Mantra Kesetaraan Gender Membuat Muslimah Keder

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Tanpa babibu, muslimah terus dikejar oleh puting beliung ide feminisme. Kesetaraan gender diukir sedemikian rupa hingga tampak layak dijadikan sebuah mahkota bagi para kaum hawa. Ambisi besar Barat ialah ingin mewujudkan kesetaraan gender pada 2030 melalui Planet 50×50 dan SDGs.

Barat dengan begitu menggebu mengampanyekan berbagai program demi mewujudkan kesetaraan gender. Namun, hingga 2019 bisa dibilang tidak berhasil karena tak satu pun negara yang berhasil mewujudkan kesetaraan gender. Oleh karena itu, pada 2020, kampanye baru bertajuk “Generation Equality, Realizing Women’s Rights and an Equal Future” yang melibatkan kaum muda dalam mewujudkan kesetaraan gender dirilis. Selain itu, demi mewujudkan ambisinya, Barat mencanangkan The Global Acceleration Plan for Gender Equality sebagai peta konsep transformatif mengusung enam isu penting yang mendukung kesetaraan gender, di antaranya adalah hak otonomi tubuh, juga hak dan kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR).

Ambisi Barat Merapal Mantra Kesetaraan Gender

Ibarat kejar setoran, Barat terus merapal mantra kesetaraan gender demi merusak kaum hawa, wabil khusus muslimah. Kenapa? Generasi muda, termasuk muslimah muda adalah estafet kepemimpinan di masa depan. Para muslimah gen Z dipandang sebagai aset yang harus diamankan dengan mantra feminisme alias kesetaraan gender.

Barat begitu gencar menarasikan kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) guna meraih kesejahteraan. Dengan demikian, para muslimah akan berlomba memproduktifkan diri demi meraih sebanyak-banyaknya cuan. Apalagi, segala rupa tarif dan aneka kebutuhan pokok rumah tangga selalu mengalami kenaikan. Pun dengan muslimah muda, mereka berupaya berdaya untuk kebahagiaan semu yang diukur dengan banyaknya harta dan kemewahan.

Jangan ditanya apa jati diri mereka sebagai muslimah? Bukan hanya peran domestik (menjadi seorang anak, ibu, dan istri) diabaikan, muslimah sebagai hamba Allah saja sudah disepelekan. Derasnya mantra kesetaraan gender bisa mampu menyempitkan jalan pikir muslimah.

Kaum hawa dieksploitasi dengan gaji rendah, menghadapi risiko kekerasan fisik dan seksual di tempat kerja. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Sehingga, keluarga dan anak-anak terabaikan, kerap berujung penelantaran dan perceraian.

Terkait kekerasan seksual, Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Indonesia bekerja sama dengan prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (UNAND) mengadakan Temu Ilmiah Nasional Ke-XI 2022.

Dra. Hj. Gemala Ranti, M.Si., Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) berkata, “Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 pada tahun 2019 menjadi 8.686 di tahun 2020 dan 10.247 tahun 2022. Kebanyakan kasus tercatat adalah kasus kekerasan seksual terdapat 8.145 kasus, kekerasan fisik 6.576 kasus dan psikis 6.295 kasus.” (Genta.co, 24/10/2022).

Kesetaraan gender juga meneyeret mereka menjadi komoditas sepaket dengan product yang dipasarkan korporasi. Gaya hidup hedonis pun diembuskan di tengah kaum hawa. Gaya hidup sosialita menggurita meski gaji rendah. Mereka tak pernah sadar bahwa sedang ditarget menjadi sumber cuan bagi perusahaan kapitalis. Konsutivisme menjerat kaum hawa karena merasa menghasilkan uang sendiri. Alih-alih sejahtera, perempuan menjadi korban konsumerisme.

Selain itu, mantra kesetaraan gender semakin membuat kaum hawa keder dan babak belur. Mantra terkait kuota perempuan di pemerintahan menjadikan mereka petantang petenteng di kancah perpolitikan sekularisme. Tanpa malu dan penuh bangga, mereka menjerumuskan diri dalam pemilihan kepala daerah ataupun anggota dewan.

Mantra paling mengenaskan adalah bodily autonomy. Yup, mantra ini merujuk pada HKSR yang dianggap sebagai elemen kunci terwujudnya kesetaraan gender. Salah satunya dengan memastikan akses universal atas kesehatan dan hak seksual dan reproduksi. Kendali perempuan atas tubuhnya (bodily autonomy) dianggap sebagai kunci terwujudnya kesetaraan gender karena menjamin kebebasan dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam aktivitas seksual, menikah, memiliki anak, dan hal lain terkait kehidupan seksual dan reproduksi (jinsiyahnya).

Sehingga, fenomena muslimah menolak pernikahan, kehamilan, keberadaan anak, dan tanggung jawab perawatan keluarga begitu marak. Hal ini menyuburkan kumpul kebo alias hidup serumah tanpa pernikahan, seks bebas, aborsi, ataupun hidup melajang. Sementara pergaulan laki-laki perempuan sangat tidak terjaga. Pacaran, teman tetapi mesra (TTM), friends with benefits (FWB), one night stand (ONS), ataupun childfree dan waithood merupakan buah dari bodily autonomy.

Bahkan, muslimah yang memiliki pengetahuan agama bagus sekalipun banyak yang terjebak mantra ini. Dengan alasan menjaga jarak, mereka membatasi jumlah anak. Mereka menggunakan alat kontrasepsi secara terus menerus sampai masa monopouse karena khawatir menambah jumlah anak. Padahal, dari sisi kesehatan masih sangat prima dan produktif.

Mantra kesetaraan gender membuat para muslimah berpikir bahwa jumlah anak yang banyak akan merepotkan dan memerlukan banyak cuan. Hal paling fatal, mereka berpikir kebebasan diri alias me time yang akan berkurang dan tak bisa berkiprah di ranah publik (urusan pekerjaan dan relasi sosial lainnya).

Muslimah dalam Pandangan Islam

Mantra kesetaraan gender memalingkan muslimah, termasuk generasi, dari kodrat dan fitrahnya sebagai manusia. Bahkan, mereka menanghalkan jubah kemuliaannya, yakni Islam, dalam menapaki kehidupan. Padahal, Islam merupakam sistem hidup sempurna yang diturunkan Allah Swt.

Islam memiliki seperangkat aturan yang memuliakan dan menjaga kehormatan muslimah. Dalam Islam, ada hukum untuk manusia dalam sifatnya sebagai manusia, ada pula hukum-hukum khusus sesuai jenisnya, laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, Islam membedakan hukum bagi laki-laki dan perempuan agar memahami garis tugas dan tanggung jawab, bukan mendiskriminasi kaum hawa.

Kemuliaan seseorang, laki-laki ataupun perempuan, terletak pada level ketakwaannya pada Allah Swt. Islam meletakkan perempuan di bawah kepemimpinan laki-laki agar dijaga khormatannya, dilindungi, dimuliakan, dan dipenuhi segala kebutahan hidupnya.

Bukan tidak boleh muslimah bekerja, tetapi Islam menjadikan laki-laki tulang punggung agar muslimah menuntaskan amanahnya dalam ranah domestik dan publik yang kategori wajib, misal menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, pengemban dakwah, menuntut ilmu, mengoreksi penguasa, dll. Kalaupun bekerja, muslimah tetap dijaga dan dilindungi oleh negara dan tetap diarahkan untuk mengutamakan kewajibannya.

Dalam Islam, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat. Mekanisme ekonomi dalam Islam sangat terang dan mengeksploitasi perempuan. Laki-lakilah yang didorong mencari nafkah agar muslimah fokus dengan kodratnya. Meski tak menghasilkan materi, tugas utama muslimah menentukan peradaban selanjutanya. Di tangannyalah generasi muslim berada.

Maka, mantra kesetaraan gender yang membuat muslimah keder harus dicampakkan agar muslimah paham jati dirinya sesuai pandangan Islam. Saatnya muslimah berjuang melanjutkan kehidupan Islam untuk menghancurkan mantra kesetaraan gender dan sistem kapitalisme.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi