggunungnya sampah plastik tidak booming.

Ditambah lagi peran negara nihil untuk memerankan para ahlinya dalam menentukan peran plastik sebagai benda berbahaya jika digunakan. Edukasi terkait plastik yang seharusnya bisa dijelaskan secara ilmiah pada masyarakat, agar aware dalam penggunaan plastik, dalam realitanya tidak terwujud secara jelas di negeri kapitalis.

Demikian juga terkait pengelolaan dan pengolahan plastik pascapakai. Limbah plastik pada dasarnya harus dikelola sedemikian rupa agar tidak berbahaya. Pengelolaan limbah ini tidak bisa dilepaskan juga dari tanggung jawab negara, karena jumlah limbah rumah tangga yang besar di Indonesia dengan jumlah penduduknya yang banyak, sangat sulit jika dikelola sendiri secara individu maupun komunitas-komunitas pengelola sampah tanpa dikelola secara sistemis oleh negara.

Namun, begitulah. Drama plastik tetap tayang, menjelma sampah yang menggunung, masih jadi tontonan publik sebagai benda buangan yang dapat menimbulkan masalah, termasuk masalah kesehatan. Padahal, hidup sehat merupakan hak setiap warga negara, dan negara berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut. Sayangnya, saat negara masih betah memakai sistem kapitalisme, maka tampaknya ‘kesehatan masyarakat’ terkalahkan oleh ‘kepentingan pengusaha.’

Drama plastik akan tetap laku selama sistem ekonomi kapitalisme sekuler dijalankan. Anggapan setiap individu memiliki hak kebebasan kepemilikan, tidak terkecuali kepemilikan industri makanan dan minuman tanpa batasan ada benda yang berbahaya digunakan atau tidak (plastik tanpa memperhatikan aturan keamanan penggunaan) memuluskan peran plastik sebagai benda yang seharusnya mendapatkan seleksi khusus dari para ahli dalam peredarannya. Urusan bisnis yang mengutamakan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, tidak lagi mempedulikan apakah usahanya akan merugikan masyarakat luas atau tidak.

Pandangan Islam Terkait Plastik

Plastik adalah benda. Islam telah memiliki pandangan khas tersendiri terkait hukum asal benda. Hukum asal benda mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka saat plastik digunakan pun tidak terlepas dari bagaimana Islam mengaturnya.

Terkait penggunaan benda hukumnya hanya ada dua, yakni halal dan haram. Allah Swt. berfirman :

“Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.” (QS. Yunus: 59)

Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf: 56)

“Mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagimu.” (QS. At-Tahrim: 1)

Dari pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum asal benda adalah ibahah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah hukum syarak.

Al aslu fi asya’ al ibahah malam yaarid dalilu tahrimi

“Asal dari sesuatu/benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Memahami hal ini berarti plastik adalah benda yang boleh digunakan, namun tidak dibenarkan jika membahayakan bagi yang lainnya. Bahaya bagi manusia, lingkungan, dan juga makhluk lainnya. Sehingga butuh kebijakan sistemis dalam penggunaannnya.

Kebijakan pertama di tingkat negara, secara prinsip, penguasa (khalifah) wajib menetapkan kebijakan yang tepat dalam mata rantai industri plastik, mulai dari hulu sampai hilir. Khalifah berhak memutuskan dibolehkan atau dilarangnya peredaran plastik di dalam wilayah negara. Jika khalifah bukan ahli terkait plastik, khalifah wajib berkonsultasi dengan pakar di bidangnya untuk menimbang aturan mana yang paling tepat dan paling bijak.

Terkait limbahnya pun, khalifah akan memperhatikan sedemikian rupa sehingga plastik tidak menjadi masalah lingkungan karena sejak di sektor hulu biaya pengelolaan limbah pada harga produk dan di sektor hilir sudah disiapkan pula sistem pengelolaan limbah yang mampu melenyapkan limbah plastik dalam bentuknya saat ini. Internalisasi biaya pengolahan limbah disiapkan untuk mengoperasikan fasilitas pengelolaan limbah plastik, hingga limbah plastik tidak menjadi masalah besar yang menyulitkan rakyat dan negara. Inilah yang tidak diterapkan dalam sistem kapitalisme karena dianggap biaya pokok produksi (BPP) kantong plastik akan melambung yang berakibat turunnya keuntungan yang akan mereka dapatkan.

Kebijakan kedua, di tingkat masyarakat, masyarakat dapat berperan membantu khalifah dalam berbagai bentuk, mulai dari bantuan sosialisasi kebijakan, mengawasi alur pengelolaan, dan pengolahan limbah, serta mengajak individu dengan program pengurangan volume sampah sejenis zero waste. Masyarakat yang melakukan hal tersebut berada dalam kelompok/komunitas yang dapat menjadi penyambung lisan dan peraturan dari khalifah ke unit-unit individual. Masyarakat dapat pula melakukan riset (dengan bantuan negara) untuk menemukan teknologi tepat guna yang memiliki potensi dalam pengelolaan dan pengolahan limbah plastik secara efektif dan efisien.

Dengan kebijakan ini, melalui kemajuan ilmu dan teknologi plastik dapat diolah menjadi benda lain yang tidak berbahaya. Misalnya, diolah kembali menjadi senyawa hidrokarbon, dalam hal ini minyak atau gas sintetis.

Kebijakan ketiga, di tingkat individu, penjagaan keimanan dan ketakwaan individu dilakukan negara untuk mendorong manusia agar senantiasa memahami perintah dan larangan Allah. Tentunya terkait plastik, perbuatan yang membahayakan dengan perantaraan penggunaan plastik tidak akan dibiarkan jika membahayakan lingkungan. Dengan pemahaman yang terjaga, maka akan mencegah individu untuk tidak menggunakan dan membuang plastik secara serampangan. Dengan iman dan takwa, masyarakat diantarkan untuk taat pada perintah khalifah dalam penerapan sistem pengelolaan limbah yang berlaku, serta tidak bersikap keliru dalam penggunaan plastik di kehidupannya.

Semua kebijakan ini akan berjalan baik jika khalifah menjalankan kewajibannya untuk membangun sistem pengelolaan sampah secara syar’i yang efektif dan efisien dalam perannya sebagai pemimpin umat yang menerapkan syariat Islam. Khalifah bertanggung jawab dalam menyelesaikan problematik seputar plastik berikut limbahnya , sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Seorang imam (khalifah) adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam sistem Islam, masyarakat pun dapat membantu dalam tataran penyambung lisan khalifah dengan jangkauan luas dan menyeluruh, dakwah menjadi sarana penyampai agar individu dapat digerakkan berdasarkan keimanannya, memahami hukum syarak yang dibebankan pada dirinya agar dia tidak menghancurkan bumi yang sudah diciptakan Allah untuknya. Firman Allah Swt.,

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang beriman.” (QS.Al-A’raf: 56)

Oleh karena itu, jika drama plastik tidak lagi diinginkan tayang mengotori bumi dan mencelakai penduduk negeri, jangan biarkan sistem kapitalisme sekuler radikal menyutradarai. Wallaahualam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi