Mengemis Investasi

Oleh Rianny Puspitasari
(Penulis dan Pendidik)

Dalam tata hidup saat ini, investasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perekonomian. Mulai dari usaha rumah tangga, pemerintah daerah hingga negara. Hal tersebut dinilai sebagai mekanisme perputaran uang, di mana investor menanam modal untuk mendapatkan passive income, sementara pengusaha mendapatkan dana segar untuk menjalankan bisnis dan mengembangkannya.

Baru-baru ini, Kabupaten Bandung sudah menyelesaikan pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bahkan menjadi yang pertama dari jumlah 514 kabupaten atau kota se-Indonesia.
Bupati Dadang Supriatna menuturkan bahwa, dengan adanya kejelasan tentang masalah RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) maka kenyamanan dan keamanan untuk investasi menjadi terjamin.

Oleh karena itu, ia mengajak para investor untuk berinvestasi seluas-luasnya di Kabupaten Bandung. (dejurnal.com, 20/12/23). RDTR adalah rencana rinci tata ruang. Fungsinya untuk menentukan kesesuaian dokumen perencanaan umum dengan implementasi di lapangan. Keberadaanya merupakan dasar acuan diterbitkannya dokumen perizinan terkait bangunan.

Adapun yang berkaitan dengan regulasi di Kabupaten Bandung, termaktub dalam bentuk Peraturan Bupati. Ini merupakan bentuk harmonisasi antara kebutuhan pembangunan atau percepatan pertumbuhan investasi dengan konservasi lingkungan.

Mendalami kebijakan tersebut, kita harus jeli dalam melihat lebih jauh akan persoalan ini. Karena, investasi yang terjadi sesungguhnya menjadi kedok dalam penjajahan ekonomi. Saat investor menanamkan modal, tidak jarang mensyaratkan dan ketentuan berlaku yang harus diikuti oleh pemerintah selaku pihak penerima.

Sering kita dapati, berbagai kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung berpihak pada pemilik modal dibandingkan pada masyarakat. Bahkan tidak sedikit aturan yang secara nyata merugikan rakyat, tapi tetap disahkan demi mulusnya kepentingan sang pemberi cuan.

Di sisi lain, investasi umumnya berjalan dalam kondisi bisnis mencari keuntungan. Sangat ironis jika pemerintah, baik daerah maupun pusat menjadikannya sebagai upaya dalam rangka penerapan pengaturan urusan umat. Karena justru yang terjadi adalah, pelayanan terhadap masyarakat senantiasa diukur dengan perhitungan untung-rugi. Ini adalah ciri khas sistem hidup kapitalisme. Di mana manfaat dinilai sebagai poros dari berbagai hal, dan keuntungan materi menjadi tujuannya. Sehingga hubungan yang terbangun antara individu, rakyat dengan negara, juga berlandaskan pada pandangan tersebut.

Investasi ala kapitalisme seringnya hanya menguntungkan pemilik modal dan penguasa. Sedangkan rakyat selalu menjadi korban. Negara nampak lebih condong berpihak pada investor, mereka tidak segan mengubah atau membuat regulasi untuk memuluskan jalan penanaman modal. Wacana trickle down effect (tetesan ke bawah) melalui pembukaan lapangan pekerjaan, nyatanya tidak signifikan. Tetap saja jumlah pengangguran di negeri ini sangat tinggi. Bahkan ironisnya, justru serbuan WNA (warga negara asing) yang datang berbondong-bondong menjadi pekerja.

Lain halnya dengan Islam, investasi memang diperbolehkan dan akan didorong sebagai upaya mengembangkan harta. Namun kegiatannya harus terikat dengan syariat. Pemimpin rakyat harus memastikan bahwa pelaku bisnis memahami benar ilmu ekonomi agar terhindar dari keharaman.

Permodalannyapun harus berasal dari harta yang halal, dan pengelompokan sektor yang boleh dimasuki oleh para investor juga harus tegas, mana yang boleh dan tidak. Misalnya, barang tambang yang depositnya melimpah, fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat secara luas, dan objek yang secara alami mencegah swasta untuk menguasainya, seperti sungai, laut, selat dan sebagainya. Semua ini adalah sektor yang tidak boleh ada investasi swasta di dalamnya.

Sumber dana pembangunan tidak bergantung pada penanaman modal para investor, apalagi mengandung riba, namun berasal dari pengelolaan sumber daya alam, kharaj, jizyah, harta milik negara, zakat, dan lain-lain. Sehingga penguasa tidak akan bergantung dan mengemis investasi dari pihak pengusaha. Hal ini akan menghilangkan penjajahan ekonomi dan disetirnya penguasa dibawah ketiak pemilik modal.

Selain itu, hubungan penguasa dan rakyat dalam Islam dibangun dengan landasan aqidah. Mereka adalah pelayan dan pelindung umat sebagaimana sabda nabi saw.:

“Imam/khalifah itu laksana gembala dan ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari pemahaman inilah, maka penguasa akan menjadikan rakyat sebagai prioritas utama sebagai bentuk tanggung jawab dari amanah yang dipikulnya. Adalah dosa besar jika rakyat hanya dijadikan sebagai komsumen, sementara pemimpinnya mendudukan diri sebagai produsen, atau penguasa sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli.

Dalam sistem Islam tidak akan terjadi hubungan saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa (oligarki) sementara rakyat hidup kesulitan. Islam tidak mendasarkan kepengurusan rakyat atas dasar untung rugi. Penguasa berkedudukan sebagai pengurus rakyat.

Kekayaan alam dinikmati rakyat, akan terlaksana sempurna di bawah naungan institusi yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Tidak akan pernah terjadi mengemis investasi kepada siapapun.

Wallahu ‘alam bis ash-shawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi