Menyambut Datangnya Bulan Ramadan di Masa Penerapan Islam

Oleh. Rika Rizana

Bulan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh kaum muslim telah datang. Bulan yang penuh keberkahan, rahmat, dan ampunan. Yaitu bulan Ramadhan. Salah satu tanda keimanan adalah seorang muslim bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan.

Berkata Amru ibn Qais rahimahullah, “Keberuntungan bagi seseorang yang memperbaiki dirinya sebelum datangnya Ramadan.” (lataiful Ma’arif,hlm 138).

Maka bagi seorang muslim, sudah seharusnya mempersiapkan datangnya bulan Ramadan sejak bulan Rajab, dilanjutkan di bulan Syakban. Sehingga, ketika datangnya bulan Ramadan kita sudah terbiasa dengan aktivitas-aktivitas tersebut bahkan mampu kita tingkatkan lagi di bulan Ramadan.

Persiapan yang harus kita lakukan adalah merutinkan membaca Al-Qur’an, salat malam, belajar ilmu agama, banyak berdoa, bertaubat, istighfar, membiasakan mengerjakan amal saleh. Semua aktivitas ini dimulai di bulan Syakban. Bulan Syakban pengantar bulan Ramadan. Kebiasaan di bulan Sya’ban akan menjadi kebiasaan di bulan Ramadan.

Abu Bakar Al-Balkhi berkata, “Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyiram, sedangkah Ramadan ibarat hujan.”

Namun, kewarasan kita diuji. Sebelum masuk bulan Ramadan, kita disuguhkan dengan kenaikan sejumlah bahan pokok, cabai, minyak goreng, gula, dll. Seakan-akan ini merupakan tradisi tiap tahun.

Terjadinya permainan harga pasar dalam mencari keuntungan oleh pengusaha tanpa memikirkan bagaimana kondisi masyarakat yang ada. Mereka seakan-akan bebas menetapkan harga sesuai kepentingan mereka sementara negara hanya sebagai regulator bukan sebagai pelayan rakyat. Tampak sekali yang berkuasa adalah yang punya uang.

Di sisi lain sebelum bulan Ramadan, telah dilakukan razia miras di sejumlah toko-toko kecil. Namun, mengapa di cafe, hotel berkelas lainnya hampir tidak pernah tersentuh razia miras tersebut? Razia miras hanya dilakukan pada tempat/warung kecil, sementara yang memproduksinya melenggang bebas pada saat menjelang Ramadan.

Pelarangan miras dan pembiaran produksi miras merupakan kebijakan kontradiktif. Bagaimana tidak, ternyata, produksi miras merupakan penyumbang kas negara 250 miliar. Maka tidak akan pernah tersentuh akar masalahnya yaitu produsen yang memproduksi miras selama itu dianggap memberikan manfaat yang besar bagi negara. Padahal jelas di dalam Islam, miras adalah produksi yang diharamkan. Tidak hanya bagi produsennya, juga bagi pengedar/penjual maupun yang mengonsumsinya.

Maka dalam sistem sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Selama miras itu bermanfaat dalam kacamata ekonomi kapitalis, yaitu menjadi penyumbang kas negara, walaupun dampak sosialnya besar di tengah masyarakat, produksinya tetap berlanjut.

Hal ini terjadi ketika negeri ini menerapkan sistem/aturan sekuler yang melahirkan perilaku liberal, serba bebas, tanpa aturan. Maka, para pengusaha bebas melenggang untuk meraih keuntungan yang mereka inginkan. Tanpa peduli dengan dampaknya di tengah masyarakat. Inilah yang kita rasakan setiap kali menjelang bulan Ramadhan, kekhusyukan kita terusik, alih-alih merasakan keberkahan, ketenangan, dan kenyamanan, menjalankan ibadah pun kurang nyaman.

Ramadan Berkah Hanya dengan Penerapn Islam Kaffah
Di masa kekhilafahan Islam, para khalifah/wali menyiapkan umat agar bisa menyambut Ramadan dengan kesadaran dan ilmu, mengisi Ramadan dengan amal berkualitas dan menyingkirkan semua yang berpotensi menghalangi.

Di masa Islam, aktivitas ekonomi di bulan Ramadan diberi kemudahan untuk meraih ketakwaan yaitu para pengusaha mengurangi beban kerja pegawainya tanpa mengurangi gaji, termasuk mengurangi jam kerja.

Negara menjamin ketersediaan pangan, sandang, dan papan, mengawasi pendistribusian sehingga pengusaha yang nakal, yang mencari keuntungan dengan merugikan masyarakat tidak terjadi. Sekalipun ada yang berusaha untuk mempermainkan harga dan memonopoli, menimbun bahan pokok, maka negara yang akan turun tangan dengan menstabilkan pendistribusiannya.

Seperti yang dilakukan Khalifah/Sultan Abdul Hamid II, ketika harga roti di permainkan harganya oleh para pengusaha, sehingga harganya melambung tinggi. Dengan kebijakannya, Sultan Abdul Hamid II, mampu menstabilkan harga roti yang merupakan makanan pokok masyarakat. Memproduksi roti dan mendistribusikan nya ke masyarakat dengan harga yang sesuai. Sehingga pengusaha roti yang ada mau tidak mau mengikuti kebijakan penguasa, kalau tidak, tidak akan ada yang membeli rotinya.

Pada bidang sosial, masyarakat memahami tentang menutup aurat, paham interaksi di antar manusia bukan untuk gosip atau yang tidak bermanfaat, justru rajin ke pengajian/majelis ilmu.

Di bidang politik, menjadi sistem pendukung teraihnya ketakwaan, di orientasikan untuk menolong agama Allah. Tidak mengkriminalisasikan ajaran Islam dan pengembannya. Para politisi berlomba-lomba untuk meraih rida dan pahalanya Allah. Bukan mencari muka atau pun pencitraan seperti dalam sistem demokrasi sekuler.

Kita bisa melihat sampai detik ini, bagaimana persiapan Ramadan di negeri-negeri muslim seperti di Indonesia tradisi menyambut Ramadhan. Hampir di setiap wilayah Indonesia, mengadakan pawai obor, tarhib ramadhan. Di mesir, masyarakatnya menyambut bulan Ramadhan dengan lentera/vanas yang dipasang di jalan-jalan dan rumah-rumah.

Bahkan ada tradisi membangunkan sahur dengan menembakkan meriam. Maka di Indonesia, dengan menggunakan kentongan/panci atau alat-alat dapur untuk membangunkan sahur, dan lain-lain.

Artinya, penyiapan diri menuju Ramadan disuasanakan oleh negara. Negara memastikan masyarakat tersuasana secara ruhiyahnya juga memastikan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Negara tidak membiarkan masyarakat tidak khusyuk ibadahnya.

Negara menjamin terdistribusinya kebutuhan masyarakat. Karena di dalam Islam, negara adalah pengurus dan pelayan umat. Wajarlah bila selama 13 abad ketika Islam diterapkan, sampai sekarang tradisi menyambut Ramadhan tersebut masih dilakukan oleh individu maupun masyarakat. Karena hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi masyarakat, ketika Islam kaffah dulu pernah diterapkan.

Bisa dipastikan selama bulan Ramadan, kekhusuyukan masyarakat menjalankan ibadah di bulan Ramadan untuk meraih sebenar-benarnya takwa bisa terealisasikan ketika negara menerapkan Islam secara kaffah. Keberkahan itu akan dapat diraih, tidak hanya individu dan masyarakat saja, tapi juga negara.

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi