Mempertanyakan Sikap terhadap Budaya Brandu

Bintu Kani
Padas Ngawi, Jawa Timur

Budaya brandu adalah budaya pemotongan sapi atau kambing yang sakit atau mati secara paksa. Budaya brandu disebut sebagai biang kerok penularan antraks. Budaya ini bukan hal baru di daerah Gunungkidul, Yogyakarta. Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Retno Widyastuti mengakui, tradisi brandu membuat kasus antraks terus bermunculan di Gunungkidul. Hal itu terjadi karena bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun (5/7).

Namun, ada dugaan tradisi terus berjalan akibat kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. Dari sisi peternak, ada dorongan untuk mempertahankan nilai ekonomi dari ternak yang mati. Dari sisi masyarakat, tradisi ini dianggap sebagai asas gotong royong dan bentuk kepedulian terhadap warga yang mengalami musibah.

Hal ini jelas menunjukkan potret kemiskinan yang parah di tengah masyarakat. Mahalnya harga daging segar dan sehat di pasar yang tidak bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Sampai akhirnya rela membeli daging yang tidak sehat bahkan busuk dengan harga yang rendah. Di sisi lain, hal ini menggambarkan betapa rendahnya tingkat literasi masyarakat sehingga biasa mengkonsumsi binatang yang sudah sakit atau mati.

Hal ini juga menunjukkan lalainya penguasa dalam mengurus rakyatnya. Sehingga, tradisi yang berbahaya dan melanggar aturan islam terus berlangsung. Sebab dalam Islam, memakan makanan yang sudah menjadi bangkai hukumnya adalah haram. Kecuali 2 bangkai yaitu ikan dan belalang.

Patut dipertanyakan, bagaimana sejatinya sikap penguasa negeri ini akan kejadian kasus antraks yang tidak pernah usai. Apalagi pemimpin negeri ini adalah seorang muslim, penduduknya juga mayoritas adalah muslim. Sehingga, sangat kurang bisa diterima akal jika penduduknya masih melakukan hal-hal yang diharamkan syariat, dan membahayakan kesehatan manusia.

Dengan demikian, sudah seharusnya penguasa negeri ini mewajibkan seluruh umat muslim untuk menuntut ilmu agama, tidak lain bertujuan untuk keselamatan diri di dunia dan akhirat, serta agar masyarakat paham mana halal dan haram. Selain itu, penguasa juga harus bersikap tegas terhadap budaya yang berbahaya, apalagi yang jelas haram. Sebab dalam Islam, negara akan menjamin rakyatnya hidup sejahtera dan terdidik. Dengan memperbanyak literasi dan juga menuntut ilmu agama, maka masyarakat akan paham aturan agama dan aturan kesehatan dirinya.

 

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi