Mengapa Sejarah?

Oleh. Nunik Umma Fayha

Sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu nampak tidak menarik dan membosankan. Deretan tahun dan urutan kejadian hanya menarik sedikit orang. Tapi ternyata, bila kita cermati, sejarah ternyata berperan penting dalam pembentukan peradaban, pembentukan sebuah negara.

Baru membaca Kata Pengantar buku Api Kemerdekaan jilid I tulisan Ahmad Mansur Suryanegara saja sudah merasa tertampar. Di situ, disampaikan apa yang dikatakan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi yang mengingatkan para Ulama yang abai pada Sejarah, terlebih pada Sejarah sebagai tulisan. Disebutkan bahwa para ulama hanya menangkap Abu Sejarah, bukan Apinya. Karenanya, ulama tidak tertarik menjadi pejabat pemerintahan dan berakibat dipinggirkannya mereka dalam pembuatan kebijakan negara.

Umat Islam saat ini, seperti tamu di negeri sendiri. Tidak hanya dipinggirkan, bahkan dihilangkan atau minimal disamarkan perannya dalam sejarah. Sejarah Indonesia mengalami deislamisasi sejak dari buku pelajaran sekolah tingkat dasar. Sejarah nasional kalaupun menuliskan tokoh muslim, tidak penah mengaitkan perjuangannya dengan Islam. Seperti perjuangan Pangeran Diponegoro. Lebih parah, malah ada yang ditutupi keislamannya seperti Pattimura. Dalam buku berjudul “Mengenal Pahlawan Indonesia” (2010) karya Arya Ajisaka, Pattimura disebut memiliki nama asli Thomas Matulessy. Lahir di Saparua (Maluku) pada 8 Juni 1783. Pattimura ini keturunan bangsawan dari Raja Sahulau, yakni sebuah kerajaan di Teluk Seram Selatan (suara.com, 12/8/2021).

Kenapa penulisan sejarah bisa berbeda? Menurut Taufik Abdullah, sejarah bukan untuk dihafal oleh generasi selanjutnya. Sejarah menyangkut kearifan. “Maka harus belajar sejarah. Supaya tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi tahu juga kenapa itu terjadi,” ujarnya (cnnindonesia.com).

Ustadz Ismail Yusanto juga pernah menegaskan tentang penulisan sejarah. Pria yang sering dijuluki UIY ini menyampaikan, sejarah ‘mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tetapi digging up the truth (mengungkap kebenaran).’ Beliau juga menyatakan bahwa sejarah tidaklah selalu netral.

“Sejarah adalah realitas tangan kedua (second hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis,” paparnya (mediaumat.id)

Seperti halnya terkait peristiwa PKI 1965 ada tuntutan penulisan ulang sejarahnya. Pengamat Politik dan Keamanan, Kusnanto Anggoro menyatakan di nasional.kompas.com, ada 3 hal yang bisa dilakukan untuk rekonsiliasi Tragedi 1965. Salah satu yang disampaikannya yaitu penulisan ulang sejarah.

Berbagai fakta ini menunjukkan pentingnya penulisan sejarah dan kejujuran dalam penulisannya. Mengapa sejarah umat Islam saat ini banyak tertutupi, banyak terdistorsi sebagaimana dalam penulisan sejarah Indonesia. Karena umat tidak sadar pentingnya mencatat, tidak paham pentingnya menulis. Bahkan membaca pun adalah kegiatan yang justru banyak dihindari. Entah lupa atau tidak paham kenapa Allah memerintahkan membaca pada saat pertama menurunkan wahyu pada Rasulullah. Sebab, membaca adalah aktivitas yang membuat kita berpikir. Membaca tulisan, membaca fakta, semua membuat kita berpikir.

Apa yang terjadi pada umat hingga melupakan perintah pertama dari Allah yaitu membaca. Bahwa implikasi dari membaca sungguh luas. Membaca membuat kita berpikir. Membaca membuat kita bergerak, membaca medorong kita melakukan sesuatu. Tahukah bahwa Indonesia termasuk nomor satu dunia dalam kemampuan membaca pada usia SD ke bawah. Tapi, begitu menginjak usia SD, SMP, posisi kemampuan membaca siswa di Indonesia merosot jauh bahkan di bawah ranking Vietnam.

Kenapa bisa begitu? Menurut Abah Ihsan, salah satu ekspert di bidang parenting, kita dikejar keinginan agar anak bisa cepat membaca, bukan suka membaca. Anak yang belum masanya bisa membaca didorong untuk bisa baca dan akhirnya malah benci membaca. Akibatnya membaca menjadi aktivitas yang tidak populer

Akibat rendahnya kemampuan membaca berdampak pada budaya menulis. Lebih spesifiknya menulis sejarah. Sehingga, ketika sejarah ditulis bukan oleh umat muslim, maka yang tercatat disesuaikan penulis dan masa atau rezim di belakangnya. Mungkin kita pernah mendengar bahwa sejarah ditulis oleh pemenang. Kita tahu sejarah dunia sangat Eropa sentris. Mereka membagi masa dengan memasukkan masa Kegelapan, ‘The Dark Ages.’ Mereka tidak mau mengakui bahwa masa itu adalah masa kejayaan, masa kecemerlangan Islam, khususnya di Andalusia, pusat peradaban Eropa masa itu. Bahkan dalam berbagai penemuan yang tercatat, mereka menyembunyikan peran umat slam sebagai pencetus bahkan penemu sebelum Barat mencatatkannya.

Kondisi yang sedemikian terpuruk pada generasi muslim membutuhkan upaya keras agar umat tidak lagi ‘dikadali’ sejarahnya. Umat harus mulai membekali diri dengan membaca. Mengamalkan ayat pertama yang Allah turunkan pada Rasulullah. Karena membaca inliah yang mengentaskan umat dari kejahiliyahan menjadi bangsa cemerlang

Wallahu a’lam.

Lereng Lawu, Medio Syaban 1444H

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi