Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)
Kunjungan pemimpin tertinggi Vatikan ke Indonesia memang sudah selesai. Akan tetapi, masih menyisakan sejumlah tanya bagi sebagian masyarakat, khususnya umat Islam yang peka terhadap kondisi umat. Kedatangannya yang disambut dengan lantunan surah Al-Baqarah ayat 62 dan surah Al-Hujurat ayat 13 yang dianggap sebagai simbol toleransi, telah menimbulkan keresahan di hati. Pasalnya, sikap seperti ini tidak pernah ada sepanjang sejarah kepemimpinan Nabi Shalallahu alaihi wasallam.
Bukan hanya itu, Imam Besar Istiqlal K.H. Nasaruddin Umar mencium kening Paus Fransiskus sebagai tanda kasih sayang dan menunjukkan sikap saling toleransi (liputan6.com, 6/9/2024). Bahkan, ada yang menilai, Paus adalah sosok pemimpin yang patut diteladani.
Sementara dunia pun tahu bahwa Paus telah memberi izin Gereja Katolik untuk melakukan pemberkatan terhadap pasangan sesama jenis, pada Senin (19-12-2023), padahal agama (Islam) jelas mengharamkan perilaku menyimpang tersebut. Lantas, bagaimana mungkin sosok yang jelas-jelas menentang syariat Islam, bisa dijadikan panutan?
Pluralitas, Yes! Pluralisme, No!
Sebagian kalangan beranggapan bahwa semua agama sama dan itu merupakan kehendak Allah Swt. Oleh karenanya, mereka pun melakukan dialog antar umat beragama dan memosisikan Islam sama dengan agama lain. Kedangkalan berpikir dan sifat jahil manusia ikut membangun sebuah narasi bahwa pluralisme memiliki napas yang sama dengan semangat ajaran Islam, yakni memuliakan, menghargai, dan menghormati manusia tanpa membedakan latar belakangnya. Sungguh, cara berpikir seperti ini telah menyesatkan umat. Pasalnya, Islam hanya mengakui keberagaman (pluralitas), tetapi tidak pernah mengakui adanya pluralisme.
Pluralitas bermakna keberagaman di dalam masyarakat, baik suku, bahasa, bangsa, agama, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, wajar jika pluralitas disebut sebagai sunnatullah, sebagaimana Allah Taala tegaskan dalam surah Ar-Rum ayat 20,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Sementara pluralisme adalah konsep pemikiran dalam memahami fakta keberagaman manusia. Paham ini muncul pada abad ke-18 dengan komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman (pluralisme). Ada banyak jenis pluralisme, di antaranya adalah pluralisme budaya. Paham ini mengajarkan hidup bersama dengan saling toleransi terhadap budaya lain. Pluralisme sosial, menerima keberagaman dengan sikap saling menghormati dalam interaksi sosial antar individu atau kelompok pada sebuah tatanan sosial.
Paham ini melahirkan masyarakat yang cuek dengan lingkungan sekitar. Dengan alasan menghargai dan menghormati perbedaan, berbagai kemaksiatan, kemusyrikan, dan kejahatan merajalela di tengah masyarakat. Prinsip ‘yang penting saya jadi orang baik’, urusan orang lain biarlah menjadi tanggung jawabnya membuat individu tidak peduli dengan lingkungannya.
Pemahaman ini jelas berbahaya. Betapa banyak kerusakan yang terjadi di tengah masyarakat akibat sikap masa bodo terhadap lingkungan sekitar. Sementara manusia punya kewajiban untuk saling menasihati antarsesama. Ada pula pluralisme agama. Paham ini menganggap sama semua agama dan keyakinan karena memandang bahwa kebenaran agama adalah relatif. Setiap umat beragama tidak boleh pula mengeklaim bahwa keyakinannya yang paling benar.
Dari fakta ini, terlihat bahwa pluralisme bukan lahir dari Islam, melainkan dari paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika agama tidak lagi mengatur kehidupan, berbagai paham akan bermunculan dan mencari pembenaran untuk setiap ide yang mereka luncurkan agar bisa diterima oleh semua kalangan. Mirisnya, ulama yang sepatutnya menjadi rujukan umat, sebagian dari mereka tidak lagi berpikir sesuai tuntunan Islam. Mereka dengan santai duduk dan bermanis muka dengan orang-orang kafir. Menjadikan para pemimpin kafir tersebut sebagai teman baik, seolah lupa dengan peringatan Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Pluralisme Bertentangan dengan Islam
Pernyataan yang menganggap sama semua agama adalah keliru, bahkan berbahaya, sebab Allah Swt. telah menjelaskan, “Sesungguhnya agama yang diridai di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah Swt. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun yang mengaku beriman untuk menetang ayat ini. Sementara itu, surah Al-Hujurat ayat 13 yang anggap sebagai dalil tentang pluralisme, sejatinya mengabarkan tentang pluralitas, yakni mengakui keberagaman manusia.
“Hai, manusia. Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”
Bahkan, ide pluralisme juga tertolak jika merujuk ke ayat di atas karena yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah orang yang paling bertakwa. Sementara makna takwa adalah menyembah Allah dan tetap dalam iman Islam, sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 102,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Dari ayat ini, jelas bahwa sekalipun manusia itu beragam, mereka diseru untuk menyembah Allah semata, bukan Tuhan-Tuhan lainnya. Manusia juga diseru untuk mati dalam keadaan muslim. Sudah saatnya umat sadar dan membuang pemikiran kufur yang merusak, termasuk pluralisme dan kembali kepada ajaran Islam kafah, mengkaji dan menerapkan seluruh hukum-hukum-Nya di dalam kehidupan. Wallahu a’lam.