Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)
Duhai, Palestina merupakan salah satu wilayah yang disebut-sebut sebagai jantung peradaban Islam. Sejatinya, Palestina merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Khilafah Islam, lebih tepatnya sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Namun kini, krisis dan pembanraian makin akrab dengan Palestina. Palestina masih membara hingga saat ini. Lembaran waktu terus berganti. Namun, penderitaan demi penderitaan di Palestina belum jua pergi. Betapa banyak korban jiwa yang wafat atas serangan brutal Zionis Yahudi tiga bulan terakhir ini. Kaum muslim di sana harus siap sedia menerima serangan mematikan dari penjajahan Zionis Yahudi.
Palestina sedang dalam posisi yang sangat bahaya. Memang bukan saat ini saja, sejak runtuhnya Khilafah Utsmani, Palestina harus berhadapan dengan penjajahan yang sangat berbahaya. Nahasnya, hingga saat ini negeri-negeri muslim sepertinya terus diam seribu bahasa. Kecaman dan ancaman seakan berlalu tiada artinya. Palestina masih membara.
Resolusi PBB di akhir Oktober lalu juga tak berbuah perdamaian. Nyatanya, resolusi itu justru dijawab dengan gempuran brutal Zionis Yahudi hingga mengantar kaum muslim pada kematian. Tak cukup kaum muslim dan penduduk Palestina pada umumnya, Zionis Yahudi terus melakukan serangan brutal ke pumikman padat penduduk ataupun fasilitas umum demi merealisasikan tujuan. Misi penjajah terus dikorbankan untuk merampas Palestina dan mengukuhkan kekuasaan.
Penyebab Penjajahan di Palestina
Panjangnya nyawa penjajahan di Palestina tentu bukan semata faktor qodho dari Allah semata. Apa yang menimpa Palestina tidak lepas dari cara pandang ideologi dunia terhadap negeri muslim, dalam hal ini adalah ideologi kapitalisme. Bagaimana ambisi kapitalisme untuk menguasai dunia tergambar dari penjajahan Zionis Yahudi di Palestina. Adikuasa sang pengemban ideologi kapitalisme turut memberikan uluran tangan pada Zionis Yahudi dan itu dilakukan secara terang-terangan.
Penjajahan atas Palestina merupakan sebagian petaka yang menimpa kaum muslim. Apalagi setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, sekat nasionalisme dan penjajahan menguar di tengah kehidupan dan merampas ruang hidup kaum muslim secara umum, wabil khusus di Palestina. Konstelasi perpolitikan di Timur Tengah juga berjalan sesuai cara pandang adikuasa dalam menguasai dunia.
Muslim Palestina menghadapi kekejaman dan kebrutalan entitas Yahudi selama puluhan tahun sendirian. Pintu penjajahan fisik di Timur Tengah sudah menjadi rahasia umum, termasuk di Palestina. Masuknya Zionis Yahudi hingga berani mendirikan sebuah negara dan menghapus Palestina dari peta dunia tentu bukan tanpa aba-aba. Seorang muslim harus memahami apa yang menyebabkan Palestina berada dalam serpihan penjajahan yang tiada hentinya.
Krisis Palestina sejatinya sudah mulai merebak di kancah internasional sejak era kekhilafahan, tepatnya Khilafah Utsmaniah. Kala itu, Khilafah mulai melemah dan terpecah karena konspirasi Barat dalam meruntuhkannya, PAN Arabisme dan PAN Turkisme salah saenjatanya. Nasionalisme mulai berembus di tengah kehidupan kaum muslim. Imperialisme Barat memamerkan kesadisannya, mereka merampas secara paksa Palestina dari kaum muslim dengan membabi buta. Israel yang hingga saat ini membombardir Palestina adalah negara bentukan Barat, buah dari Perjanjian Balfour yang dikepalai Inggris.
Sejarah mencatat, para pemuka Yahudi dengan dibantu oleh Inggris, berupaya dengan sangat keras untuk mewujudkan suatu wilayah sebagai tempat bermukim bagi kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1916, Inggris menetapkan Perjanjian Balfour. Isi perjanjian tersebut adalah sebuah janji dari Inggris kepada kaum Yahudi untuk bisa menduduki Palestina dan mendirikan negara di sana. Rencana itu kian mulus tatkala Khilafah Islamiah runtuh pasca-PD I.
Inggris sebagai pemenang dari Perang Dunia Pertama makin sadis dalam merampas negeri-negeri muslim di Timur Tengah dan mencengkeramnya dengan zalim. Buah busuk dari kemenangan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I adalah berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang merupakan cikal bakal lahirnya PBB. Mantra kapitalisme kian kencang berembus dengan adanya LBB ini.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitab “Mafahim Siyasi,” bahwasanya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini menyusun mandat bagi Dunia Arab yang dikuasai oleh Inggris atau Prancis. Dengan sistem mandat inilah, Inggris dan Prancis mendapatkan kontrol di Timur Tengah hingga berakhirnya Perang Dunia II yang melahirkan negara adidaya baru, yakni Amerika Serikat.
Pasca-PD II, PBB memutuskan pembagian daerah Palestina melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dengan nomor 181 (29/10/1947). Sebagaimana dilansir Britanica.com, Proposal untuk membagi Palestina, berdasarkan versi modifikasi dari laporan mayoritas UNSCOP, diajukan ke Majelis Umum pada tanggal 29 November 1947. Nasib proposal tersebut pada awalnya tidak pasti, namun, setelah periode lobi yang intens oleh para pro- Kelompok dan individu Yahudi, resolusi tersebut disahkan dengan 33 suara mendukung, 13 menentang, dan 10 abstain.
Resolusi tersebut menjadikan penderitaan muslim Palestina kian menganga lebar dan penjajahan Zionis Yahudi kian brutal. Dengan resolusi 181 itu, Palestina dibagi menjadi dua kawasan antara penduduk asli dan para pendatang yang merampas dan menjajahnya, yakni kaum Yahudi. Maka, jatuhlah Palestina dalam cengkeraman Zionis Yahudi.
Pengaruh Mantra Kapitalisme dalam Kehidupan Muslim Palestina
Mantra kapitalisme menjadikan sang adidaya bermain peran dengan menerapkan standar ganda. Nyatanya, bukan hanya negeri muslim yang diam seribu bahasa. Negara pencetus dan penjujung tinggi HAM pun seakan terpaku dan mendadak bisu dengan keadaan Palestina yang penuh derita. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi. Dia mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB tidak mampu menghentikan genosida yang berlangsung di Gaza. Dia juga menyoroti perihal standar ganda sejumlah negara di dunia terhadap masalah Palestina.
Hal itu disampaikan Retno dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Senin (8/1/2024). Terutama, kata Retno, negara-negara maju di belahan bumi utara atau The Global North. Dengan lantang, Retno menuturkan bahwa sejumlah negara The Global North mendadak diam menyaksikan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Padahal masalah hak asasi manusia (HAM) kerap disuarakan oleh negara-negara tersebut (detik.com, 8/1/2024).
Dengan demikian, jelas mantra kapitalisme membuat banyak percikan di Palestina. Keberadaan Zionis Yahudi sendiri mengantongi restu dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat sebagai adidaya. Bertenggernya Yahudi dengan membentuk sebuah negara di Palestina merupakan mantra kapitalisme dalam memperpanjang hegemoni penjajahan di kawasan Timur Tengah.
Di samping itu, mantra kapitalisme juga sukses membuat sekat nasionalisme yang telah menyatu dalam jiwa kaum muslim. Sehingga adanya mantra kapitalisme memiliki pengaruh mengenaskan bagi kaum muslim Palestina dan juga eksistensi Tanah Suci yang diberkahi. Betapa tidak, kini kaum muslim Palestina hidup dalam bayang-bayang kekejaman dan kematian. Sementara penguasa muslim terlalu sibuk dengan urusan negaranya masing-masing. Kepedulian datang bukan pengiriman tentara, tetapi sebatas kecaman, kutukan, ataupun ancaman semata untuk penjajah Zionis Yahudi. Hal itu terus saja dilakukan, tetapi kenyataannya Palestina tetap berada di bawah bayang-bayang penjajahan.
Pengaruh mengerikan lainnya selain hilangnya puluhan ribu nyawa dan hancurnya sejumlah kota di Palestina adalah makin sempitnya tanah Palestina yang bisa diakses kaum muslim. Sejak 1948, wilayah Palestina kian sempit akibat penjajahan. Sejatinya, PBB ataupun organisasi semisal tahu akan bahaya keberadaan Zionis Yahudi di Palestina. Namun apa mau di kata, organisasi-organisasi tersebut bentukan negara Barat yang merestui keberadaan Israel di Palestina. Sehingga hal itu memengaruhi kedaulatan dan kemerdekaan Palestina tersendera dengan atas restu dunia. Mantra kapitalisme ini jelas menampakkan kebencian pada Islam dan kaum muslim. Ideologi kapitalisme begitu berambisi untuk menghilangkan Islam dari muka bumi, terutama Palestina yang dijadikan barometer kesuksesan mereka. Kaum muslim telah diperingatkan oleh Allah sejak Al-Qur’an diwahyukan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ali Imran ayat 118, “Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.”
Upaya Membebaskan Palestina dan Mewujudkan Kebangkitan Islam
Selama ini, Palestina berjuang sendiri. Milisi-milisi ataupun kelompok intifadah melakukan perlawanan untuk mengusir eksistensi Israel dari Tanah Suci yang diberkahi. Mantra kapitalisme jelas biang kerok masalah dunia, wabil khusus di Palestina. Oleh karena itu, Palestina membutuhkan ideologi yang baik sebagai tandingan ideologi kapitalisme. Ideologi yang baik tentu berasal dari Zat Yang Maha Baik, yakni Islam.
Tinta emas sejarah membuktikan betapa Islam yang ditegakkan oleh negara (Khilafah) membuahkan peradaban mulia dan gemilang. Wibawa umat Idlam benar-benar tampak bersinar dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam konstelasi politik internasional. Akidah Islam yang dijadikan fondasi bernegara, benar-benar mewujudkan persatuan seluruh bangsa, ukhuwah Islam juga terjaga.
Khilafah menerapkan syariat Islam secara kaffah sehingga kemurnian hukum-hukum syarak menjadi standar berpikir dan bersikap bersama di tengah masyarakat yang heterogen, termasuk di Palestina yang tidak hanya dihuni kaum muslim. Rida Allah menjadi tujuan utama dalam menapaki setiap jengkal kehidupa. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang solid, berdaulat, berwibawa, dan membuat musuh-musuhnya gentar.
Dari masa ke masa, Khilafah menjaga setiap jengkal tanahnya dari penjajahan. Sikap dan amanah para khalifah terhadap Palestina tidak pernah berubah. Mulai Perjanjian Umariyah ditandatangani dan kunci gerbang Al-Quds diserahkan oleh Uskup Patrick Safronius kepada Khalifah Umar bin Khaththab, kaum muslim terus menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Bahkan sejak Khilafah mulai melemah, khalifah tetap menjaga Palestina dengan gagah agar tidak jatuh pada cengkeraman Inggris dan negara penjajah lainnya.
Apa yang terjadi saat ini, tak cukup bagi muslim yang lain hanya membantu Palestina dengan doa ataupun dana. Butuh aksi nyata untuk mengusir tanah penjajah dari Palestina. “Birruh, biddam, nafdika, ya Aqsa,” kata-kata penyemangat tersebut kini tak hanya bergelora di wilayah Palestina. Ada sebagian umat Islam yang menyambut kalimat itu dengan penuh harapan akan kemenangan Islam.
Upaya membebaskan Palestina dari penjajahan dan mewujudkan kebangkitan Islam tentu membutuhkan azam yang kuat, usaha yang sungguh-sungguh dan optimal, serta doa yang terus dilangitkan untuk mengharap pertolongan dari Zat Yang Maha Kuat. Kesendirian Palestina dan diamnya penguasa muslim saat ini harus diubah. Apalagi jelas Zionis Yahudi tidak mengerti bahasa insaniah alias bahasa manusia berupa perjanjian damai ataupun diplomasi. Maka, upaya membebaskan Palestina harus dengan jihad yang diemban oleh sebuah negara.
Maka dari itu, kaum muslim harusnya bersatu padu mewujudkan kembali Khilafah Islamiah untuk mengusir penjajahan Zionis Yahudi dari Palestina. Kaum muslim wajib menentukan koordinat yang sesuai visi misi penciptaan untuk berkontribusi dalam perjuangan Islam sebab kelak akan ada hari pembalasan. Diam saja atau bersikap tak mau tahu jelas bukan cerminan kaum muslim yang dicontohkan Baginda Nabi, sahabat, tabiin, generasi Shalahudin, generasi Muhammad Al-Fatih, ataupun khalifah-khalifah yang menjaga Islam dan wilayah kaum muslim.
Upaya membebaskan Palestina dan mewujudkan kebangkitan Islam ada di pundak kaum muslim itu sendiri. Memahami sejarah Islam, memahami konstelasi perpolitikan internasional, bergabung dalam kelompok dakwah yang berupaya melanjutkan kehidupan Islam, serta tholabun nusroh (mencari pertolongan) bisa menjadi langkah mewujudkan pembebasan Palestina. Lebih dari itu, kaum muslim harus bergandengan tangan melepas ashobiyah untuk mewujudkan Khilafah Islam.
Penutup
Keberadaan Khilafah adalah perisai atau junnah bagi kaum muslim. Khilafah menjamin keamanan dan keselamatan nyawa dan jiwa setiap individu rakyat, muslim ataupun nonmuslim. Khilafah adalah tempat berlindung bagi rakyat dari berbagai kriminalitas, propaganda, konspirasi, maupun jebakan lainnya yang dibuat orang-orang kafir. Palestina dan negeri-negeri muslim yang lain di dunia ini butuh satu kepemimpinan di bawah naungan institusi Khilafah. Dengan Khilafah, Israel yang tidak paham bahasa insaniah akan diusir dengan jihad fisabilillah. Wallahu a’lam.