Mampukah UU Perampasan Aset Mencegah Korupsi?

Oleh. Nur Itsnaini Maulidia
(Aktivis Dakwah)

Kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan anggota dewan menjadi persoalan yang tak  henti-henti di negeri ini, bahkan yang lebih miris korupsi dilakukan secara berjamaah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri.

Dalam penyidikan tersebut, KPK telah menggeledah beberapa lokasi. penyidik KPK menemukan uang tunai sejumlah Rp1,3 miliar dalam penggeledahan di Apartemen Pakubuwono di Jakarta Pusat (m.antaranews.com, 31/3/2023).

Menyusul hasil penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja pegawai di Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri, muncul polemik dugaan transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang membuat rakyat semakin geram (cnnindonesia.com, 31/03/2023).

Mengenai kasus korupsi yang terus bermunculan, Menkopolhukam, Mahfud MD, meminta dan mendesak DPR RI untuk menyetujui UU Perampasan Aset, namun permintaan tersebut ditolak oleh Ketua Komisi III, Bambang Pacul, menurutnya persetujuan UU menunggu perintah ketua umum partai (cnnindonesia.com, 31/03/2023).

Melihat kasus korupsi yang terus menggurita, apakah mungkin dengan disahkannya UU Perampasan Aset mampu mencegah korupsi? Maka, hal pertama yang harus diketahu adalah akar masalah dari maraknya kasus korupsi.

Mengutip dari Liputan6.com (24/01/2022) Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, penyebab maraknya kasus korupsi adalah adanya sistem yang memberi celah dilakukannya korupsi. Termasuk sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan, dan politik berbiaya tinggi.

Penyebab di atas tentu saja tak lepas dari penerapan sistem kehidupan yang bathil (salah), yakni penerapan sistem kapitalisme sekuler ditengah-tengah masyarakat. Sistem inilah yang melahirkan pejabat dengan senang hati dan suka rela berkorupsi, bahkan secara berjamaah.

Hal ini karena sistem kapitalisme berasaskan sekuler, asas yang memisahkan agama dari kehidupan. Jelaslah sistem ini tidak akan membentuk para pejabat negara yang beriman kokoh berlaku jujur dan amanah, juga tidak menjadikan halal haram sebagi standar dalam beraktivitas, keuntungan materilah yang menjadi landasan dalam perbuatan. Dengan ini, sangat wajar bila pelaku korupsi terus bermunculan tak ada habisnya. Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, maka pembuatan dan pengesahan UU apapun tidak akan mampu menyelesaikan kasus korupsi.

Oleh sebab itu, maka yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus korupsi adalah mengganti sistem, sistem yang menjamin segala aktivitas zalim dan merugikan rakyat bisa terselesaikan secara total. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam.

Islam memiliki aturan begitu sempurna yang datang langsung dari sang maha pencipta. Aturan inilah yang bisa menyelesaikan segala perbuatan zalim dan menjamin keadilan bisa ditegakkan di muka bumi. Dalam Islam pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan dua hal. Pertama, penegakan sistem hukum/pemerintahan yang anti korupsi. Kedua, menjadikan pejabat dan penegak hukum yang jujur, amanah, konsisten dan tegas.

Secara praktis, pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan melalui beberapa hal:

1. Penanaman ketakwaan individu kepada para pejabat, pegawai, bahkan semua rakyat harus memiliki keimanan dan ketakwaan. Dengan ini, maka sipapa pun tidak akan ada yang berani melakukan tindakan keji termasuk korupsi.

2. Kontrol masyarakat, masyarakat yang senantiasa saling beramar ma’ruf nahi munkar, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan siapapun yang ada disekitarnya. Dengan kontrol ini perbuatan yang dilarang oleh Allah dan merugikan orang lain bisa teratasi.

3. sistem penggajian dan kompensasi yang layak kepada para pejabat dan pegawai sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk berlaku korup. Serta ketentuan batasan sederhana dan jelas tentang harta ghulul (haram) yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai, dan penerapan pembuktian terbalik.

4  Hukuman yang tegas dan memberikan efek jera. Sehingga, pelaku dan orang lain tidak akan berani mengulangi perbuatan yang sama. Hukuman ini dalam bentuk sanksi ta’zir ditentukan oleh khalifah (pemimpin), hukumannya sesuai tingkat dan dampak dari korupsinya, bisa berupa denda, diasingkan, tasyhir (pewartaan/ekspos), dipenjara bahkan bisa sampai hukuman mati, serta penyitaan harta ghulul (pengkhianatan) bisa juga ditambah dengan denda.

Tentu saja mekanisme ini dilakukan oleh pemimpin tegas juga konsisten. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra ketika menjabat sebagai kepala negara. Ketika Khalifah Umar ra. menemui kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta wali atau amilnya menjelaskan asal-usul hartanya. Jika penjelasannya kurang memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau terapkan kepada Utbah bin Abu Sufyan, Abu Hurairah, juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).

5. Penerapan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh) ditengah-tengah umat, tidak setengah-setengah. Karena hanya dengan penerapan Islam secara kaffah semua hal diatas bisa terlaksana dengan sempurna.

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa pengesahan UU Perampasan Aset tidak akan mampu mencegah dan memberantasan korupsi. Pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya bisa terwujud apabila sistem Islam diterapkan secara kaffah.

Wallaahu a’lam.

Dibaca

 94 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi