Maraknya Kasus Pembunuhan dan Pemerkosaan di bawah Umur Siapa yang Paling Bertanggung Jawab?

Oleh. Hesti Nur Laili, S. Psi.

Di era modern dengan segala kemajuan teknologinya kini seolah berbanding terbalik dengan harga manusia yang kian murah. Kasus-kasus pembunuhan sudah kerap kali terjadi, bahkan tak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan berbagai alasan kepentingan dari hal yang berat hingga sepele, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak.

Seperti salah satu kasus yang terjadi di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis baru-baru ini. Yakni ditemukannya mayat seorang siswi SMP dengan kondisi bersimbah darah pada Sabtu (2/9), pukul 21.20 WIB (Riau.antaranews.com, 4/9/2023).

Adapun motif dari pembunuhan ini menurut pengakuan pelaku yang sekaligus kakak kelas korban adalah karena korban enggan diajak untuk melakukan hubungan selayaknya suami istri. Akibat penolakan tersebut, pelaku lalu menyerang korban. Setelah tampak tak berdaya, pelaku kemudian melakukan pemerkosaan. Hasil otopsi menyebutkan, korban pun tewas setelah kejadian tersebut. Kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi kali ini bukanlah merupakan kasus pertama dan satu-satunya, tetapi merupakan kasus ke sekian dari banyaknya kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini.

Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tercatat per Agustus 2020 sebanyak 123 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebagai pelaku, dan 4 kasus di antaranya adalah kasus pembunuhan (databoks.katadata.co.id, 12/4/2021).

Sedangkan menurut data dari e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri, sepanjang tahun 2022 kepolisian menindak sebanyak 472 kasus pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa, yang 4,2 persennya dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa (Pusiknas.polri.go.id, 2021).

Meningkatnya kasus pelecehan seksual dan pembunuhan yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku, umumnya pemerintah dan instansi terkait menghimbau kepada masyarakat melalui media-media agar lebih menjaga dan mendidik anak mereka dengan pola asuh yang baik agar menghentikan peningkatan kasus semacam ini. Namun pertanyaannya, apakah hanya dikembalikan ke masing-masing orangtua dalam mendidik anak mereka menjadi sebuah solusi untuk menekan angka kriminalitas yang dilakukan anak-anak?

Dari pertanyaan tersebut, kemudian muncul pertanyaan lain, yakni apakah maraknya kasus pembunuhan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak di bawah umur adalah murni kesalahan anak itu sendiri dan orangtua yang salah dalam memberikan pola asuh? Dan pertanyaan terakhir dari maraknya kasus-kasus tersebut, apakah hanya orang tua dan pelaku yang bertanggungjawab terhadap kasus-kasus tersebut?

Maraknya kasus kriminalitas yang melibatkan pelajar atau anak di bawah umur sebagai pelaku seolah digiring bahwa hanya pelaku dan orangtuanya yang bersalah besar dalam masalah ini. Tanpa ditinjau kembali bahwa peran mendidik anak atau pelajar yang dalam hal ini merupakan generasi muda tidak hanya diemban oleh para orangtua sebagai lingkungan terdekat anak, tetapi juga lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat tempat ia tinggal, dan lingkup besarnya adalah merupakan tanggungjawab negara sebagai pelindung, pengayom, dan pendidik generasi muda melalui berbagai program pendidikan termasuk di dalamnya keamanan anak dalam mengakses informasi internet.

Sungguh tidak mengherankan memang jika saat ini negara seolah lepas tangan dengan maraknya kasus kriminalitas yang terjadi bahkan dengan pelaku anak di bawah umur. Mengapa demikian, jelas karena sistem yang diterapkan merupakan sistem demokrasi kapitalisme yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), namun mengabaikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan pendidikan yang memadai secara merata tanpa melihat latar belakang ekonomi keluarga pelajar. Pendidikan di era demokrasi kapitalis seringkali membebani masyarakat dengan biaya yang kian meroket, hingga banyak di antaranya terpaksa putus sekolah karena minimnya biaya.

Selain masalah biaya, kurikulum pendidikan di Indonesia didominasi oleh output nilai dan peringkat akademik. Sementara akhlak dan moralitas tidak menjadi bagian terpenting dalam pendidikan anak yang harus diajarkan di sekolah. Anak hanya diajarkan materi pembelajaran yang mengarahkan kepada dunia kerja dan kesuksesan secara materi dibandingkan menjadi anak yang berakhlak dan bermoral. Alhasil, anak hanya unggul di bidang-bidang matematika, fisika, dan mata pelajaran lainnya yang mereka kuasai sesuai dengan kemampuan intelektualnya dibandingkan dengan akhlak mereka.

Bobroknya kurikulum yang hanya mengedepankan kepentingan akademik inilah yang menjadi penyebab utama anak memiliki akhlak buruk hingga melakukan berbagai macam tindak kriminalitas. Buruknya kurikulum ini diperparah dengan minimnya peran negara dalam menutup akses tontonan yang berbau pornografi dan berbagai tontonan merusak lainnya. Sehingga tidak heran jika output pendidikan hari ini menghasilkan anak yang hanya unggul dalam bidang akademik, namun tidak memiliki sopan santun terhadap orang lain yang lebih tua, lebih-lebih kepada guru dan orang tua.

Hidup seenaknya sendiri, menonton apa pun yang mudah mereka akses, hingga kemudian menjadi semacam keinginan untuk melakukan tindak kriminalitas, mulai dari bullying kepada teman sebayanya, pelecehan seksual kepada teman lawan jenisnya, hingga kasus kekerasan yang berakhir pada terjadinya pembunuhan. Lantas jika seperti ini, siapa yang patut bertanggung jawab?

Islam sebagai Solusi

Di dalam Islam, negara memiliki kewajiban melahirkan generasi cemerlang dan berkualitas dengan mengambil ideologi Islam sebagai asas panduan hidup. Islam memiliki kurikulum pendidikan yang membangun kepribadian islami dengan penanaman tsaqofah islam yang meliputi akidah, pemikiran dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.

Selain penanaman pola pikir dan perilaku Islam, kurikulum selanjutnya yang diterapkan dalam Islam adalah mempersiapkan anak didik menjadi ulama-ulama yang tak hanya ahli dalam akademik atau ilmu terapan yang sesuai dengan minat bakat peserta didik, juga mumpuni dalam hal ilmu-ilmu keislaman seperti masalah fiqih, peradilan, ekonomi Islam, ijhtihad, dan lain sebagainya.

Sehingga output yang dihasilkan dari kurikulum pendidikan Islam yang diterakan oleh negara adalah lahirnya generasi-generasi gemilang, individu-individu terbaik, ulama-ulama yang mumpuni, yang membawa negara dan umat Islam untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi negara lain. Selain itu juga yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam serta jiwa kepemimpinan baik pada skala individu, komunitas bahkan skala bangsa/negara.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)

Generasi terbaik akan senantiasa berpikir bagaimana agar beramal atau bertindak untuk mencari ridho Allah Swt. Sehingga tidak berpikir dan bertindak ke arah yang menyalahi hukum Allah, yaitu aturan Islam kaffah. Generasi muslim tidak akan
memikirkan hal-hal rendahan dan tidak bermanfaat. Alhasil akan terlahir generasi setara kualitas para sahabat dan generasi terbaik setelahnya seperti Abu Bakar, Umar bin khatab, Sultan Al-Fatih, dsb.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi