Membatasi Covid-19 atau Ibadah Kaum Muslim?

Oleh. Rahma Nadia Mumtaza

Hari raya Natal, hari raya Waisak, kenaikan Isa Al-Masih, tahun baru Imlek, dan hari-hari besar lainnya berjalan lancar sekalipun dalam kondisi pandemi covid-19. Berbeda halnya dengan hari besar kaum muslim, seperti bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Apabila telah mendekati hari-hari tersebut, pasti protokol covid-19 akan diperketat kembali. Lantas ada apa di balik covid-19 yang seolah-olah menghalangi kaum muslim untuk beribadah? Apakah pemerintah ingin membatasi penyebaran covid-19 atau membatasi ibadah kaum Muslim?

Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) menginstruksikan agar pengurus dan pengelola tempat ibadah memberlakukan jarak maksimal satu meter antarjamaah dalam peribadatan shalat, seiring dengan mulai melonjaknya kasus virus corona (covid-19) akibat varian SARS-CoV-2 B.1.1.529 atau varian Omicron di Indonesia.

Selain peraturan soal jarak shalat, Kemenag juga meminta agar kegiatan peribadatan atau keagamaan paling lama dilaksanakan selama satu jam. Pengurus dan pengelola tempat ibadah juga wajib memastikan pelaksanaan khutbah, ceramah, atau tausiyah wajib memenuhi ketentuan.

Saat kasus covid-19 naik, harusnya kebijakan pemerintah untuk penanganan dan penguncian wilayah segera ditegakkan. Seperti pemberlakuan PPKM ataupun PSBB, harusnya keduanya dijalankan semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang maksimal pula. Karantina wilayah pun demikian, apabila dilaksanakan secara tegas maka pandemi ini tidak akan berlangsung lama di negeri ini.

Namun, akibat dari kesalahan kebijakan penanganan adalah pandemi berkepanjangan yang tak kunjung usai. Justru yang paling dominan dipersoalkan adalah ibadah ummat Islam daripada penganut agama lainnya.

Sebenarnya apa yang
melatarbelakangi pandemi ini sehingga seolah-olah ummat Muslim yang selalu terkena imbasnya? Berbagai macam hari besar agama selain Islam dipermudah, namun mengapa ketika mendekati hari-hari besar ummat Islam, pandemi ini semakin menjadi jadi?

Pada kenyataannya, memang ada sesuatu yang direncanakan oleh para penganut kapitalisme demi menghancurkan Islam dan melangsungkan berbagai propaganda yang mereka impikan. Berbagai macam cara mereka lakukan agar ummat Islam tidak bisa bangkit dan bersatu. Karena, ummat islam adalah ancaman terbesar bagi mereka, musuh bebuyutan menurut mereka.

Terbukti, kebijakan yang masif disosialisasikan adalah soal pembatasan ibadah bagi Muslim demi membatasi penyebaran covid-19. Alibinya saja agar pandemi ini segera berakhir, namun tampaknya seperti untuk menghalangi ummat Islam beribadah.

Kita sebagai ummat Muslim harus sadar bahwasanya di balik semua ini pasti ada sesuatu yang sedang dijalankan oleh pengemban ideologi kapitalisme. Tampaknya saja rencana mereka baik, namun nyatanya?

Alih-alih membuat rakyat taat kepada protokol kesehatan, kesalahan penanganan seperti ini akan semakin mendorong pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Karena, tak sedikit dari masyarakat yang memandang kebijakan penanganan covid-19 ini hanya untuk menghalangi kaum Muslim beribadah. Jadi, wajar saja apabila banyak yang melanggar berbagai protokol yang diterapkan oleh pemerintah karena mereka hanya ingin beribadah namun dilarang. Wajar juga bila jiwa mereka ingin memberontak.

Sistem Islam kaffah (Khilafah) akan memberi solusi pada masalah pandemi covid-19 secara tuntas dan menyeluruh. Gambaran pertama, sejak awal, Khilafah akan melakukan 3T segera, memisahkan orang sehat dari orang sakit, kemudian memberlakukan tes massal semacam rapid test maupun swab test secara gratis. Bagi mereka yang terinfeksi, negara akan menjamin pengobatannya hingga sembuh.

Orang-orang yang sakit harus beribadah di rumah masing-masing dan tidak berjamaah di masjid demi mencegah penularan penyakit. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw. Dari Siti Aisyah ra, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. perihal Tha‘un, lalu Rasulullah Saw. memberitahukanku, “Dahulu, Tha’un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Maka, tiada seorang pun yang tertimpa Tha’un kemudian ia menahan diri di rumah dengan sabar, serta mengharapkan ridha-Nya, seraya menyadari bahwa Tha’un tidak akan menimpanya selain telah menjadi ketentuan Allah untuknya. Niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR Bukhari, Nasa’i, dan Ahmad)

Kedua, berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit sehingga tidak meluas dan daerah yang tidak terkena wabah dapat menjalankan aktivitas sosial, ekonomi, dan keagamaan secara normal tanpa takut tertular. Mereka tetap dapat beraktivitas seperti biasa, berjual beli, beribadah di masjid dengan khusyuk, dan sebagainya. Dengan demikian, penguasa dapat fokus menyelesaikan kasus di daerah terdampak wabah.

Ketiga, menjamin seluruh kebutuhan pokok masyarakat yang tidak terinfeksi, tetapi ada di daerah wabah. Ini karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah. Selain itu, penguasa akan berupaya semua rakyat dapat melaksanakan prokes demi memutus rantai penularan penyakit.

Keempat, menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan.

Kelima, mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset, misalnya untuk segera menemukan vaksin.

Semua mekanisme ini ditopang oleh sistem keuangan Khilafah berbasis Baitulmal, bukan berbasis rib. Sehingga, negara tidak akan bergantung pada negara asing.

Wallahua a’lam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi