Oleh. Nasrawati Alwan
(Pegiat Literasi)
Dalam beberapa pekan ini, santer terdengar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi makin sadis. Sepertinya perihal nyawa sudah dianggap hal biasa dalam kasus KDRT. Akhir 2023 lalu, rakyat Indonesia dibuat miris kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta, yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Saat itu, ibu dari keempat anak tersebut justru sedang dirawat di rumah sakit akibat KDRT yang dilakukan oleh suami/ayah dari keempat anak tersebut.
Sebelumnya, terungkap pula seorang dokter yang kabur dari suaminya lantaran bertahun-tahun menjadi korban KDRT meski sudah menjadi tulang punggung keluarga. Kini, awal 2024, kita kembali digemparkan dengan kasus mutilasi seorang istri yang dilakukan oleh suaminya di Malang, Jawa Timur. Kasus ini juga berawal dari KDRT yang sering dilakukan kepada korban. Beredar pula video KDRT yang dilakukan oleh seorang ASN BNN terhadap istrinya di depan ketiga anaknya yang masih kecil (Kompas.com, 22/3/2024)
KDRT di Sistem yang Karut Marut
Sungguh miris dan pilu dengan kejadian KDRT. Betapa mengerikannya apabila orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat ternyaman serta memperoleh perlindungan, tetapi justru menjadi ancaman yang menyerang keselamatan jiwa dan raga. Di sisi lain, walaupun UU tentang perlindungan wanita dan anak sudah ada, tetapi apakah seseorang akan jera dengan hukuman tersebut ? Tidak.
Hal itu dikarenakan salah satu faktor yang membuat KDRT menjadi begitu kompleks dan sulit dihentikan adalah siklus yang berulang. Kenapa berulang? Karena pelaku KDRT secara psikologis cenderung bermain manipulatif, berusaha mencari cara supaya tindakan yang dilakukan berdampak baik jika terlihat, seakan berkamuflase untuk memainkan perannya sehingga seakan dirinya teraniaya atau play victim.
Selanjutnya setelah melakukan KDRT, pelaku biasanya akan meminta maaf dan menunjukkan penyesalan mendalam. Kemudian akan melakukan love bombing seperti rayuan, pujian, dan tindakan yang menunjukkan merasa butuh pada pasangannya sehingga meluluhkan hati korban KDRT, begitu seterusnya hingga KDRT terulang. Selain dari faktor tersebut, ada pula faktor lain yang membuat korban KDRT bertahan dalam hubungan tersebut, yaitu keberadaan anak atau ketergantungan secara ekonomi. Hal ini masih banyak terjadi.
Perlu diingat, menjadi korban KDRT bukanlah aib yang harus ditutupi. Apalagi takut untuk bersuara (speak up). Karena jika berlangsung lama dalam cengkeraman KDRT, akan memengaruhi faktor kesehatan mental dan fisik terutama jika memiliki anak, yang mana akan memengaruhi tumbuh kembang si anak.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, upaya yang bisa dilakukan adalah kepedulian lingkungan sekitar yang diharapkan mampu memberikan perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitar, sehingga dapat mengambil langkah preventif/pencegahan. Apabila menjadi korban KDRT maka sebaiknya korban mau dan berani untuk melapor kepada pihak terkait dengan melampirkan bukti-bukti baik foto, video, maupun hasil pemeriksaan atas akibat yang ditimbulkan dari KDRT tersebut.
Jika dicermati, terus berulangnya kasus KDRT, bahkan makin sadis terjadi dikarenakan masih diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler hari ini. Dalam sistem kapitalisme, kehidupan manusia berasaskan materi, karena agama dipisahkan dari kehidupan. Dengan begitu, masyarakat hidup dalam kebebasan tanpa batasan halal-haram, sehigga tidak mengherankan sering terjadi tindakan diluar nalar dan melanggar aturan. Sungguh karut marut sistem kapitalisme ini.
Pandangan Islam
Berbeda dengan itu, jika negara menerapkan sistem Islam, maka KDRT akan minim terjadi karena telah terbentuk ketakwaan ditengah-tengah masyarakat, mengingat diterapkannya hukum-hukum Allah Swt. Masyarakat melakukan tindakan berdasarkan standar halal-haram. Dengan begitu, tidak ada suami yang tega melakukan KDRT karena paham agama.
“Kaum laki-laki itu adalah pelindung bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisa: 34)
Dalam ayat tersebut, sangat jelas bahwa suami memiliki kewajiban untuk melindungi dan menafkahi istri, sedangkan istri memiliki kewajiban untuk taat dan menjaga diri. Jika istri menunjukkan sikap nusyuz atau durhaka, maka suami diperintahkan untuk menasehati, mengasingkan dan memukul dengan cara yang ringan dan tidak menyakiti. Jika istri kembali taat, maka suami tidak boleh mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Dalam hadis riwayat, Aisyah ra berkata,
“Tidak pernah Rasulullah SAW memukul seorang hamba atau seorang wanita, dan tidak pernah beliau memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali, kecuali ketika berjihad di jalan Allah. Dan tidak pernah beliau dizalimi oleh sesuatu lalu beliau membalasnya, kecuali jika dilanggar salah satu larangan Allah, maka beliau akan membalasnya karena Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung.”
Lantas pantaskah seseorang melakukan kekerasan hingga tega menyakiti bahkan membunuh dengan sadis? Jawabannya, sangat tidak pantas. Hal tersebut terjadi karena kurangnya keimanan dan rasa takut kepada Allah Swt. Jika semua di landaskan takut terhadap pencipta, maka tentunya hal-hal yang tidak diinginkan tidak akan terjadi.
Di sisi lain, mewujudkan kelompok masyarakat yang adil dan tenteram, dimulai dari bagaimana seseorang memilih pemimpin. Yang mana pemimpin yang baik tampak dari pola pikir (akliyah) dan pola sikap (nafsiyah), sehingga akan tercermin dalam kepribadian (syakhsiyah), yang akan menjadi kebiasaan hidup. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan sistem Islamlah, KDRT akan dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Semoga saja sistem Islam kembali tegak. Wallahu a’lam bishowab.