Menyoal Penghapusan Kemiskinan Ekstrem

Oleh: Tri S, S.Si.

Optimisme Presiden RI terkait penghapusan kemiskinan ekstrem bertabrakan dengan realitas, karena angka kemelaratan di Tanah Air masih cukup tinggi pada tahun ini. Pendapat itu disampaikan peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf ketika berbincang dengan VOA.

Dia berpendapat pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam satu tahun. Apalagi, target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau. Mereka, misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan, tinggal di daerah terpencil, dan memiliki disabilitas. Dalam penjelasan pemerintah, kemiskinan ekstrem adalah kondisi dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi.

Dalam angka, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) hanya mencapai $1,9. PPP ini ditetapkan dengan menggunakan aturan kemiskinan absolut atau absolute poverty measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu. Dalam hitungan rupiah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya ada di bawah Rp10.739,00/orang/hari atau Rp322.170,00/orang/bulan.

Berdasarkan hitungan itu, satu keluarga yang memiliki dua anak, dinilai miskin ekstrem jika pengeluarannya setara atau di bawah Rp1,28 juta per bulan. Menurut data BPS, pada Maret 2021 ada 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Menurut perhitungan, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, kemiskinan ekstrem pada 2024 bisa mencapai 2,6 atau 3,1 persen setara sekitar 7,2-8,6 juta jiwa (voaindonesia.com, 10/06/2023).

Sungguh miris kondisi rakyat saat ini, seperti pribahasa “tikus mati di lumbung padi” yang artinya negara yang kaya dan makmur, tetapi rakyatnya sendiri tak dapat ikut menikmati. Begitu pribahasa yang tepat disematkan untuk negeri ini. Negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) namun rakyatnya banyak yang menderita kemiskinan.

Negeri ini sangat terkenal “bumi loh jinawi” atau negeri dengan tanah yang sangat subur. Demikian pula dengan hasil tambang yang sangat besar jumlahnya. Sebut saja salah satunya batubara. Meski negeri ini kaya sumber daya alam (SDA), tetapi kondisi rakyat berbanding terbalik dengan kisaran besar pendapatan di salah satu SDA.

Padahal, itu baru salah satu dari sekian SDA yang ada di Indonesia. Masih banyak SDA yang lain yang dimiliki oleh negeri ini, seperti minyak bumi, sumber daya air, tambang emas, nikel dan lainnya. Sayangnya, semua belum bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat secara merata. Sudah jamak diketahui jika negeri ini menerapkan sistem sekularisme-kapitalisme.

Berbagai upaya kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dan termasuk di dalamnya mengentaskan kemiskinan belum tersolusikan. Meskipun termaktub jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Masih jauh panggang dari api. Masih jauh solusi yang ditempuh dengan fakta sejatinya. Ini membuktikan pengelolaan SDA masih belum bisa menyentuh kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya dan fakir miskin khususnya. Maka, untuk mewujudkan kemakmuran jelas juga belum bisa menyentuh kalangan masyarakat miskin khususnya.

Selama ini, harta/kekayaan hanya berputar pada sebagian besar masyarakat kalangan atas, seperti para penguasa dan pengusaha. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, justru jurang pemisah antara si miskin dan si kaya sangat terbentang luas. Pasalnya, negeriku yang menerapkan sistem sekularisme-kapitalisme ini, mengutamakan kepentingan pengusaha daripada meriayah (mengurus) rakyatnya.

Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak kerjasama (atas nama investasi) kalangan pengusaha (Asing/Aseng) yang menguasai banyak sumber-sumber SDA yang bertebaran di berbagai belahan bumi Indonesia. Mereka atas nama investasi menguasai lebih dari separuh penghasilan yang berasal dari pengelolaan SDA.

Dengan ditambah liberalisasi ekonomi, membuat para pengusaha besar kian menguasai SDA dengan cara yang sangat mudah. Bahkan SDA yang seharusnya dikelola oleh negara, justru telah dikelola oleh swasta. Banyak macam hal yang menjadikan badan-badan usaha milik negara saat ini dibeli oleh sing maupun aseng. Merugi hingga bangkrutnya badan usaha milik negara, menjadikan segala aktivitas yang dilakukan oleh badan tersebut melepaskan tugasnya mengelola SDA. Dengan adanya suntikan modal yang jumlahnya tidak sedikit, membuat perusahaan negara secara otomatis dikuasai asing maupun aseng, ataupun pengusaha dalam negeri yang mereka adalah para oligarki.

Dari sini, jelas bahwa peran negara sebagai pengelola harta kekayaan milik umat, tidak bisa menjalankan amanahnya. Lepas sudah SDA yang sejatinya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, malah dikelola oleh pengusaha, baik asing dan aseng maupun pengusaha dalam negeri. Pantaslah jika harta yang 6berputar berada di pihak penguasa dan pengusaha. Rakyat justru menanggung beban kehidupan yang berat. Mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan) hingga kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara mandiri. Belum lagi ditambah iuran-iuran yang sifatnya memaksa untuk mereka. Lengkap sudah penderitaan rakyat jelata yang miskin papa.

Terbukti sudah jika sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme) mengutamakan liberalisme (sistem kebebasan) yang membuat seluruh bahan tambang bebas dimiliki oleh orang atau kelompok tertentu saja. Hal itu juga menunjukkan jika sistem ini tidak bisa mengatur urusan umat. Banyak kemiskinan, bahkan ekstrem, di sisi lain orang kaya beberapa gelintir saja. Ditambah pula tanah yang subur dengan SDA yang berlimpah. Namun, rakyatnya tidak bisa menikmatinya.

Negeri yang kaya akan SDA sejatinya akan sangat mudah mengentaskan kemiskinan. Asal segenap upaya dicurahkan benar-benar hanya berdasar tanggung jawab besar terhadap urusan rakyat. Bukan berdasar yang lain, seperti unsur bisnis maupun meraup kekayaan besar untuk individu maupun kelompok. Pengelolaan seluruh SDA dilakukan oleh negara, bukan oleh badan swasta (asing maupun aseng).

Negeri ini pun cukup mampu dari segi sumber daya manusia. Tak sulit untuk mendapatkan orang-orang yang bisa mengelola perusahaan besar sekelas perusahaan tambang. Banyak anak negeri yang mereka tidak dimanfaatkan pikiran ataupun keahliannya di dalam negeri ini.

Sehingga, ketergantungan kepada perusahaan swasta juga sangat menonjol. Selain itu, permodalan dalam negeri yang banyak dikorupsi oleh para pejabatnya menambah beban negara berat mengelola sendiri pertambangan yang ada.
Negara sejatinya memiliki kewenangan mengelola sumber-sumber daya alam yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena bahan tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat banyak) termasuk kepemilikan umum.

Harta yang menjadi kepemilikan umum akan dimanfaatkan bersama dengan cara dikelola oleh negara dan hasilnya disalurkan untuk rakyat guna pemenuhan kebutuhan hajat (hidup) yang merupakan kebutuhan dasar. Sedang selebihnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, seperti disalurkan pada biaya kesehatan dan pendidikan serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk keduanya.

Karena ini juga disabdakan oleh Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa kaum muslim bersekutu dalam tiga hal yaitu air, padang dan api. Adapin negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini seharusnya menganut apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. agar menjadi umat yang mendapatkan syafaatnya kelak di Yaumil Qiyamah. Dengan demikian, masyarakat yang kurang mampu hingga miskin akan bisa hidup tanpa memikirkan urusan sekolah maupun kesehatannya. Mereka akan fokus pada pemenuhan kebutuhan hajat dasar mereka. Pun penghasilan mereka tidak akan tersedot untuk membiayai sekolah maupun biaya berobat/kesehatan. Karena, hal ini telah dijamin oleh negara.

Jika mereka yang miskin papa akan diurus oleh negara pula dengan cara mendudukkan keluarga untuk merawat mereka. Jika tidak ditemukan dalam hal ini, maka akan diasuh/diriayah negara. Jika mereka masih mampu bekerja, negara melalui khalifah (kepala negara) memberikan sarana untuk bisa bekerja. Jika benar-benar tidak mampu bekerja, maka kehidupannya akan ditanggung oleh negara.

Di sini pula, hasil-hasil tambang dipergunakan untuk mengurus rakyat yang memang membutuhkan, selain disalurkan ke dunia pendidikan maupun kesehatan. Ini semua seharusnya bisa dilakukan oleh negara yang kaya akan SDA dan sumber daya manusia (SDM), yaitu negeri Zamrud Khatulistiwa, Indonesia.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi