Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Dikutip dari BBC News 25/1/2024, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap sebanyak 10 terduga teroris di wilayah Solo Raya, pada Kamis (25/01). Semua terduga disinyalir sebagai pendukung operasional JI. Demikian juga Densus 88 mengamankan seorang terduga teroris berinisial, S (45), warga Dukuh Dawung Rt: 03/11, Desa Godog, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Menurut Kadus 1 Desa Godog, Arif Senjo Kurniawan mengatakan, S ditangkap sekita pukul 05.30 WIB.(Detik.com, 25/1/2024). Beberapa penangkapan pun terjadi di wilayah lain.
Wacana terorisme kembali digoreng. Wajan demokrasi sekuler begitu radikal,menjadi wadah untuk memanaskan isue terkait terorisme yang diakui atau tidak dituduhkan pada Islam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan pada peristiwa penangkapan yang terjadi tiba-tiba serta disertai ketidak jelasan. Kesaksian yang ada terhadap orang yang tertangkap tidaklah menunjukkan keanehan selama bermasyarakat. Sosok baik lebih dikenal pada orang-orang tersebut.
Fakta Terorisme dan Arus Opini Publik
Dalam wajan demokrasi sekuler, isue terorisme digoreng berbumbu olahan opini yang mengaruskan bahwa, pelaku teror mayoritas terkait Islam. Dari ratusan tersangka terorisme yang diberitakan Republika.co.id 20/12/2023, bahwa sepanjang 2023 para tersangka merupakan anggota dari Jamaah Ansarut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), Negara Islam Indonesia (NII), Dan anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang nota bene adalah muslim. Opini umum di tengah masyarakat pun menjadi bias, bahwa pelaku terorisme selalu muslim.
Istilah terorisme yang populer sejak George W. Bush mengucapkannya pada 2001 saat peristiwa 9/11, menjadikan dunia pun dipolarisasi menjadi dua kutub, bersama AS atau bersama teroris. Dan semakin menjadi saat Bush menyampaikan tentang “poros kejahatan” sebuah ungkapan yang menjadi ciri khas dari kebijakan luar negeri pemerintahannya.
Sehingga tak bisa dipungkiri, arus pengopinian publik terkait terorisme sejalan dengan pernyataan Bush yang seakan-akan berkata, “Kalau tidak ingin disebut teroris, berpihaklah pada AS.” Walhasil keberpihakan kepada AS ditunjukkan oleh beberapa negara, bahkan Indonesia membentuk Densus 88 untuk menanggulangi berbagai teror yang terkait dengan wacana terorisme. Seiring sejalan, akhirnya pemerintah pun menguatkannya dengan adanya UU Terorisme yang terus diperbarui.
Sangat menyakitkan, pada saat pemboman habis-habisan AS terhadap Irak dan Afghanistan bertahun-tahun dengan alasan memberantas teroris dilakukan, saat Israel laknatullah terus menerus melakukan genosida, di mana korban berjatuhan secara tak manusiawi, hal ini tidak dikatakan sebagai terorisme. Namun, saat kejadian adanya pemboman yang nota bene tertuduhnya adalah muslim, hujatan bertubi-tubi disematkan dengan ujaran terorisme.
Terlebih lagi, bagi kaum muslim yang menolak ide-ide Barat, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, sekularisme, feminisme, dan lain-lain dianggap sebagai kaum muslim anti-Barat. Sikap kaum muslim seperti ini diopinikan sebagai gerakan terorisme. Mereka juga menuduh setiap pemikiran Islam yang menolak teori-teori Barat sebagai pemikiran radikal. Mereka mengeluarkan dalih pemikiran yang berbau radikal, iulah penyebab dari tindakan terorisme.
Demikianlah, arus opini publik berhasil diarahkan untuk menjadikan terorisme sebagai bagian yang mampu terlahirkan dari ajaran Islam. Seluruh paparan terkait terorisme jelas-jelas menyudutkan Islam. Dan Barat telah mengerucutkan isue terorisme berhulu dari Islam. Permusuhannya terhadap Islam sangat nyata. Tuduhan yang sangat menyakitkan kaum muslimin yang mencintai Islam sebagai Din-nya. Demokrasi sekuler radikal berhasil melapangkan jalan terkait tuduhan tersebut.
Islam Tak Membenarkan Terorisme
Nabi Muhammad bersabda:
“Seorang wanita dihukum karena dia memenjarakan seekor kucing sampai mati. Karena ini, dia ditakdirkan ke neraka. Saat dia memenjarakannya, dia tidak memberi kucing makanan atau minuman, juga tidak membebaskannya untuk makan,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari satu hadits ini saja kita bisa melihat, bahwa terorisme sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak asasi manusia sampai pada tingkat penghilangan nyawa, sangatlah tidak mungkin diajarkan Islam. Terhadap hewan saja rasa kasih sayang diajarkan, apalagi pada sesama manusia. Jadi, mustahil, perbuatan kontradiktif bisa disandingkan bersamaan.
Terorisme yang identik dengan kekerasan, membahayakan orang lain, menghilangkan nyawa orang tanpa alasan yang dibenarkan syara’, sampai menebar ketakutan yang luar biasa, keseluruhannya sangat melanggar hukum syara dan Islam mengharamkannya.
Sungguh, Islam mewajibkan seorang pemimpin muslim (khalifah) untuk memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya tidak terkecuali keamanan. Dia wajib menjaga seluruh rakyatnya agar merasa aman, tenteram dan damai, aturan dan sanksi yang melindungi seluruh warga negara akan dibuat berlandaskan Islam secara paripurna, termasuk perbuatan terkategori terorisme.
Wallaahu a’lam bis ash-shawaab.