LEGALISASI ABORSI, MELINDUNGI WANITA DARI PEMERKOSAAN ??

Muhammad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community )

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 pada 26 Juli 2024. Ini merupakan aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.

Pertama, pemerintah mengizinkan praktik aborsi bersyarat. Aturan tersebut tertuang pada pasal 120, yang menyebutkan dokter bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.

Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan,” tulis pasal 122 ayat 1 PP Nomor 28 Tahun 2024.

Sejumlah catatan

Kekhawatiran sejumlah pihak atas PP No. 28/2024 ini adalah pada frase kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.

Frase ini rawan digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya untuk melakukan aborsi dengan alasan korban perkosaan.

Memang dalam kasus pemerkosaan, pihak wanita adalah pihak yang paling menderita jika mengandung anak hasil dari perkosaan. Tetapi meski begitu, bukan berarti boleh melakukan keharaman aborsi.

Saat ini banyak bias antara kasus pemerkosaan dan zina, beberapa kasus pada awalnya zina suka sama suka, tetapi karena terjadi KTD atau kehamilan Tidak Diharapkan sementara si lelaki tidak mau bertanggung jawab akhirnya lapor polisi dengan delik pemerkosaan.

Atau zina suka sama suka tetapi karena tidak sepakat masalah tarif kemudian lapor polisi dengan delik pemerkosaan, banyak juga kasih semacam ini.

Jadi, alasan perkosaan ini jadi istilah karet yang bisa ditafsirkan banyak makna. Bahkan dalam KUHP terbaru disebutkan Salah satu hal baru dalam RUU KUHP adalah meluaskan definisi perkosaan. Dalam RUU KUHP itu, perkosaan bisa terjadi asal ada kekerasan pria ke wanita, tanpa harus masuk alat kelamin.

“Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun,” demikian bunyi Pasal 480 ayat 1 sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (25/9/2019).

Dengan definisi di atas, maka bisa saja seorang suami memperkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan.

Apakah dengan pasal ini, istri bisa menggugurkan bayi yang dikandungnya dari suaminya yang sah? Runyam sekali urusannya.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Rusli Muhammad menjelaskan, legalisasi aborsi karena pemerkosaan justru berpotensi menyulut kejahatan baru. Menurut Rusli, PP tersebut mengandung faktor kriminogen. Peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru.

Hukum Aborsi Dalam Islam.

Islam sangat tegas melarang aborsi, kecuali jika ada alasan kedaruratan yang membahayakan nyawa ibunya.

Jadi, aborsi haram dilakukan baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika tim dokter yang adil (bukan fasik) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi darurat seperti ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya. Sebagaimana hadis dari Rasulullah saw.: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah).

Adapun jika bayi telah tertanam di rahim karena sebab apa saja maka haram dilakukan aborsi, karena sebenarnya bayi memiliki hak hidup dan bagi ibunya hal itu sebagai ujian yang jika sabar maka Allah akan memberinya pahala yang tiada batas.

Nasab anak bayi tersebut dinasabkan kepada ibunya dan jjka perempuan maka walinya adalah wali hakim ketika menikah nantinya.

Konsekuensinya, siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diat (tebusan) bagi janin yang gugur.

Diatnya adalah seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diat manusia sempurna (yaitu 10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadis sahih dalam masalah tersebut. Yaitu hadis dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” (HR Bukhari dan Muslim) (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Jadi, aborsi haram dilakukan baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika tim dokter yang adil (bukan fasik) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi darurat seperti ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya. Sebagaimana hadis dari Rasulullah saw.: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah).

Walhasil, jika pemerintah serius untuk melindungi wanita dari pemerkosaan maka harus menutup pintu-pintu yang bisa mengarah ke sana

Pintu-pintu ke arah pemerkosaan adalah pacaran, ikhtilat atau campur aduk laki dan perempuan di suatu tempat, pornografi, pornoaksi, buka aurat, LGBT dan pergaulan bebas.

Pemerintah seharusnya menutup rapat rapat pintu ke arah pemerkosaan dan menghukum pelakuanya dengan tegas, jika telah menikah dirajam dan jika masih jomblo dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.

Apakah itu bisa dilakukan didalam negara sekuler? Tentu tidak, kecuali oleh Khilafah. Wallahu a’lam bis shawab []

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi