Mengejar Prestasi Wisata Halal, padahal SDA Melimpah: Barking Up the Wrong Tree

Oleh. Fatmawati

Sebagian rakyat Indonesia sedang berbahagia dan mungkin berbangga dengan capaian berupa predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura (katadata.co.id, 3/6/2023). Direktur Industri Produk Halal KNEKS, Afdhal Aliasar menyampaikan bahwa ini merupakan capaian atas kerja keras Indonesia bangkit pascapandemi (visual.republika.co.id, 2/6/2023).

Pengambangan wisata halal saat ini menjadi prioritas dalam program kerja Kementerian dan Pariwisata Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dengan adanya permintaan khusus dari Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, dalam upaya pengembangannya (kemenparekraf.go.id, 14/08/2021). Ada tujuh destinasi wisata halal Indonesia yaitu Lombok, Aceh, Riau, DKI Jakarta, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan DIY (cnnindonesia.com, 22/01/2023).

Upaya optmalisasi program ini bahkan dilakukan oleh banyak pihak dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Sebuah publikasi penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Ekonomi dan Ekonomi Syariah menyumbangkan sebuah ide pemanfaatan skema wakaf produktif untuk mengembangkan wisata halal (Arijudin dkk, 2023).

Selain itu, sebuah tesis yang ditulis oleh Akbar (2022) berupya menganalisis prospek dan penerapan strategi pariwisata halal pada mayoritas masyarakat nonmuslim di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Berbagai artikel ilmiah serupa cukup banyak dapat dijumpai di berbagai jurnal ilmiah di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa besar kontribusi pemikiran para akademisi tentang pengembangan program wasata halal ini.

Dana yang dikucurkan oleh pemerintah di berbagai level juga tidak main-main. Meskipun tidak dikhususkan untuk pembangunan pariwisata halal, pemerintah Republik Indonesia mengalokasikan dana untuk pengembangan destinasi wisata dan ekonomi kreatif sebesar 9,3 triliun untuk anggaran tahun 2022 (liputan6.com, 27/09/2021). Pemerintah Kabupaten Pasuruan mengalokasikan dana lebih dari 5 miliar untuk menjadikan Pemandian Alam Banyubiru sebagai Wisata Halal (pasuruankab.co.id, 30/12/2020).

Fakta-fakta ini menunjukkan kepada masyarakat betapa besar peran pemerintah dalam menggerakkan masyarakat dan menciptakan suasana semangat membangun di tengah-tengah masayarakat. Penyuasanaan inilah yang disebut dengan sistem. Berbagai kebijakan yang diterbitkan, sokongan dana, dan seterusnya.

Dengan sistem yang terbangun ini, berbagai lini masyarakat akan secara “otomatis” bergerak sesuai arahan dengan upaya dalam bentuk apapun demi tercapainya output program. Begitu besar energi yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mencapai tujuan ini yang standar pencapaiannya jelas bukan syariat Islam yang Allah tetapkan, tetapi ditetapkan oleh lembaga tertentu dengan kriteria yang mereka buat. Program pengembangan wisata halal ini dipersuasikan sebagai upaya untuk memperbaiki perekonomian negara dengan mendapatkan pemasukan negara dari sektor pariwisata.

Permasalahannya tidak hanya di situ, namun juga pada fokus pemerintah yang salah. Bagaimana tidak, sumber daya yang begitu banyak dialokasikan untuk membangun sektor yang belum tentu memberikan dampak yang baik bagi masyarakat dengan mengabaikan sektor pengelolaan SDA yang jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian negara.

Sebagaimana telah diketahui oleh banyak pihak bahwa pembangunan sebuah destinasi wisata pasti juga mengharuskan pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas pendukung seperti penginapan, pertokoan, dan seterusnya. Penginapan yang bagus dan nyaman, infrastruktur jalan yang memadai, dan berbagai fasilitas pendukung lain yang memerlukan modal besar ini tidak mungkin untuk disediakan oleh masyarakat dengan modal yang kecil. Maka, tentu saja stakeholder dari berbagai perusahaan besar akan masuk dan berinvestasi.

Dari sini, kita sudah bisa menebak siapa yang jauh akan lebih banyak mendapatkan keuntungan. Belum lagi, dampak buruk yang menjadi ikutan pembangunan sebuah destinasi wisata. Kerusakan lingkungan sudah hampir bisa dipastikan akan terjadi. Penumpukan sampah tidak bisa dielakkan karena peningkatan kebutuhan logistik wisatawan. Pembukaan lahan untuk berbagai fasilitis pendukung, lahan parkir misalnya, juga tidak mungkin terelakkan, pasti ada lahan “hijau” yang harus dikorbankan. Dampak-dampak ikutan ini sering tidak diperhatikan dengan serius dalam pembahasan pengembangan destinasi wisata.

Sudahlah banyak dampak yang akan merugikan masyarakat, kebijakan pemerintah untuk fokus mengembangkan wisata halal ini seakan sengaja mengubah fokus masyarakat tentang fakta bahwa ada sumber daya yang nilainya jauh lebih besar dan jelas dapat menyokong perekonomian negara, sumber daya alam. Indonesia terkenal dengan sumberdaya alamnya yang sangat melimpah. Luas hutan di Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia, begitu pula dengan batu bara. Gas alam Indonesia adalah yang terbesar di dunia.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emas terbesar sembilan dunia. Masih banyak lagi sumber daya alam Indonesia yang menduduki peringkat terbesar dunia. Pertayaannya, jika ada sumber daya alam yang jauh lebih menjanjikan dan mampu menyediakan berbagai fasilitas terbaik bagi kehidupan masyarakat, lantas kenapa tidak sektor ini saja yang dikelola dan dioptimalkan? Kenapa pemerintah malah memilih sektor yang “kecil” dan tidak cukup bisa menyokong perekonomian makro ini? Bukankah ini sangat aneh?

Berbagai sumber daya alam di Indonesia justru dikelola oleh swasta atau asing. Tambang tembaga dan emas yang ada di Papua, yang sangat besar dan vital bagi masyaarakat, malah diserahkan pengelolaannya kepada asing. Demikian pula dengan pengelolaan minyak bumi. Saham Pertamina justru semakin berkurang dalam pengelolaan minyak bumi di Indonesia, dan banyak lagi.

Jelas saja perekonomian negara ini semakin terpuruk karena sumber daya alam vital justru pengelolaannya bukan oleh negara. Islam memiliki sistem perekonomian yang sangat khas dan teruji ketangguhannya dalam mewujudkan perekonomian negara. Penerapan sistem ekonomi Islam mengatur kepemilikan SDA sebagai milik umum, bahkan negara hanya bertugas sebagai pengelola yang hasilnya akan diserahkan kepada masyarakat sebagai pemiliknya dengan gratis, ataupun hanya membayar sedikit biaya pengelolaannya.

Sistem perekonomian Islam tentu saja tidak bisa diterapkan kecuali dalam sistem Islam. Sehingga, jika pemerintah dam masyarakat benar-benar menginginkan perekonomian negara yang tangguh, harus fair mendudukan permasalahan ini dan melihat secara holistik seluruh aspek yang mendukung maupun mengancam pencapaiannya. Kesalahan dalam menganalisis akar permasalahan hanya akan menimbulkan kesalahan pada formulasi solusi, membuang waktu dan tenaga, atau bahkan membahayakan masyarakat.

Allah telah memberikan panduan yang jelas dalam pengaturan seluruh aspek dalam kehidupan manusia, termasuk sistem ekonomi. Islamisasi secara parsial kehidupan manusia bermakna pengingkaran terhadap hukum syara’ pada aspek lain yang Allah juga wajibkan penerapannnya. Sebagaimana Rasulullah Muhammad dan para sahabat beliau telah mengajarkan kepada umat manusia bagaimana menerapkan sistem Islam yang sempurna di masa lalu dalam bingkai Khilafah yang erbukti sangat tangguh menjamin kesejahteraan masyarakat, maka hendaknya kita kembali lagi kepada ajaran Islam yang sempurna ini juga secara menyeluruh dengan tujuan meraih ridha Allah, bukan semata-mata tujuan dunia.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi