Maraknya Kriminalisasi Guru, Harus Bagaimana Lagi?

Oleh. Dewi Ummu Sholahuddin
(Pemerhati Remaja)

Dunia pendidikan makin terpuruk. Sosok guru sang pahlawan tanpa tanda jasa tidak lagi dimuliakan. Banyak Siswa kehilangan rasa santun dan empati. Mirisnya, orang tua yang seharusnya mendukung pola didik di sekolah namun justru menjadikan sekolah menjadi ajang untuk mengkriminalisasikan pendidiknya. Tidak heran kasus demi kasuspun terus mendera dan menorehkan tinta hitam pada dunia pendidikan. Lantas sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut?

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan jika saat ini tengah marak tidak kekerasan yang menimpa guru. Bahkan ada pula guru yang dikriminalisasi. Maraknya tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya ini mendorong PGRI untuk mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru. Ini dilakukan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali (medcom.id 01/11/2024).

Di tengah ketidakpastian mengenai kesejahteraan guru dan pengajar, mereka kini harus menghadapi masalah kriminalisasi.Guru yang menerapkan disiplin dalam batas yang bisa dikatakan wajar sesuai norma dan aturan yang berlaku bagi muridnya, malah sering dituduh melakukan tindakan kriminal (viva.co, 01/11/2024).

Sekularisme melanggengkan Kriminalisasi Terhadap Guru

Dunia pendidikan sudah tidak lagi ramah bagi para pendidik. Adanya berbagai kasus yang menimpa mereka membuktikan bahwa negara tidak serius dalam memberikan perlindungan. Upaya-upaya para pendidik dalam memberikan edukasi kepada anak didik sering kali disalah artikan, bahkan dibenturkan dengan UU perlindungan anak. Inilah kelemahan pendidikan dalam sistem sekularisme. Yang sejatinya menjauhkan makna dan tujuan pendidikan. Pada dasarnya sistem pendidikan sekuler ini menjauhkan agama dari kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan yang terus menerus mengalami perubahan justru tidak memberikan efek perubahan kepada peserta didik.

Nilai-nilai pendidikan sama sekali tidak meresap pada pola pikir dan pola sikap anak didik. Padahal jika mencermati tujuan pendidikan nasional sendiri menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Seharusnya negara, guru, peserta didik dan orang tua bisa memahami hakikat tujuan pendidikan tersebut. Faktanya justru itu hanya sebagai wacana saja. Peserta tidak mau diarahkan oleh para gurunya. Dan orang tua sering kali melakukan tindakan yang merendahkan para pendidik. Seperti yang dialami oleh Seorang guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, Sambudi diperkarakan oleh orangtua murid pada 2016 silam. Sambudi yang saat itu mencubit siswanya berinisial SS lantaran tidak melaksanakan kegiatan salat berjamaah di sekolah. Orang tua SS yang merupakan anggota TNI tidak terima, dan melaporkan Sambudi ke Polsek Balongbendo, Sidoarjo (viva.co.id).

Kemudian guru honor di SD Negeri 4 Baito Konawe Selatan bernama Supriyani ditetapkan sebagai tersangka setelah dituduh melakukan menganiayaan terhadap siswanya yang merupakan anak anggota kepolian. Supriyani disebut sempat ditahan Polsek Baito. Bahkan Supriyani diminta uang sebesar Rp50 juta sebagai uang damai kepada korban.

Maraknya tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya tersebut lantas pada siapa pendidik harus berlindung?

Kembali pada Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Dalam mencetak generasi, seorang Khalifah akan menyediakan pendidikan yang berkualitas. Kurikulum pendidikan berbasis akidah Islamiyah yaitu membentuk generasi dengan syaqofah dan syakhsiyah Islamiyah. Menancapkan keimanan dan ketakwaan yang kuat terhadap peserta didik. Sehingga kelak dia akan menjadi seorang ulama besar, guru, ilmuwan dan orang tua yang mempunyai amal, ilmu serta adab yang terhadap siapa pun termasuk kepada para guru-gurunya.

Karena Rasulullah saw. sendiri memerintahkan agar setiap orang harus memuliakan gurunya. Diriwayatkan oleh Bukhari, “Sungguh aku telah diutus (oleh Allah Swt.) sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah)

Dikutip dari Kitab “Lubabul Hadits” karya Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, dikatakan bahwa, “Barang
siapa memuliakan orang alim (guru) maka ia memuliakan aku (Rasulullah). Dan
barang siapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah. Dan barang siapa
memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.”

Demikian pula Islam juga mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan yang merendahkan martabat guru. Peserta didik dan orang tua murid dilarang mengkriminalisasikan dengan mencari-cari kesalahan guru. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Hikmah

Hanya dengan sistem Islamlah dunia pendidikan akan menemukan keberhasilan untuk mencetak generasi pembawa peradaban. Generasi yang mempunyai iman dan ketaqwaan yang kuat, cakap, berilmu, beradab. Untuk itu sudah selayaknya seluruh umat sadar bahwa sistem sekularisme tidaklah akan membawa kebaikan. Umat muslim harus bangkit untuk bersama-sama memperjuangkan kemenangan Islam. Wallahualam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi